Rabu, 12 November 2014

PENDAPATAN NEGARA DARI NARAPIDANA

WARNA TIPIKOR 

Warna ( warga binaan ) yang dahulu disebut narapidana , kemudian beralih nama menjadi warga binaan pemasyarakatan ( WBP ) yang  dicengkeram oleh penguasa negeri badut merintih akibat bertumpuk-tumpuknya derita penistaan, mulai dari hukuman penjara, kewajiban mengembalikan kerugian keuangan negeri , membayar denda akibat perbuatan kesalahannya , seluruhnya itu diklaim sebagai PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK ( PNBP ).

PNBP DARI NARAPIDANA , APAKAH HALAL ? 

Negeri badut memperoleh pendapatan bisa dari pajak dan atau bukan pajak. Pendapatan pajak, mengandung pengertian bahwa negeri badut tidak perlu bersusah payah menyediakan jasa atas pemakaian tenaga ahli atau alat atau sarana prasarana untuk pihak lain. Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) , mengandung pengertian negara mendapatkan pendapatan non pajak dari pungutan atas jasa yang diberikan oleh tenaga ahli, pemakaian alat atau sarana prasarana yang dikuasai negara dari pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Tarif PNBP diatur di dalam peraturan pemerintah ( PP ). Kementerian negara atau lembaga negara non kementerian bisa ditetapkan sebagai pemungut / penerima pendapatan negara bukan pajak ( PNBP ). Untuk PNBP yang berasal dari penetapan hakim atas perkara korupsi menjadi tugas Jaksa Agung beserta jajarannya sampai tingkat kejaksaan negeri sebagai eksekutornya .

Peraturan Pemerintah yang mengatur PNBP harus memperhatikan Norma, standart, prosedur dan kriteria ( NSPK ). Dengan kata lain NSPK PNBP harus disusun dengan pertimbangan tatanilai sosial ekonomi dan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dan bangsa, nilai keadilan dan bukan didasarkan kepada selera penguasa negeri badut .Oleh sebab itu , di dalam penyusunan NSPK PNBP itu harus melalui uji publik secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan, baik menurut  kaidah hukum positif, hukum agama dan hukum sosial . 

Dalam kaidah hukum positif ( peraturan perundangan yang ditetapkan penguasa negeri badut ) , NSPK PNBP tetap mengedepankan kesetaraan, kebersamaan, keadilan, kemampuan publik, dan tatanilai di tiap daerah . Maka dari itu kementerian atau lembaga negara non kementerian yang akan ditugaskan sebagai pemungut PNBP , wajib melakukan sosialisasi , uji publik dan melakukan kajian dari berbagai aspek seperti diuraikan di atas. 

Dalam kaidah hukum agama, penyusun NSPK PNBP wajib mentaati seluruh ketetapan Tuhan Yang Maha Kuasa, artinya paham mengenai baik atau buruk, memahami halal atau haram, memahami azas keadilan sehingga mereka menjadi penjamin bahwa pendapatan negara bukan pajak tidak masuk kategori yang dilarang Allah SWT. Oleh sebab itu , perlu mendengar fatwa dari lembaga keagamaan .

Dalam kaidah hukum sosial , NSPK PNBP disusun bukan untuk membenarkan perilaku komunitas sosial yang bersifat negatif, seperti penyakit masyarakat ( perzinahan dan perjudian ) . 

PNBP  di lingkungan penegakan hukum
Dalam konteks tindakan penegakan hukum berdasarkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 , pendapatan negara bukan pajak ternyata ada yang diperoleh dari warga negara yang divonis hukuman badan / dipenjara akibat melakukan korupsi yaitu denda .
Pelaku korupsi yang sudah dihukum badan / dipenjara dalam jangka waktu tertentu, pada hakekatnya pemidanaan badan tersebut menjadi tebusan atas kesalahannya melakukan perbuatan kejahatan tersebut . 

Persoalannya :
1) mengapa sudah dipidana penjara masih diwajibkan membayar uang pengganti yang didasarkan dugaan adanya kerugian keuangan negara .
2) mengapa masih dihukum denda serendah-rendahnya Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah ) .

Uang pengganti dalam perkara korupsi sampai saat ini tidak pernah dibahas secara tuntas . Banyak permasalahan yang timbul terkait dengan pidana tambahan uang pengganti tersebut dan semua itu disebabkan karena pengaturan yang tidak jelas dan tegas. Bagi koruptor yang benar-benar mengambil uang negara / uang daerah untuk keuntungan dirinya sendiri atau menguntungkan pihak lain atau korporasinya, sangat wajar jika ditambah hukuman membayar uang pengganti atas kerugian negara / kerugian daerah tersebut. 

Persoalannya adalah : APAKAH WAJAR SESEORANG YANG DIDAKWA KORUPSI OLEH JAKSA/POLISI KEMUDIAN SETELAH DISIDANGKAN DI PENGADILAN TIPIKOR TERNYATA TIDAK TERBUKTI SECARA MEYAKINKAN DAN SAH TELAH MELAKUKAN KORUPSI DAN TIDAK ADA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA / KEUANGAN DAERAH , TETAPI MASIH DIHUKUM PENJARA DAN DIDENDA Rp. 50.000.000 ?

Fakta dalam proses hukum di pengadilan tipikor di Jawa tengah membuktikan bahwa banyak terpidana yang sejatinya bukan pelaku korupsi, artinya: 
-  perbuatannya tidak menimbulkan kerugian keuangan negara
- perbuatan yang diduga melawan hukum senyatanya adalah   
   perbuatan administrasi di institusi pemerintahan daerah .
- sengaja dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum demi 
  mencapai target kinerja institusinya agar anggaran dalam 
  DIPA-nya dapat terserap dengan maksimal
- aparat penegak hukum sewenang-wenang dengan 

BAGAIMANA SIKAP MAJELIS HAKIM-nya ?

Majelis Hakim di pengadilan tipikor di pengadilan negeri Semarang ambivalen, sebab kemampuannya mengembangkan persidangan dalam rangka mengungkapkan fakta perkara yang ditanganinya diabaikan, kemudian sekedar mencari selamat untuk menyelamatkan kariernya sebagai pegawai negeri sipil, dan tetap aman tidak diperiksa oleh Komisi Yudisial dan tidak diumpat lembaga swadaya masyarakat . Hakim hakim khawatir dikatakan tidak berpihak memberantas korupsi .
Vonis majelis hakim pada umumnya : 
-  Selalu selaras dengan dakwaan dan atau tuntutan jaksa 
   penuntut umum ( JPU ) . 
-  selalu menghukum penjara dengan perhitungan 2/3 dari 
   tuntutan JPU 
-  selalu menghukum denda sekurang-kurangnyaRp. 50.000.000 ( 
   lima puluh juta rupiah ) subsider 2 bulan atau 3 bulan
-  bagi yang tidak terbutki merugikan keuangan negara tidak ada 
   hukuman tambahan membayar uang pengganti , tetapi bagi 
   yang benar benar mendapatkan keuntungan dengan cara 
   merugikan keuangan negara dihukum tambahan membayar 
   uang pengganti ( subsider 6 bulan atau 1 tahun )

Jadi hukuman pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi merupakan pidana tambahan selain pidana terhadap terpidananya sendiri dan pidana denda. Terlepas apakah terdakwa adalah pelaku korupsi sebenarnya atau sekedar korban kriminalisasi dugaan tindak pidana korupsi , mereka pasti menjadi seseorang yang sangat dinistakan oleh negaranya sendiri , sebab menjalani penjara badan dipandang belum cukup sebagai tebusan atas kejahatannya. Pada sisi yang lain, terpidana korupsi ditempatkan secara terhormat sebagai bagian wajib bayar pendapatan negara bukan pajak ( PNBP ) yaitu membayar denda dan membayar uang pengganti . Terpidana korupsi yang bukan pelaku korupsi, artinya mereka diperkarakan sekedar menjadi target pelaksanaan anggaran DIPA Kepolisian atau DIPA Kejaksaan Negeri , kondisi perekonomiannya ( sebelum dihukum ) sudah sangat rendah, mereka miskin, sebab banyak diantara mereka adalah pegawai negeri sipil golongan rendahan ( dibawah III/a ) atau para kepala desa dan rakyat biasa misalnya petani, takmir mushola, takmis masjid, ustadz Taman Pendidikan Al Qur'an ( TPQ ) pengasuh pondok pesantren dan madrasah diniyah yang menjadi korban bantuan - bantuan hibah atau sosial dari APBD Pemerintah Propinsi atau Kabupaten / Kota . Kenapa mereka kebanyakan tergolong korban dari kebijakan bantuan hibah / bantuan sosial ? . Karena oknum yang sebenarnya melakukan kejahatan, misalnya yang melakukan pemotongan dana bantuan hibah / bantuan sosial, sengaja dilepaskan dari jeratan hukum oleh aparat penegak hukum . Mereka yang menjadi korban itu , sudah pasti tidak menikmati keuntungan pribadi dari bantuan hibah / bantuan sosial , sebab mereka itu sebenarnya kelompok sosial yang aslinya tidak pernah berminat mengajukan permohonan untuk memperoleh bantuan hibah / bantuan sosial dari APBN atau APBD . Mereka sekedar menjadi konsituen parpol yang tidak aktif, dan oleh kader parpol yang menjadi anggota legsilatif ( DPR / DPRD )  selalu dijadikan objek kucuran dana bantuan hibah / bantuan sosial tersebut . Anggota DPR atau DPRD inilah yang selalu memotong dana bantuan APBN atau APBD . Mereka kalangan pintar berulah , sehingga ketika kasusnya terkuak oleh lembaga swadaya masyarakat penggiat anti korupsi, selalu berkelit dengan mengandalkan uang suap-nya . Ibarat gayung bersambut, pihak aparat penegak hukumnya bermental lemah, tidak bermoral dan tidak memiliki integritas, maka sangat mudah mengkriminalisasi pihak penerima dana bantuan hibah atau bentuan sosial tersebut.

Eksekusi terhadap terpidana wajib bayar PNBP tidak pernah sukses.

Pada dasarnya pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan eksekusi terhadap orang maupun eksekusi terhadap barang dalam perkara tindak pidana pada umumnya. Yang membedakannya adalah adanya batas waktu bagi terpidana untuk membayar uang pengganti tersebut setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap serta diharuskannya menyerahkan harta bendanya untuk menutup pembayaran uang pengganti apabila terpidana tidak mampu membayarnya.

Dari uraian tersebut diatas permasalahan yaitu :
1. Bagaimanakah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 
    terhadap uang pengganti jika dalam amar putusan itu tidak   
    secara tegas menyatakan jaksa wajib melelang harta terpidana 
    yang sudah disita , atau 
2. Bagaimana putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap 
    denda jika dalam amar putusan tidak secara tegas menyatakan 
    cara eksekusi jaksa , atau
3. Apa yang menjadi penyebab eksekusi pidana uang pengganti dan 
    denda mengalami kesulitan? 
4. Apakah pendapatan negara bukan pajak yang berasal dari 
     narapidana korupsi itu halal atau haram jika terpidananya 
    tidak terbukti merugikan keuangan negara / keuangan 
    daerah ? 

Para pimpinan negeri badut harus menajamkan pikiran dengan hatinya untuk menjelaskan empat permasalahan di atas kepada rakyatnya. 

Kesulitan yang dihadapi jaksa-jaksa dalam mengeksekusi uang pengganti dan denda dari terpidana tipikor di Jawa Tengah sebenarnya merupakan dampak dari ulah pikiran kotor jaksa-jaksa atau polisi yang bersangkutan, antara lain :
1. Banyak perkara yang sebenarnya bukan tindak pidana korupsi
2. Jika perkaranya benar korupsi yang dijadikan tersangka / terdakwa bukan pelaku utama
3. Semakin maraknya transaksi berat ringannya tuntutan JPU dan
4. Para pihak yang terlibat dalam penegakan hukum sudah tidak takut dengan ancaman/peringatan Allah SWT 
5. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang melanggar hak azasi manusia tidak dicabut oleh Presiden . 

Narapidana tipikor akibat kriminalisasi menjadi warga marginal


Stigma sebagai koruptor sebenarnya sudah menjadi beban sangat berat yang disandang keluarga narapidana tipikor, sebab masyarakat tidak tahu persis bahwa perkara-perkara korupsi yang sekarang sudah/sedang dalam proses persidangan di PN tipikor Semarang / PT Tipikor Jawa Tengah sebenarnya banyak hasil tipu daya aparat penegak hukum.  
Masyarakat juga tidak paham ketika Presiden negeri badut menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Tipikor ( Tim Tas Tipikor ) yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antara lembaga kejaksaan agung terhadap kepolisian dan BPKP. 

Pemeriksaan keuangan negara oleh BPKP atas dasar Keppres Nomor 11 Tahun 2005 itu melanggar Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 dan tumpang tindih dengan kewenangan BPK sebagai satu-satunya sebagai pemeriksa keuangan negara . 
BPKP sejak awal dibentuknya lebih bersifat sebagai lembaga pengawasan internal eksekutif , tetapi dipaksakan oleh Presiden RI untuk tugas melakukan audit dan menentukan kerugian keuangan negara / daerah yang dapat dijadikan dasar penegak hukum menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi. 

Kewenangan BPK RI sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 Jo Peraturan Kepala BPK Nomor 3 Tahun 2006 secara terang-terangan dikebiri sendiri oleh kepolisian dan kejaksaan negeri . Berbeda dengan KPK, Kepolisian atau Kejaksaan jika bermaksud menghitung terjadinya kerugian keuangan negara / daerah pasti meminta BPKP. 

Akibat power abuse tadi menyebabkan semakin meluasnya pelanggaran hak azasi manusia warga negara karena dikriminalisasi / direkayasa sebagai pelaku tindak pidana korupsi . 
Rekayasa / kriminalisasi itu ditengarahi hanya untuk kepentingan prestasi kinerja aparat penegak hukum yang bisa menjadi faktor promosi jabatan lebih tinggi, artinya MUKTI DIATAS PENDERITAAN PIHAK YANG DIZALIMI .  

Pihak yang dizalimi mendapatkan perlakuan keji yang bertingkat, yaitu :
Menjalani hukuman badan di penjara 
Menjadi wajib bayar pendapatan negara bukan pajak ( PNBP ) 
Menjadi warga masyarakat yang marginal di tempat tinggal asalnya akibat stigma sebagai koruptor . 

Petinggi negeri (menteri) wajib introspeksi mengenai keabsahan peraturan perundang-undangan yang dibuat secara keliru dan merampas hak azasi manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Es.  
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 secepatnya ditinjau ulang dan diubah dengan rumusan tanpa kata " dapat" di depan kalimat " menimbulkan kerugian keuangan negara " .
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tidak sepantasnya menjadi alat pemerintah/eksekutif menambah jenis hukuman dengan dirampasnya hak napi/warna tipikor dalam memperoleh remisi , pembebasan bersayarat atau cuti bersyarat . 

Warna ( warga binaan ) ibarat jatuh tertimpa tangga , artinya sudah menderita hukuman badan, kemudian menjadi wajib bayar pendapatan negara bukan pajak ( uang pengganti dan denda ) , tetapi masih dipersulit hak-haknya akibat dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. 

Negeri badut akan semakin populer di seantero jagad raya sebagai negari hukum jahiliyah. 

Allah swt memperingatkan agar kita selalu dengan cara baik dalam memperoleh harta / rezeki . Baitul Mal dalam zaman Rasulullah SAW hanya diisi dengan zakat yang sah . Pajak hanya dipungut kepada kaum non muslim yang berdomisili di wilayah Islam dan tidak berlaku memerangi perjuangan Rasulullah SAW . 

Setiap orang yang dizalimi /direkayasa aparat penegak hukum yaitu dijebak dalam perkara pidana khusus / korupsi , kemudian oleh hakim dihukum denda dan tambahan hukuman membayar uang pengganti sebagai salah satu sumber pendapatan negara bukan pajak , maka PNBP itu haram . 

Kalau PNBP itu ada yang secara langsung digunakan Lembaga pemungutnya atas izin Presiden , maka perbuatan yang didanani dari pendapatan negara yang haram itu pasti tidak akan diberkahi Allah SWT . 

Kerusakan di bumi akibat perbuatan pimpinan kementerian dan jajarannya terkait dengan PNBP haram , akan mempercepat dijatuhkannya azab / laknat oleh Allah SWT kepada suatu kaum di wilayah negeri badut itu . 

Wahai para pimpinan negeri badut , cepatlah sadar / insaf atas kesalahan di dalam menyusun dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang salah .  

Stop sekarang . 

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com  
Semarang, 12 Nopember 2014 .



Tidak ada komentar:

Posting Komentar