Sabtu, 15 November 2014

MENJELANG QIYAMAT HUKUM ALLAH DIABAIKAN

MENGHUKUM DENGAN KOMISI 


Tindak pidana korupsi di Indonesia dikategorikan kejahatan luar biasa sehingga penanganannya juga harus dengan cara cara yang luar biasa . Hukum adalah peraturan perundang-undangan, utamanya Undang-undang ditetapkan oleh Presiden RI dengan DPR RI .
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang disepakati untuk mengatasi pemberantasan korupsi , dinilai belum menjamin terlaksananya cara cara luar biasa . 
Aparat penegak hukum di kepolisian, di kejaksaan dan para hakim yang mewakili negara tidak "mampu" melakukan pemberantasan korupsi dengan cara cara luar biasa jika Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak diganti . 

Tahun 1999 adalah awal reformasi hukum dan eforianya gerakan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan desakan dari luar negeri . Maka Presiden RI dengan DPR RI menetapkan Undang - undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 .
Filosofi yang dianut di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah terwujudnya rasa keadilan masyarakat dengan dihukumnya pelaku korupsi dengan cara cara luar biasa , yaitu perbuatan melawan hukumnya cukup dibuktikan secara formil, tidak perlu susah-susah membuktikan akibat nyata kerugian keuangan negara / pemerintah daerah secara meteriil .

Perbuatan melawan hukum secara formil jelas akan sangat mudah dapat dibuktikan oleh para penyidik , sebab unsurnya : 1) barangsiapa/siapa saja ; 2) melampaui kewenangan; 3) menguntungkan dirinya sendiri / orang lain / korporasi ; 4) dapat / berpotensi dapat merugikan keuangan negara / keuangan pemerintah daerah ; 5) merugikan perekonomian negara / masyarakat .

Barang siapa menyangkut para Pejabat Negara yaitu Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, Anggota DPR RI , Anggota MPR, Anggota DPD, Pimpinan Lembaga Tinggi Negara dan Pejabat Penyelenggara Pemerintahan Negara / Daerah serendah-rendahnya eselon I di kementerian ( Sekjen dan para Dirjen dan pejabat pemerintah daerah yaitu Sekretaris Daerah dan para pegawai negeri sipil ( PNS ) sampai pada kelompok masyarakat .

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 , dimana penekanannya adalah memperluas cakupan "barangsiapa" menjadi sangat luas , yaitu pejabat negara / penyelenggara pemerintahan negara seperti yang diuraikan di atas, kemudian ditambah "siapa saja" yang dalam prakteknya menimbulkan sikap hidonisme aparat penegak hukum yang mengawali tindakan penyelidikan / penyidikan . 
Barangsiapa yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 bisa terdiri dari rakyat biasa yang tidak menduduki kursi kekuasaan di dalam lembaga pemerintahan negara, misalnya dari Ketua Rukun Tetangga, Ketua Rukun Warga, Ketua/anggota kelompok tani, Ketua/anggota kelompok penggaduh ternak, Ketua/anggota kelompok perikanan, Ketua/anggota kelompok kebudayaan, ketua/anggota takmir masjid/mushola, pengurus gereja, pengurus pura, pengurus klenteng, tim olah raga, pemborong konstruksi bangunan, konsultan, pengurus pondok pesantren, pengurus madrasah diniyyah dan sebagainya . 
Oleh sebab itu, kedepan akan sangat banyak sekali kasus tindak pidana korupsi dalam skala kejahatan luar biasa yang pelakunya seperti uraian di atas, namun angka kerugian keuangan negara / kerugian keuangan pemerintah daerah sangat kecil, bahkan tidak ada sama sekali, pelakunya tidak seharusnya menanggung hukuman penjara badan dan denda sangat berat , gara-gara dikategorikan kejahatan luar biasa.
Data empiris di Jawa Tengah membuktikan bahwa , kasus tindak pidana korupsi uang APBN pada umumnya adalah dari kebijakan hak budget (aspirasi) DPR RI yang mata anggarannya dititipkan pada kementerian / lembaga non kementerian , dimana makelarnya adalah anggota DPR RI itu sendiri . Namun mereka banyak yang tidak / belum tersentuh tindakan hukum dari aparat penegak hukum . Penerima bantuan sosial dari APBN dan APBD di Propinsi Jawa Tengah sudah banyak yang dihukum pidana dengan tuntutan korupsi.
Yang sudah dikuak dengan paksa oleh aparat penegak hukum di Jawa Tengah antara lain bantuan gaduhan ternak, bantuan kegiatan perikanan , bantuan sosial tempat ibadah dan pondok pesantren, bantuan UMK, bantuan di perguruan tinggi, bantuan PNPM, bantuan koperasi, bantuan beras miskin, bantuan langsung masyarakat sementara ( BLMS ). Korban korban tindakan aparat penegak hukum yang menguak secara paksa dan katanya melaksanakan tindakan luar biasa terhadap pelaku korupsi ( yang bukan pelaku sebenarnya ) antara lain , kaur keuangan desa, kaur kesra desa, kepala desa, sekretaris desa, pengurus kelompok masyarakat setempat ( kelompok tani dan lain-lain ) , petugas PNPM, pengurus masjid/mushola, pengurus madrasah diniyyah/pondok pesantren, pemborong, makelar pembebasan tanah, PNS rendahan, pejabat struktural pemerintah daerah , wakil bupati , walikota, bupati, anggota DPRD . Dengan data ini masyarakat luas dapat menduga-duga , bagaimana rakyat biasa ( dari kelompok tani dan lain-lain ) bisa diseret sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang dikatakan sebagai kejahatan luar biasa. 

Apakah mereka itu termasuk pejabat yang bisa melakukan perbuatan dengan kewenangan ? 

Mereka itu rata-rata adalah penerima bantuan, ada yang dananya dipotong oleh makelar / pejabat pengelola anggaran bantuan, dan tidak menikmati keuntungan pribadi . Seharusnya mereka itu diposisikan saja sebagai saksi bagi penyidik untuk tersangka / terdakwa yang memiliki tugas jabatan tetapi melampaui kewenangan .  

Yang terjadi adalah mereka yang menjadi makelar atau mereka yang sejatinya pelaku utama tindak pidana korupsi tidak disentuh hukum sama sekali . 

Proses hukumnya ternyata tidak termasuk luar biasa, sebaliknya malahan seperti tontonan dagelan di panggung sandiwara / badut - badutan . Terdakwa yang sangat buta hukum , semula hidup dalam keseharian di desa yang sederhana, harus menjalani persidangan yang asing, tanpa pendampingan pengacara negara , disuruh manut saja oleh JPU, akhirnya dijatuhi hukuman penjara dan denda. 

Bagi mereka yang bisa memenuhi tawaran traksasi hukuman, rata-rata dihukum penjara dibawah 2 tahun , namun dendanya tetap standart yaitu Rp. 50 juta . Mereka memilih menjalani hukuman primer dan subsider dan tidak mampu membayar denda atau uang pengganti . Mereka menjalani kehidupan yang tidak prospektif di penjara dengan biaya negara yang cukup besar . Pendapatan negara bukan pajak ( PNBP ) yang berasal dari denda yang dijatuhkan kepada NARAPIDANA banyak yang tidak tercapai, sebab banyak yang tidak kuat membayar denda atau uang pengganti . Dalam hitungan ekonomi, negara pasti DIRUGIKAN dengan menyediakan biaya dari APBN untuk biaya hidup narapidana ( warga binaan ) . KEMUDIAN PERTANYAANNYA : apa tujuan memidanakan seseorang dengan pemaksaan tuduhan korupsi, dimana kenyataannya setelah disidangkan oleh majelis hakim ternyata banyak yang tidak korupsi ?

Yang kemudian marak terjadi adalah transaksi tuntutan dan transaksi vonis / hukuman . Nilai transaksi tuntutan / hukuman bervariasi , ada yang menetapkan harga sama dengan dana yang dipotong oleh makelar, misalnya Rp. 3,5 juta ( seperti dana bansos APBD Pemerintah Propinsi Jawa Tengah ) . Namun ada yang mematok nilai Rp. 10 juta - Rp. 100 juta . Kalau terdakwanya dipandang kaya, bisa mencapai Rp. 300 juta . JPU , Polisi dan Hakim semakin menumpuk pundi-pundi kekayaannya .Dalam eforia pemberantasan korupsi, ternyata yang korupsi malahan aparat penegak hukumnya sendiri melalui perbuatan gratifikasi / pemerasan kepada calon narapidana . Sudah dilakukan sangat terang benderang .

Dengan demikian, tujuan penegakan hukum terhadap tipikor dengan cara cara luar biasa terhadap pelaku korupsi dengan harapan bisa menarik kembali kerugian keuangan negara / kerugian keuangan pemerintah daerah dan membuat jera, tidak berhasil sama sekali . Tujuan pemidanaan yang salah ini harus dievaluasi secara cepat dan tepat . 

Saran dari penulis tipikorngamuk.blogspor.com adalah ikuti saja ketetapan Allah SWT , bahwa hamba Allah dibalas dan disiksa karena perbuatan jahat/butuknya dalam rangka bertobat, memperbaiki perilaku bukan dibuat jera . Allah SWT tidak akan menyiksa dan membalas hambaNya yang tidak melakukan kesalahan / dosa . Pemerintah Republik Indonesia ternyata menjadi sangat bangga menghukum warga negaranya sendiri yang tidak merugikan keuangan negara / keuangan pemerintah daerah. Kondisi buruk kebangsaan ini tidak boleh berlanjut . Harus dilakukan restrukturisasi pranata hukum yang sesuai dengan tujuan mendirikan negara yang dilahirkan atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa . Artinya , hukum negara indonesia sebaiknya hukum Islam . Pasti akan menuju keadilan menurut ajaran yang lurus dengan berpedoman Al Qur'an dan Sunah Rasul Muhammad SAW . 

Apa logis, berpotensi dapat merugikan keuangan negara kok dihukum ?

Makna kata berpotensi dapat yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sama artinya belum ada perbuatan riil yang telah terjadi dan telah merugikan keuangan negara / pemerintah daerah .Mahkamah Konstitusi ( MK ) dengan seluruh jajaran Hakim-hakimnya patut dimintai tanggung jawab hukum dunia dan hukum akhirat dihadapan Allah SWT sebab telah membuat Putusan Nomor 03 Tahun 2006 yang mengabaikan permohonan uji materi terhadap pasal 2 dan pasal 3 khususnya pada bagian kalimat yang dimohon dihilangkan yaitu " dapat menimbulkan" . Kata dapat berdampak membuahkan multi tafsir dari para hakim di pengadilan tipikor dan aparat kejaksaan maupun kepolisian . Maka menjadi tragis bahwa banyak orang orang tidak melakukan korupsi di Jawa Tengah, tetap dihukum akibat tafsir kata dapat, sebab dengan hanya BERPOTENSI saja orang harus dipenjarakan dengan sangat nista .

Ada contoh kasus yang menarik terkait dengan dugaan adanya permainan hukum dalam era pemberantasan korupsi di Jawa Tengah , yaitu ungkapan kekesalahan salah satu unsur penegak hukum diberitakan di media cetak , yaitu dari penasihat hukumnya terdakwa Rina . 

Penasihat hukumnya terdakwa Rina ( mantan Bupati Karanganyar Jawa Tengah ) memberikan keterangan pers tanggal 11 Nopember 2014 bahwa kliennya ditahan Majelis Hakim patut diduga karena tidak memberikan hadiah kepada Ketua Majelis Hakim yang memimpin persidangan terdakwa. Ungkapannya itu didasarkan atas pesan dari salah seorang terpidana yang menjalani hukumannya di LP Klas I Semarang, yang menyatakan : "hati-hati dengan Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan bu Rina, kalau tidak memberikan hadiah pasti ditahan ". Penasihat hukum itu kemudian membuktikan, ternyata kliennya benar-benar ditahan "hanya" dengan alasan supaya tidak mempengaruhi saksi-saksi yang meringankan terdakwa.Tindakan terdakwa dan penasihat hukumnya yang tidak berkeinginan menyuap jaksa dan hakim dapat diibaratkan menggenggam bara api kesabaran di telapak tangannya. Logikanya, banyak yang tidak tahan , artinya dapat dipastikan banyak yang takut ditahan dan dihukum berat, maka kemudian menyuap .

Transaksi hukum dan vonis sudah meluas dan secara terang-terangan dilakukan JPU dan Majelis Hakim . Pembuktiannya memang sulit, tetapi aromanya menyengat sebab para terdakwa yang melakukan transaksi sudah tidak tahan menceritakan hal itu sebagai kebanggaan . Para tahanan dan napi tipikor di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang ( Kedungpane ) bisa dimintai informasi mengenai transaksi hukuman ini . 

Para terdakwa yang berani all out dalam rangka mengungkap permasalahan yang dihadapinya dalam rangka membela dirinya , ternyata percuma saja , sebab JPU otaknya sudah mbandel dan kukuh mengikuti pendapatnya sendiri, kemudian mengabaikan fakta persidangan, dan celakanya Majelis Hakim dalam merumuskan vonis pasti berpihak dan mengkopy paste surat tuntutan JPU . Maka dapat dipastikan tidak ada terdakwa kasus pidana korupsi divonis bebas atau sekurang-kurangnya dilepaskan dari tututan hukum . 

Pemerintah dan negara Indonesia sengaja mencetak bala tentara setan di lingkungan institusi penegakan hukum dengan mencuci otak para reserse dan jaksa menjadi tidak berahlaq dalam merekayasa kasus untuk memenuhi target kuantitatif kasus tipikor seiring dengan peningkatan jumlah anggaran yang disediakan dalam DIPA penanganan tipikor. 

 Hal ini bisa dikendalikan melalui kebijakan Kepala Negara yaitu : 1) penegakan hukum tipikor hanya dilakukan jika ada rekomendasi tertulis dari Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) yang melampirkan Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) ; 2) Rekomendasi tertulis dari Para Pimpinan Kementerian / Lembaga Non Kementerian dan para Kepala Daerah ketika langkah-langkah Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) tidak diindahkan sampai batas waktu yang ditentukan oleh pihak yang menimbulkan kerugian negara / kerugian daerah ; 3) Adanya konsistensi sikap kebersamaan semua pihak dalam mentaati ketentuan peraturan perundangan yang menjamin wewenang di tiap lembaga kenegaraan ( eksekutif, legislatif dan yudikatif ) sehingga tidak ada yang saling mendahului atau tumpang tindih rebutan kuasa; 4) Bisa belajar ke negara tetangga bahwa untuk kasus korupsi tidak akan dihukum penjara badan pelakunya jika seluruh kerugian negara / kerugian daerah yang ditimbulkannya dikembalikan seluruhnya.

Presiden dan Wakil Presiden beserta para anggota DPR RI yang tidak melakukan upaya yang bijak yaitu memperbaiki kehancuran sistem hukum di negara Indonesia akan terseret dan dijebloskan ke dalam neraka jahim, neraka sangir, neraka jahanam apalagi jika tidak bertobat sebelum kematiannya.

Mari kita buktikan, dalam waktu dekat ke depan , pasti ada pejabat negara atau mantan pejabat negara yang menyusun peraturan perundangan di bidang pemberantasan korupsi akan menikmati bagaimana perlakuan hukum yang disusunnya itu . 

Allah SWT pasti akan menjerat para penguasa yang zalim sejak di dunia sampai di akhirat kelak . Azab Allah pasti sangat pedih . 

BERTOBAT-LAH .






Caranya bertobat adalah : 1) mencabut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001; 2) mengusulkan grasi masal bagi terpidana korupsi / terdakwa yang kasusnya direkayasa penyidik; 3) memulihkan harkat dan martabat terpidana korupsi kasus yang direkayasa; 4) membayar kerugian terdakwa / terpidana yang layak sesuai dengan deritanya secara meteriil dan non materiil; 5) Patuh dan taat kepada ketetapan Allah SWT dalam menyelenggarakan pemerintahan negara utamanya dalam memeriksa suatu perkara .

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com 

Semarang, 16 Nopember 2014
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar