Senin, 29 September 2014

KRIMINALISASI DAN ETIKA PENEGAKAN HUKUM

KRIMINALISASI HANYA DI INDONESIA

Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten / Kota dengan pendekatan kinerja harus dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah . Berdasarkan peraturan perundangan itu kemudian ditindak lanjuti oleh Kepala Daerah dengan menetapkan Peraturan Daerah . 

Tim Anggaran Pemerintah Daerah ( TAPD ) yang dipimpin Sekretaris Daerah bertanggungjawab membimbing Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun usulan / rancangan KUA PPAS yang memuat rancangan kegiatan dan kebutuhan anggaran SKPD untuk dibahas bersama DPRD sebagai bahan awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah . Perkiraan minimal pendapatan daerah dan perkiraan maksimal kebutuhan belanja seluruh SKPD dalam satu tahun anggaran harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh DPRD . 

Pendapatan Daerah yang dipungut dari pajak daerah dan retribusi daerah harus diatur dalam peraturan daerah sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah . Selain pajak daerah dan retribusi daerah sebagai pendapatan asli daerah ( PAD ) , Pemerintah Kabupaten / Kota juga menerima DAU dan DAK dari Pemerintah Pusat dan penerimaan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah seperti penerimaan dari kerugian daerah , bunga deposito, rabat dan lain-lain . Dalam publikasi Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pengelolaan pendapatan asli daerah pada suatu daerah tertentu , kadang banyak temuan penyimpangan administrasi dalam pengelolaan dan pemungutan pendapatan asli daerah dari pajak daerah dan retribusi daerah . 

Penyimpangan yang sering terjadi antara lain : 

Penetapan target pendapatan tidak didasarkan perhitungan riil potensi yang nyata ada , sehingga hampir       semua SKPD tidak dapat memenuhi target yang sudah dicantumkan dalam APBD/DPA SKPD yang bersangkutan . Persoalan ini selalu berulang sepanjang tahun, tidak pernah dievaluasi penyebabnya kenapa pimpinan SKPD juga tidak melakukan reformasi administrasi . Seharusnya ada pertanggungjawaban pimpinan SKPD yang bersangkutan, mengapa memberikan peluang kepada staf jajarannya tidak menghitung potensi riil untuk kemudian menjadi dasar ditetapkan target riil sebuah pendapatan daerah itu dengan Keputusan Kepala SKPD , atau kelau belum memperoleh pendelegasian tentu harus dimohonkan keputusan Kepala Daerah . INI SEBENARNYA CELAH TERJADINYA KORUPSI SECARA SISTEMIK .

Pendapatan tidak disetorkan ke Kas Daerah sesuai ketentuan, yaitu dalam waktu 1x24 jam sejak dipungut . Keterlambatan setor sepanjang ada alasan kesulitan yang dibenarkan oleh Kepala Daerah dan kemudian tetap disetorkan sejumlah yang dipungut tentu tidak bisa digolongkan sebagai penyimpangan yang menjadi unsur tindakan korupsi . 

Kasus lainnya adalah tidak seluruhnya hasil pungutan pendapatan itu disetorkan ke Kas Daerah, tetapi ada sebagian digunakan langsung untuk kebutuhan mendesak SKPD yang bersangkutan . Penggunaan tadi ada yang dipakai untuk biaya operasional dan ada yang untuk pemeliharaan barang yang menjadi sarana sumber pendapatan daerah itu. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Bupati / Walikota wajib menyediakan biaya pemeliharaan barang yang diserahkan penggunaannya kepada SKPD dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD itu. Yang terjadi pada umumnya adalah anggaran pemeliharaan barang yang dikelola SKPD tidak setiap tahun disediakan anggaran pemeliharaan. Dalam pandangan pihak tertentu, Kepala SKPD yang tidak menyetorkan seluruh perolehan pendapatan pasti akan dijerat dengan korupsi sebab dipakai untuk keperluan lain yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan sudah melampaui kewenangannya sebab melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.   

Berdasarkan kajian singkat sebagaimana uraian di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut :
Bahwa APBD Kabupaten / Kota yang diawali dengan penetapan KUA PPAS seharusnya secara totalitas benar-benar disusun objektif dan menjamin berlangsungnya kegiatan pemerintahan daerah yang dilaksanakan SKPD sesuai dengan tupoksi SKPD yang bersangkutan. Masalah besaran anggaran tentu masih bisa ditoleransi dengan skala prioritas . 
Bahwa manakala ada SKPD menghadapi kesulitan kebutuhan anggaran rutin ( belanja tidak langsung ) harus hati-hati dan bisa melakukan penggeseran anggaran pada kelompok anggaran sejenis atas persetujuan Kepala Daerah / Sekretaris Daerah selaku Ketua TAPD . 
Bahwa penyelesaian kesalahan administrasi dalam pengelolaan keuangan daerah , khususnya di sektor pendapatan daerah yang terlambat setor dan atau sebagian dipakai secara langsung, tentu tidak dibenarkan jika hal itu kemudian dihakimi Instansi di luar Pemkab/Kota sebagai tindakan KORUPSI , sebab kewenangan internal Kepala Daerah dalam menertibkan jajarannya bisa dilakukan melalui Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) dan aspek kepegawaiannya . 
Banyak terjadi kriminalisasi terhadap pejabat Pemkab/Kota yang di dalam SKPD nya terungkap adanya penyimpangan administrasi pengelolaan barang dan atau penyimpangan administrasi pengelolaan pendapatan , sebagai akibat lain dari kedengkian antar pejabat atau rebutan promosi jabatan yang tidak memperhatikan daftar urut kepangkatan ( DUK ) kemudian muncul laporan fitnah ke aparat penegak hukum. Kebetulan di Institusi yang melakukan penegakan hukum, sangat haus laporan , haus prestasi , apalagi keadaannya sekarang kalangan mereka itu sudah banyak yang menuhankan jabatan / uang / upeti tertentu , sehingga kriminalisasi semakin meningkat . 

Diluar PAD , DAU dan DAK , Pemkab/Kota juga bisa menerima pendapatan dari Lain-lain Pendapatan Asli Daerah , misalnya dari kerugian daerah atau penerimaan hasil lelangan terbatas barang daerah . Kerugian daerah adakalanya tidak disebabkan oleh perbuatan penyimpangan / melawan hukum seorang pimpinan SKPD atau jajarannya. Kerugian daerah merupakan penerimaan kembali di SKPD tertentu dari suatu pembayaran yang sudah dilakukan dengan transaksi yang sah , yang dilatarbelakangi adanya faktor force majur atau sebab lain yang dibenarkan oleh Kepala Daerah . Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan disini sebagai berikut : 
Pemkab/Kota melakukan kerjasama pemanfaatan pasar daerah dengan swasta yang di dalam perjanjian kerjasama tersebut diatur pembagian tempat usaha dan pembagian tanggungjawab pemeliharaan bangunan. Kerjasama pemanfaatan misalnya dalam jangka waktu 30 tahun. Swasta diberi hak mengelola toko/los lengkap dengan fasilitas listrik terpasang dan diijinkan menjual kepada pedagang dalam jangka waktu 30 tahun . Pedagang menolak membayar rekening listrik kemudian menuntut Pemda yang membayar tagihan rekening listrik dengan APBD sebab instalasi listrik di tiap toko/los sudah sengaja disatukan penyambungannya ke instalasi listrik kantor Pasar milik Pemda. Setelah Pemda dievaluasi BPK kemudian direkomendasikan agar pedagang membayar rekening listrik sendiri. Namun terjadi kesulitan sebab listrik di toko/los tidak memiliki ID tersendiri dari PT PLN . Dan tagihan rekening listrik memang menjadi satu kesatuan dengan tagihan rekening listrik kantor pasar . Akhirnya dengan pedagang dapat disepakati bahwa pedagang bersedia membayar kerugian daerah atas pembayaran rekening listrik toko/los  yang ditalangi APBD melalui SKPD pengelola pasar tersebut. Penerimaan kerugian daerah demikian ini juga bisa dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum, dengan dalih yang dibuat-buat supaya tuduhannya sebagai perbuatan KORUPSI bisa diterima Majelis Hakim mereka mengatakan pungutannya tidak ada dasar hukumnya . Dengan congkak tapi kelihatan kebodohannya, aparat penegak hukum itu menyatakan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa semua pungutan daerah harus ada Perda-nya . Kenapa dia termasuk congkak dan bodoh ? sebab dia mengabaikan ketentuan bagaimana menyelesaikan pungutan kerugian daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 . Kerugian Daerah yang diakibatkan oleh Bendahara dan atau PNS bukan bendahara, yang wajib menyelesaikan adalah Kepala Daerah . Sedangkan pungutan langsung atas terjadinya kerugian daerah yang diakibatkan pihak lain dapat dilakukan oleh Kepala SKPD yang bersangkutan . 

Tulisan ini adalah bertujuan sebagai pencerahan kepada aparat penegak hukum , baik yang sudah mengkriminalisasi target tertentu dan atau yang belum melakukannya. Bagi yang sudah melakukan tentu bisa membuka peraturan perundangan, bisa kroscek ke Kepala Daerah , bisa mensinkronkan persoalan internal SKPD / Pemda dalam kasus seperti itu , serta tidak akan lagi membabi buta memenjarakan pejabat SKPD yang tidak benar-benar KORUPSI tetapi dihancurkan melalui tuduhan KORUPSI .

Stop KRIMINALISASI yang dilatarbelakangi kedengkian antar pejabat Pemda dengan menyewa Institusi Polres atau Kejaksaan. 

Stop KRIMINALISASI sebab itu akan dibalas dengan adzab yang menghinakan oleh Allah SWT . 

Ingatlah MATI .... sebab pelaku KRIMINALISASI dan pelapornya pasti akan dibangkitkan dari kematiannya untuk menerima pembalasan atas perbuatannya menyakiti mukmin laki dan perempuan yang tidak ada kesalahan sama sekali . PELAKU KRIMINALISASI pasti dijebloskan ke dalam NERAKA, mereka kekal di dalamnya . 



 

Minggu, 28 September 2014

TOBAT NASIONAL DALAM MULTI KORUPSI

SEMUA PEJABAT NEGARA PELAKU KORUPSI

 Apakah benar korupsi itu terjadi hanya dengan pelaku tunggal ?
Bagaimana perbuatan korupsi menjadi penyakit kronis bagi Bangsa Indonesia ?

Sebuah pemerintahan di suatu negara yang besar seperti Republik Indonesia , membagi kue pembangunan yang merata bagi seluruh rakyat di seluruh bagian wilayah yang terdiri dari pulau besar dan pulai kecil pasti memerlukan pemikiran cemerlang . 

Belajar dari sebuah perjalanan orde pemerintahan yang sudah berlangsung, yaitu orde lama dan orde baru , kemudian orde reformasi yang sesumbar menjanjikan tatanan akan lebih maju dan lebih akuntabel , kedepan kita harus mengobati penyakit-penyakit korupsi yang dilakukan penyelenggara negara di semua lini dengan mempedomani tuntutan ALLAH SWT sebagaimana terdapat dalam Al Qur'an . Ingat bahwa setelah Rasul Muhammad SAW ditetapkan Allah menjadi utusanNya maka umat manusia sejak itu adalah umat Muhammad SAW , yang harus tunduk taat dan patuh menjalankan syariat Islam . Termasuk dalam menjalankan amanah berpemerintahan di sebuah negara . 

Tokoh-tokoh pendiri negara menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia , sudah mensepakati dalam PIAGAM JAKARTA , bahwa azas bernegara bangsa Indonesia dengan Idiologi PANCASILA adalah menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya .   Tetapi kesepakatan itu diingkari, bahkan dikhianati oleh figur yang "mengaku ikut sebagai tokoh pejuang kemerdekaan" , kemudian secara sepihak menghapus bagian kalimat itu , sehingga kita temukan sebuah Pembukaan UNDANG UNDANG DASAR 1945 seperti sekarang . Bahkan menjadi kacau perjalanan bernegara dan berbangsa kita setelah sdr Amin Rais ketika menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI gampang melayani tindakan amandemen UUD 1945 menjadi ratusan pasal-pasal yang njlimet , ruwet dan berakibat suksesnya visi dari misionaris asing dalam menguasai bangsa dan negara kita . Teman-teman sdr Amin Rais sebenarnya juga sudah menyadari adanya intervensi asing terhadap konstitusi RI melalui tindakan amandemen UUD 1945 tersebut, tetapi kemudian nekat bergabung sebagai akibat mental mereka yang lemah dan pola pikir mereka yang instan menumbuhkan kepinginan untuk cepat menjadi bagian yang maha kaya mendadak dari aspek materiil . Mereka tidak  peduli kehancuran bangsanya dalam waktu yang singkat , yang meruntuhkan pondasi bangunan yang dihasilkan Presiden Suharto .

Upeti maha besar mengalir ke kantong mereka. Inilah awal maha korupsi . Walaupun sebagai awal berjangkitnya penyakit korupsi, tapi karena jenisnya cancer .... maka penularannya menjadi merebak cepat ke semua jaringan tubuh Institusi negara dan pemerintahan sampai di tingkat Daerah Kabupaten / Kota. Tidak percaya ? Mari kita buktikan dengan bualan saya dalam tulisan di bawah ini . Bualan seorang yang gendheng dan gandrung kepada kebenaran Allah SWT dalam seluruh ayat-ayatNya di Al Qur'an .

Sejak era reformasi tahun 1998, pemerintah RI membuat Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah . Dalam UU itu dibuat sekat sangat tebal supaya membatasi hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten / kota . Propinsi tidak disebut karena Gubernur adalah wakil pemerintah pusat . Gubernur menjadi anthek pejabat pemerintah pusat , dan tidak pernah memikirkan bagaimana memajukan propinsinya dan masyarakat yang dipimpinnya . Tidak aneh kok itu ? mengapa ? sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan rekomendasi pencalonannya dari sebuah partai tertentu, calon Gubernur harus mengglontorkan dana milyaran rupiah kepada Ketua Partai yang bersangkutan .
Subsidi APBN kepada Pemerintah Daerah sekedar menjaga keutuhan konsep Negara Kesatuan RI ( NKRI ) yang diatur secara sistemik melalui DAU dan DAK . Dana Alokasi Umum dengan pendekatan faktor yang seragam membuat peran pemerintah pusat seperti layaknya sinterklas pembagi kue kepada sembarang orang di jalanan . Nilainya bantuan kepada Kabupaten / Kota sebenarnya sangat kecil sekali . Dana Alokasi Khusus menjadi kantong penyaluran DANA ASPIRASI pemerintah dan anggota DPR yang terhormat , mereka menjadi kelompok dominant power of opportunist . Tetapi dominant of opportunist ( nggragas ) tetap ada pada pihak anggota DPR RI yang terhormat ketimbang keterlibatan kementerian / lembaga pemerintah non kementerian . Penulis pernah menjadi salah satu caraka Daerah ketika di tahun 2010 mencoba mencari tahu bagaimana dana ASPIRASI atau dana TUGAS PEMBANTUAN disalurkan . Mulanya mendekati Sekjen Kementerian Perdagangan . Dari situ ditawari untuk sebuah anggaran sebesar Rp. 4 milyar untuk bangunan fisik resi gudang . Anggota DPR RI yang menjadi brokkernya adalah sdr AB. Saya terpaksa menerima permintaan fee yang harus dibayar dimuka sebesar 7 % oleh AB melalui Sekjen / calo Kesekjenan Kementerian Perdagangan.
Dalam perjalanan waktu, dana aspirasi yang sebenarnya diambilkan dari pengguntingan oleh BANGGAR DPR RI dari anggaran Revitalisasi Pabrik Gula yang mestinya ada 400 milyar di Kementerian Perindustrian , tapi oleh Komisi yang bersangkutan ditolak , dan tidak bisa menerima ulah Banggar DPR yang seenaknya menggunting anggaran yang bintangnya sudah dihapus sejak di Komisi . Akhirnya batal tidak jadi menerima paket resi gudang di tahun 2010 . Fee yang sudah terlanjur disetorkan 7 % , alhamdulillah dikembalikan, kemudian saya teruskan / dikembalikan lagi kepada calon rekanan yang membiayai penyediaan fee tersebut di Semarang . Tiap fraksi DPR RI berbeda dalam mematok fee, ada yang 10 % ada yang hanya 5 % dari glontoran anggaran. Ternyata kementerian yang menanganinya juga meminta fee, paling sedikit 3 % . 

Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/kota , dimana nyali Bupati / Walikota - nya kecil, kemudian tidak mau ikut-ikutan mencari anggaran gantholan dana aspirasi , ya tidak pernah mendapatkan apa-apa, sehingga terkesan daerahnya tidak pernah ada pembangunan yang spektakuler. Tapi faktanya apa ? . Tidak sedikit jumlah Bupati / Walikota yang menikmati tidur di dalam bui akibat dijerat kasus korupsi yang sungguh-sungguh korupsi . Bagi saya, ketika mencermati vonis Bapak Soemarmo yang bebas murni dengan pertimbangan majelis hakim PK bahwa ide mengambil anggaran APBD Kota Semarang tidak berasal dari Bapak Soemarno, kemudian menjadi dasar bebas murni, inilah hebatnya Majelis Hakim yang masih takut kepada Allah SWT , kemudian membebaskan bapak Soemarmo. Allah SWT tidak akan menghukum, membalas dan menyiksa hambanya yang tidak berbuat keji / dosa / salah / khilaf . Hamba Allah yang terbukti hanya TERPAKSA ikut "terlibat" berlangsungnya sebuah kejahatan, dimaafkan . Allah SWT hanya menghukum hambanya yang benar-benar jahat , kecuali bertobat sebelum meninggal. 

Maka dari itu, untuk menghapus berlangsungnya maha korupsi di pemerintah pusat ya .... pakailah sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan pada era orde baru yang menggunakan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang POKOK POKOK PEMERINTAHAN di DAERAH . Dalam UU itu legalitas organisasi pemerintahan pusat dijamin secara sah. Bagaimana dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah ? Menurut saya, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU penggantinya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , tidak menjamin secara sah keberadaan lembaga pemerintah pusat yang dibentuk Presiden RI . Kita tahu bahwa kementerian dibentuk dengan Keputusan Presiden RI. Kita juga paham bahwa sebuah penamaan Undang Undang , seperti UU Nomor 5 Tahun 1974 yang berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 atau UU Nomor 32 Tahun 2004 , sebenarnya tidak sekedar nama tanpa makna yang mendasar bagi sebuah keabsahan perilaku organisasi pemerintahan. Perilaku organisasi pemerintahan ( pusat dan daerah ) tentu mengkait dengan anggaran , dimana untuk pemerintah pusat dibiayai APBN sedangkan pemerintah daerah dibiayai APBD . Kalau perilaku organisasi pemerintahan di tingkat pusat dalam sebuah lembaga kementerian atau lembaga non kementerian tidak sah, kemudian meraub anggaran dari APBN , mereka menganggapnya sah, ya....disitu dapat dikatakan telah berlangsung korupsi secara massal dalam skala yang maha besar . Kalau pemerintahannya korupsi massal , dan hasil korupsi massal itu untuk pembangunan yang bernuansa sebagai pengejawantahan aspiratif 9 ( DPR RI ) dimana hasilnya kemudian dinikmati rakyat Indonesia, maka sama artinya korupsi dilakukan seluruh bangsa Indonesia .

Jika logika berpikir seperti di atas benar, maka tindakan pemberantasan korupsi yang hanya menunjuk target tertentu atas dasar kebencian kelompok, tebang pilih, memenuhi pesanan politik, sebagai modus baru yang diciptakan aparat penegak hukum untuk menerima suap/melakukanpemerasan HARUS DIHENTIKAN SEKARANG . Pemerintah wajib melakukan rehabilitasi nasional kepada korban-korban target itu yang sekarang sudah menjadi terpidana, atau masih dalam proses hukum . Presiden wajib secara moral dan hukum melakukan permintaan maaf kepada bangsa Indonesia dan kemudian menindak aparat penegak hukum yang merekayasa hukum seenaknya sendiri .

Hai Bapak Presiden ..... renungkan dengan hati yang jernih / yang berdasarkan rahmat Allah SWT . Anda nantinya akan menemukan kebenaran dari kesalahan pemberantasan korupsi sekarang ini . Aparat penegak hukumnya sudah melenceng karena UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga salah pendekatannya, yaitu delik formil , bukan delik materiil . Negara dan Prediden nya kok melampaui kekuasaan Allah SWT .

Semoga Allah SWT akan mengampuni kita bangsa Indonesia ketika sudah melakukan TOBAT NASIONAL . Ayo TOBAT NASIONAL secepatnya . 

Jangan menuruti nafsu dan syahwat kelompok yang tidak ber-Tuhan . Mereka sekarang ini menari-nari kesenangan karena balas dendamnya terpenuhi , tanpa diketahui dimana mereka menyusup ke seluruh lini kelembagaan negara . 

SEKALI LAGI .....AYO TOBAT NASIONAL .

HAKIM MENGADILI SENDIRI - BISAKAH BERTINDAK ADIL

KEADILAN MASYARAKAT MAHAL

Masyarakat Indonesia sebagian besar tidak paham hukum ?
Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang menggelayuti pikiran setiap insan , baik dari kalangan akademisi, kalangan praktisi ataupun dari kalangan profesi .Mereka memiliki jawaban yang bervariasi , bisa membenarkan jawaban bahwa sebagian besar masyarakat tidak paham hukum ketika dalam praktek kehidupan sehari-harinya selalu ada suguhan melalui tayangan televisi atau pemberitaan melalui media cetak tentang meningkatnya pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, pencurian dengan kekerasan, korupsi , penguasaan atas tanah tanpa ijin yang berhak, pedagang kaki lima sulit mematuhi peraturan daerah , pengendara mobil / motor tanpa surat ijin mengemudi, jual beli mobil bodong, penipuan CPNS , TKI ilegal bermasalah di luar negeri , penyuapan Hakim atau Jaksa , overlapping kewenangan dalam penanganan perbuatan melawan hukum. 
Apabila diidentifikasi secara cermat , ketidak pahaman terhadap azas hukum dalam praktek penegakan hukum barangkali bukan ada di pihak masyarakat awam , melainkan justru sengaja dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan tujuan masyarakat awam bisa menjadi objek permainan hukum mereka . Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Jawa Tengah terkuak beberapa jaksa penyidik "lupa" menyertakan titipan barang bukti kerugian keuangan negara/daerah kepada Jaksa Penuntut Umum ketika menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Tipikor Semarang . Seperti halnya yang dialami terdakwa Drw dari Kejaksaan Negeri di wilayah Eks Karesidenan Pekalongan sebesar kurang lebih Rp. 22.000.000 ( dua puluh dua juta rupiah ) . Ketika persoalan ini diungkapkan terdakwa kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Semarang, dan Hakim menanyakan kepada JPU , memperoleh jawaban bahwa JPU tidak mendapatkan penyerahan dari Jaksa Penyidik kasus tersebut . Kemudian terdakwa Drw menunjukkan sebuah kwitansi bukti penerimaan uang titipan itu yang jelas disebutkan sebagai pengembalian kerugian negara / daerah , ditanda tangani Jaksa Penyidik dan di stempel resmi milik Kejari tersebut. JPU tetap saja menuntut hukuman yang tinggi kepada terdakwa Drw dan titipan pengembalian kerugian keuangan negara tidak dijadikan salah satu pertimbangan meringankan hukuman terdakwa. 
Ketika hal ini dikonfirmasikan terdakwa kepada Komisi Pemberantasan Korupsi ( Direktorat Dumas dan Direktorat Gratifikasi ) memperoleh jawaban bahwa itu bukan delik pidana khusus yang bisa dijeratkan kepada Jaksa Penyidik, tetapi pelanggaran kode etik , dan laporannya hanya kepada Komisi Kejaksaan . 
Coba dibandingkan dengan kasus terdakwa Spdin dari Kabupaten Kebumen , yang perkaranya direkayasa oleh penyidik dari Polres Kebumen. Seharusnya terdakwa Spdin tidak patut ditersangkakan korupsi sebab saat penyelidikan dia selaku Ketua Kelompok penggaduh sapi bantuan Menteri Pertanian tidak pernah menjual sapi gaduhannya. Kemudian dibujuk penyidiknya agar menjual, namun tetap tidak mau. Tapi karena takut diancam terus, akhirnya sapi dijualkan penyidiknya sendiri, kemudian uang hasil penjualan dijadikan barang bukti . Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang, JPU mendakwa terdakwa Spdin merugikan keuangan negara Rp. 103.000.000 . Namun tidak dapat dibuktikan, dan sebaliknya Majelis Hakim hanya memaksakan pendapatnya sendiri , seolah - olah ada kerugian negara Rp. 1.300.000 sehingga menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun dan 8 bulan ditambah denda Rp. 50.000.000. 
Mengapa Jaksa Penyidik yang menggelapkan uang titipan terdakwa Drw tidak dapat ditindak menurut hukum pidana khusus ??? Inilah potret yang nyata terjadi , bahwa penerapan hukum pidana khusus sudah membabi buta dengan dalih aparat penegak hukum harus berprestasi karena sudah disiapkan anggaran yang menggiurkan dari APBN , tidak penting apakah masyarakat sasaran yang ditargetkan sebagai calon yang akan dipenjarakan dengan rekayasa paham hukum apa tidak . Aparat penegak hukum selalu berlindung dibawah gelombang kehendak rakyat .Masyarakat luas dan ahli-ahli hukum belum pernah mendengar rekayasa - rekayasa kasus "korupsi" . Masyarakat luas yang awam hukum pun sudah dikondisikan bahwa korupsi adalah perbuatan keji yang merampok uang rakyat / uang negara untuk memperkaya diri pelaku, seperti yang dipertontonkan dalam persidangan tipikor di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan JPU dari KPK.
Pengadilan tipikor tingkat pertama di Daerah ( seperti di Semarang ) , dengan acara persidangan berdasarkan KUHAP masih mengadili langsung terdakwa , mendapatkan sodoran alat bukti dari JPU dan mendengarkan keterangan saksi-saksi di bawah sumpah dan atau saksi-saksi yang diajukan terdakwa . Dengan persidangan yang benar saja masih bisa nekat seenaknya sendiri MENGADILI dan MEMUTUSKAN, artinya tidak pernah berposisi netral , menempatkan dirinya paling berkuasa di ruang sidang itu sebagai wakil Tuhan kemudian atas intuisinya / instingnya mengabaikan keterangan saksi yang nyata-nyata meringankan terdakwa , mengabaikan fakta persidangan, dan akhirnya hanya menstempel untuk sebuah permohonan penghukuman terdakwa dari JPU . Putusannya melenceng dari fakta persidangan , kalau di pengadilan negeri tipikor Semarang cukup meng-copy paste surat tuntutan dan atau surat dakwaan JPU. Jadi .... tidak ada gunanya proses panjang sidang yang digelar seolah-olah sungguhan, namun endingnya cukup copy paste folder surat tuntutan / dakwaan JPU. Hanya dengan begitu tamatlah kehidupan terdakwa beserta keluarga besarnya dimata masyarakat tetapi tidak dihadapan Allah SWT . Dalam tulisan sebelumnya juga sudah diungkapkan betapa terpidana korupsi dari PN Tipikor Semarang sebenarnya adalah korban yang harus dikorbankan oleh sebuah konpirasi asing yang memaksakan reformasi hukum bersamaan dengan reformasi demokratisasi di Indonesia .
Seperti yang diderita oleh Bapak SOEMARMO mantan Walikota Semarang, pada tahapan PK beliau diridlai Allah SWT menghadapi Majelis Hakim PK yang insyaallah derajat ketaqwaannya menjadi teladan, sehingga berani memutuskan bebas murni untuk Pak Soemarmo. Namun beliau sudah dihancurkan harkat dan martabatnya di awal proses hukum yang seharusnya menganut azas praduga tak bersalah , melalui kacung-kacung penjual informasi murahan yang bobotnya fitnah , kemudian di blow up melalui media televisi dan atau media cetak, kemudian juga dipecat dari jabatan Walikota Semarang . Apa jaminan Negara terhadap mantan terpidana yang bebas murni seperti Bapak Soemarmo ini ?? . Sebaliknya apa jenis sanksi hukum yang harus dijatuhkan Pemerintah / Negara terhadap Pelapornya, Jaksa Penyidik KPK, JPU KPK, Pimpinan KPK dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta serta Majelis Hakim di Mahkamah Agung RI yang secara arogan , tidak profesional kemudian salah menghukum Bapak Soemarmo yang tidak bersalah ??. Hai ..... Bapak Presiden RI ...... apakah anda akan membisu seribu bahasa terhadap salah satu contoh kasus korupsi rekayasa seperti ini ??? . Padahal akan anda temukan kasus korupsi rekayasa di Jawa Tengah jika anda diujung akhir jabatan Presiden RI ini anda perintahkan Tim Mafia Hukum untuk menelusurinya sehingga akan menjadi bagian yang baik bagi pertanggung jawaban anda kepada Allah SWT ( istilahnya : KHUSNUL KHOTIMAH ). Permintaan korban-korban rekayasa kasus korupsi : sebaiknya mulai dari pelapor kasus, Jaksa / Polisi penyidik, atasan penyidik , JPU dan Majelis Hakimnya dipecat dari statusnya pegawai negara / pegawai negeri sipil dan tetap dihukum berat ( seumur hidup atau mati ) .
Di Pengadilan Banding Jawa Tengah juga pernah memutuskan bebas atas 2 ( dua ) orang terdakwa yang dikait-kaitkan dengan kasus rekayasa tukar guling tanah milik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang terletak di Desa Nyatnyono Kabupaten Semarang . Namun Majelis Hakim PN Tipikor Semarang salah menghukum terdakwa sdr HARYANTO , yang berdasarkan fakta dan alat bukti yang dimiliki terdakwa, dia sebenarnya sama sekali tidak terkait langsung dengan tuduhan adanya kerugian daerah terkait dengan tukar guling tersebut. Sdr Haryanto divonis penjara 4 tahun dan 6 bulan, ditambah denda Rp. 200.000.000 . Ini hukuman apa sih ???. Karena sdr Haryanto hanya seorang pegawai desa Nyatnyono , yaitu kepala urusan, dan tidak paham bagaimana membela dirinya, pasrah, tidak banding . Hukum brutal, atau Majelis Hakimnya yang tak punya nurani ke-Tuhanan sama sekali ? Dalam satu paket kasus rekayasa, 2 orang terdakwa yang bebas dari tuntutan hukum adalah pegawai / pejabat kantor Pertanahan Kab Semarang, sdr Haryanto yang hanya wong cilik tetap harus dihukum .

BAGAIMANA MAJELIS HAKIM BANDING DI JAWA TENGAH ???
Bagaimana dengan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang melayani banding JPU atau terdakwa  sebenarnya diberi opsi mengadili ulang atau MENGADILI SENDIRI . Hampir tidak pernah ada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tipikor Jawa Tengah memilih mengadili ulang dengan memeriksa kembali terdakwa dan saksi-saksi . Menurut masyarakat umum, peradilan yang fair adalah bukan sekedar meneliti berkas, kertas yang bisu , tetapi berkas tadi bicaranya melalui tulisan yang direkayasa oleh panitera dan JPU demi memenangkan misi menghukumnya .   Mengadili sendiri , artinya tidak pernah memeriksa ulang terdakwa dan saksi-saksi, apakah persidangannya masih layak diketok dengan palu oleh Majelis Hakim sebagai persidangan terbuka untuk umum ? Barangkali terbuka untuk syethon - lah kali ????.Mengapa terbuka untuk syethon ? Bisikan syethon pasti ke arah yang jelek-jelek . Majelis Hakim tingkat pertama dan tingkat banding, bahkan sampai di Mahkamah Agung hanya berpedoman tabel yang sudah dibakukan , yaitu vonis sekurang-kurangnya 2/3 tuntutan JPU . Majelis hakim banding pasti akan menambah hukuman jika Majelis Hakim tingkat pertama belum memvonis mendekati 2/3 tuntutan JPU . Yang aneh dan sekedar populis ya di Mahkamah Agung RI , ada vonis melebihi tuntutan JPU . Figur Hakim Agung yang menjadi dominant of opportunist ( gragas ) bisa jadi menyenangi kesengsaraan orang ketimbang mengingat akan kematiannya kelak akan menerima apa dari Allah SWT . Dalam surah Al Ahzab Allah SWT memperingatkan bahwa Hakim yang memutuskan menyimpang dari kebenaran yang menjadi ketentuan Allah digolongkan orang Kafir, Orang Fasiq , Orang Zalim dan kepada Hakim semacam itu pasti dibalas azab yang menghinakan di dunia dan di akhirat .
 ( bismillahirrohmanirrohim : INNALLADZINA YUKDZUNALLAHA WA RASULA LA'ANALLAHU FI DUNYA WAL AKHIRAH, WA 'ADDALAHUM 'ADZABAM MUHINA ) .
Demikian halnya , Hakim yang menyakiti orang mukmin laki-laki atau perempuan tanpa kesalahan, sungguh Hakim tadi telah melakukan kesalahan dan dosa yang nyata . ( bismillahirrohmanirrohim : WALLADZINA YUKDZUNAL MUKMININA WAL MUKMINATI BI GHAIRI MAKTASABU FAQODIHTAMALU BUHTANAN WA ISMAM MUBINA ) .
Permintaan penulis dan korban-korban rekayasa kasus korupsi : hapus acara MENGADILI SENDIRI yang diberikan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dan atau Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung, sebab itu melanggar ketetapan Allah SWT . Jika membuka peluang upaya hukum, ya seperti acara persidangan di Pengadilan Agama . Atau jika para ahli hukum mau mempertimbangkan, kedepan negara RI sebaiknya menggunakan sistem YURI . Disini akan mengurangi subjektivitas Hakim .


Sabtu, 27 September 2014

TRAGEDI KEPALA DESA DALAM LINGKARAN KORUPSI


TATANAN HUKUM ADAT DESA HANCUR

Bangsa yang dimaksud adalah bangsa Indonesia , yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari 220 juta jiwa .
Bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 , dengan latar belakang terlalu lama hidup tertindas oleh penjajah Belanda dan Jepang . Dengan idiologi negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 , pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) memilih sistem presidensial dengan beberapa kementerian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1948 . Tahun 1949 – 1950 NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) dengan Pancasila dan Konstitusi RIS , namun kembali lagi menjadi NKRI tahun 1950 dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Sementara ( UUDS ) tahun 1950 .
Tahun 1952 suhu politik memuncak akibat dari ketidak stabilan pemerintah pusat yang diwarnai multipartai politik, sehingga pimpinan angkatan bersenjata republik Indonesia yang dipimpin Jendral Gatot Subroto memandang perlu mengingatkan Presiden RI untuk mengambil langkah – langkah strategis mengamankan amanat proklamasi kemerdekaan . Tahun 1952 adalah cikal bakal lahirnya dwi fungsi ABRI. Demokrasi terpimpin tahun 1957 ternyata juga tidak menuntun bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 . Ketika Badan Konstituante dalam sidang paripurna yang mengagendakan penetapan konstitusi tidak bisa mengambil keputusan, maka Presiden RI mendekritkan berlakunya kembali Undang Undang Dasar 1945 bagi bangsa dan negara Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959. Pemerintahan Dalam Negeri dan pemerintahan daerah masih menggunakan Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 . Pemerintahan desa di Pulau Jawa tetap mempedomani IGO sedangkan di luar Pulau Jawa berpedoman IGOB yaitu peraturan perundangan tinggalan penjajah Belanda .
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah mengatur (perilaku organisasi) pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah secara terpadu , artinya di suatu Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati dibantu oleh seorang sekretaris wilayah kabupaten dan seorang sekretaris daerah . Perangkat pemerintahan pusat sebagai kepanjangan lembaga kementerian semuanya ada di tingkat propinsi dan anggaran operasionalnya dari APBN . Sedangkan perangkat pemerintahan pusat yang ada di kabupaten masih terbatas, antara lain kantor departemen pendidikan dan kebudayaan, kantor departemen kesehatan, kantor departemen perdagangan dan anggarannya juga dari APBN . Kabupaten dan atau Kotamadya yang mampu menjalankan rumah tangganya oleh UU Nomor 1 Tahun 1957 diberi otonomi seluas-luasnya menjadi daerah otonom sehingga memiliki lembaga perwakilan ( DPRD ) , sedangkan yang tidak mampu cukup menjadi wilayah administratif tanpa DPRD .
Perjalanan sistem pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak stabil sebab para pejabat pemerintahan di tingkat pusat / propinsi / kabupaten atau kotamadya adalah kader multipartai politik, sehingga dapat diduga penggunaan anggaran negara / anggaran daerah tidak lagi lurus hanya untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemerintahan sebagaimana yang telah dituangkan dalam APBN / APBD. Tahun 1971 adalah masa dimana bangsa dan negara kita mensepakati reformasi struktur politik , sehingga hanya ada 9 partai politik dan 1 golongan karya. Seluruh aparatur pemerintah di lembaga pemerintahan pusat dan daerah harus menandatangani monoloyalitas menjadi anggota golongan karya. Keluarga besar ABRI dan Polri , termasuk aparat pemerintah desa juga menyatakan monoloyalitasnya menjadi anggota golongan karya . Pada pemilihan umum legislatif tahun 1971 , golongan karya meraih kemenangan. Roda pemerintahan daerah propinsi / kabupaten dan kotamadya secara administratif masih dua nahkoda , artinya masih dipimpin oleh sekretaris wilayah dan sekretaris daerah .  Kondisi ini kemudian dievaluasi sebab tidak efisien dan menyebabkan stagnasi pemerintah daerah dalam mengembangkan urusan rumah tangganya . Aparatur pemerintah sudah satu sikap menjadi anggota golongan karya diperkuat dengan dwi fungsi ABRI yang secara terang-terangan memiliki fraksi sendiri di lembaga perwakilan ( DPR dan DPRD ). Pemerintahan orde baru kemudian mengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah . Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan judul Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah artinya azas pemerintahan yang terdiri dekonsentrasi, desentralisasi dan medebewind ( tugas pembantuan ) diberlakukan bagi pemerintahan pusat sekaligus untuk pemerintahan daerah ( propinsi/kabupaten/kotamadya ) . Otonomi Daerah diberikan berdasarkan kemampuan yang nyata bagi masing-masing Daerah , namun tanggungjawab (keuangan) pemerintah pusat tetap besar sebab kebijakan APBN mensubsidi daerah dilakukan secara transparan berdasarkan bottom up planning . Setiap daerah ( propinsi dan kabupaten/kotamadya ) difasilitasi lembaga perencanaan pembangunan yaitu Badan Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Daerah ( Bappeda ) , sedangkan di pusat dikoordinasikan oleh Bappenas . Pemerintah diamanati oleh Undang Undang Dasar 1945 wajib menetapkan Garis-garis besar haluan negara ( GBHN )  yang harus dipatuhi juga oleh Daerah . Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dari kader-kader yang berkualitas dan telah teruji integritasnya dalam memimpin pemerintahan. Kepala Daerah sekaligus adalah Kepala Wilayah sehingga sebutannya menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , demikian juga untuk kabupaten/kotamadya adalah Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II . Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 administrasi pemerintahan daerah dipimpin oleh seorang sekretaris wilayah/daerah. Pelaksanaan anggaran untuk pembangunan ada yang dilaksanakan secara swakelola oleh dinas teknis-nya masing-masing . Pengawasan dilaksanakan oleh Inspektorat Propinsi atau Kabupaten/Kotamadya. Inspektorat Kabupaten / Kotamadya juga melakukan pemeriksaan pelaksanaan pemerintahan desa .
Seluruh peraturan daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang mengatur tentang pungutan daerah sistematika dan substansi hukumnya diseragamkan, sehingga standart pelayanan minimal kepada masyarakat dalam hal perijinan antar kabupaten / kotamadya tidak jauh berbeda.
Pemerintahan Desa diberi hak memungut dari masyarakat desanya sepanjang disepakati di setiap pelaksanaan pemilihan kepala desa. Kesepakatan itu  kemudian dimusyawarahkan oleh lembaga musyawarah desa ( LMD ) menjadi Keputusan Rembug Desa . Misalnya mengenai pologoro , gotong royong pembangunan, dan swadaya sebagai pendampingan adanya bantuan anggaran dari pemerintah kabupaten / kotamadya.
Pologoro yang lazim dipungut dari masyarakat desa antara lain ketika masyarakat melakukan perbuatan hukum peralihan hak tanah, menyelenggarakan keramaian saat punya hajat, mendirikan usaha, permohonan pengetokan kayu milik sendiri untuk bangunan rumah. Sedangkan swadaya bisa sumbangan uang , bahan dan tenaga dari masyarakat dari seluruh wilayah desa . Kalau untuk gotong royong biasanya berlaku untuk skala pembangunan terbatas di salah satu dusun, bukan memungut dari seluruh masyarakat desa.
Di saat sekarang ini, tidak sedikit Kepala Desa yang dikriminalisasi oleh penyidik dari Polres atau Kejaksaan Negeri dengan tudingan melakukan korupsi atas pungutan ologoro atas dasar laporan LSM / pihak yang berkepentingan menjatuhkan kepala desa . Aparat penegak hukum yang tidak paham sejarah pologoro atau sebutan nama lainnya, berasumsi sebagai pungutan liar sebab tidak ada dasar hukumnya, misalnya Undang-undang atau Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.   
Sejak proklamasi kemerdekaan RI Desa atau sebutan lain dipimpin oleh Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa . Perangkat Desa terdiri dari Carik, Kamituwa , Kebayan, Kapetengan, Bekel atau sebutan lain . Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat, ada yang memiliki kekayaan desa berupa tanah bengkok dan ada yang tidak . Tanah bengkok itu sebagian untuk upah Kepala Desa dan perangkat desa , sebagian lainnya untuk biaya operasional pemerintahan desa dengan cara disewakan secara tahunan . Oleh sebab itu pendapatan kepala desa dan perangkat desa rata-rata rendah , apalagi bagi desa yang tidak memiliki sama sekali tanah bengkok .
Keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pembina desa setelah proklamasi kemerdekaan tidak jelas, bahkan memberikan tugas tambahan memungut pajak bumi dan bangunan ( PBB ). Administrasi pemerintahan desa  yang dikelola baru terbatas mengenai kependudukan dan pertanahan . Aspek kependudukan meliputi pencatatan lahir, mati , datang dan pindah . Sedangkan aspek pertanahan hanya menginventarisir data induk tanah desa ( kutipan letter C dan peta tanah ) . Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 ( UUPA ) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun Camat secara eks officio menjabat PPAT Sementara di wilayah kecamatannya.  Peralihan hak atas tanah dilaksanakan masyarakat desa hampir berhenti di tingkat Desa , dicatat dalam kutipan buku C desa oleh Carik. Sebagai saksi peralihan hak maka kepala desa dan Carik menggunakan dasar Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1960 , dapat memungut uang honorarium saksi sebesar 1,5 % dari harga tanahnya , ditambah pologoro untuk desa , biasanya sebesar 5% - 7 % . Besaran pologoro itu sudah tertuang di dalam keputusan rembug desa. Keputusan rembug desa tentang Pologoro itu pasti sudah disahkan oleh Bupati / Walikota Kepala Daerah Tingkat II atas rekomendasi Camat dan Wedana.
Pemerintahan Desa kemudian diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah . Dengan UU Nomor 5 Tahun 1979 Kepala Desa dapat menetapkan keputusan desa bersama-sama Lembaga Musyawarah Desa ( LMD ) atau keputusan kepala desa sebagai pelaksanaan lebih lanjut keputusan desa. Keputusan Desa harus disahkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setelah diteliti dan direkomendasi oleh Camat dan Pembantu Bupati/Walikotamadya . Di bidang Pembangunan Desa , Kepala Desa dibantu Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa ( LKMD ) dan RW / RT .
Pungutan Desa berupa pologoro , gotong royong dan atau swadaya merupakan sumber pendapatan desa untuk memperkuat kekayaan desa dipergunakan untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga desa . Hasil pungutan pologoro, gotong royong dan swadaya masyarakat dimasukkan ke dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa ( APBDesa ) yang dituangkan dalam keputusan desa dan harus memperoleh pengesahan dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Jadi menjadi sangat jelas bahwa dasar memungut dan dasar menggunakan hasil pologoro, gotong royong dan swadaya masyarakat adalah Keputusan Desa yang dilegalkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II . Mengapa aparat penegak hukum berambisi mengkriminalisasi , dengan arogan menyatakan pologoro adalah pungutan liar dan ketika sebagian penggunaannya yang diuraikan dalam APBDesa adalah untuk honor kepala desa / perangkat desa , kemudian dibidik sebagai perbuatan korupsi ? . Masyarakat desa pada umumnya menjadi sedih tidak bisa protes kepada siapa ketika kepala desa-nya dihukum penjara badan 2 atau 3 tahun , ditambah mengembalikan kerugian negara senilai pologoro dan didenda Rp. 50.000.000 dengan tuduhan korupsi pologoro . Inilah potret kebiadaban hukum karena dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang buta sejarah pologoro tetapi tidak mau berlajar dengan baik tentang pologoro.
Kepala desa dan perangkat desa adalah ujung tombak yang banyak berkorban bagi masyarakat. Kemampuan mereka di bidang administrasi sangat rendah , sehingga tidak sedikit kepala desa dinilai melakukan kesalahan administrasi dalam mengelola keuangan desa, walaupun kinerja atas biaya Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa ( APB Desa ) dapat dibuktikan fisiknya.
Pada masa era orde baru, penyelesaian kesalahan kepala desa / perangkat desa tidak mengedepankan tindakan represif tetapi pembinaan. Kesalahan administrasi yang terkait dengan pengelolaan keuangan desa / Inpres Bandes juga ditindak secara administrasi yaitu skorsing jabatan untuk beberapa bulan dalam rangka menyelesaikan kesalahannya itu . Ketika sudah dipenuhi kewajibannya yaitu mengembalikan keuangan desa akibat kesalahan administrasi maka jabatannya dipulihkan kembali oleh Bupati / Walikoatamdya Kepala Daerah Tingkat II .
Pologoro menjadi magnit pengikat hubungan emosional antara warga desa dengan Kepala Desa dan perangkat desanya. Jadi tidak bisa serta merta kemudian ditafsiri sebagai gratifikasi berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sejak tahun 2005 semua keputusan desa dan keputusan kepala desa yang bersifat mengatur atau membebani keuangan desa dan masyarakat , termasuk pungutan pologoro harus disahkan Bupati / Walikota kemudian diundangkan dalam Berita Daerah oleh Sekretaris Daerah .
Di era eforia pemberantasan korupsi sejak tahun 2001 sampai tahun 2007 tindakan  terhadap kepada Kepala Desa sudah mengabaikan tindakan perdata tata usaha negara atau tuntutan perbendaharawanan dan ganti rugi ( TPGR ) . Tetapi langsung dengan tindakan hukum pidana / pidana khusus , baik akibat dilaporkan LSM atau justru dilimpahkan oleh Bupati / Walikota kepada Kapolres atau Kajari setempat . Kecenderungan sikap Kepala Daerah seperti ini lebih banyak disebabkan dendam pribadi akibat tidak memberikan dukungan disaat Pilkada . Kepala Desa yang loyal dan melakukan dukungan penuh terhadap calon yang terpilih dalam Polkada , juga tidak selalu aman, sebab pihak lawannya pasti akan mencari kesalahannya kemudian menjeratnya ke dalam kasus hukum . Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup korupsi yang sangat mungkin dilakukan oleh Kepala Desa adalah “penyimpangan” penggunaan keuangan desa selain pologoro yang berawal dari ketidak tertiban dalam mengelola administrasi keuangannya . Dalam segala kegiatan apapun yang dibiayai oleh pendapatan asli desa atau dana yang bersumber bantuan Pemerintah Kabupaten / Kota ( APBD ) posisi dan peran Kepala Desa adalah penanggung jawab kegiatan . Selaku penanggung jawab kegiatan pasti menetapkan keputusan kepala desa membentuk panitia pelaksana kegiatan , yang anggotanya terdiri dari Sekretaris desa dan para kepala urusan / kepala dusun dan anggota lembaga perencana dan pelaksana pembangunan desa . Dalam proses pelaksanaan pembangunan, adalah menjadi lazim jika ada tambah / kurang dari perencanaan semula. Namun karena tidak dididik untuk membuat as bill drawing, maka tambah/kurang fisik bangunan biasanya tidak dilengkapi dengan berita acara tertulis . Walaupun tidak ada korupsi sedikitpun , namun kalau tambah / kurang fisik bangunan itu tidak dilengkapi berita acara tertulis, tetap saja disalahkan oleh JPU atau Majelis Hakim tipikor ketika harus diuji melalui persidangan tipikor . Kepala Desa-nya tetap dihukum berat . Tuntutan akan menjadi ringan manakala antara JPU dan terdakwa melakukan transaksi dengan sejumlah rupiah . Maka bagi terdakwa yang yaqin tidak melakukan kesalahan dan tidak mencuri keuangan desa , biasanya all out dalam menghadapi persidangan. Namun terdakwa lalai bahwa dengan dasar delik formil dalam UU No 31 Th 1999 Jo No 20 Th 2001 yang menjadi senjata pamungkas peyidik/JPU dan Majelis Hakim tipikor, tindakan kepala desa yang menurut Majelis Hakim diwaktu yang akan datang “berpotensi”  dapat menimbulkan kerugian keuangan desa  , terdakwa tetap dihukum berat . Tidak akan ada yang dibebaskan.

Kasus yang sekarang ngetren , yaitu pebagian beras untuk penduduk miskin ( RASKIN). RASKIN juga sedang gencar disalahkan dan dincar Kapolres/Kajari untuk menumpuk prestasi kinerja guna meraih jabatan lebih tinggi . Fakta di lapangan memang membuktikan bahwa RASKIN ( atas desakan seluruh warga ) , kemudian dibagi rata kepada seluruh penduduk, Kepala Desa kemudian mengikuti kehendak warganya . Walaupun BULOG sudah dibayar lunas ( artinya : tidak ada kerugian negara ) Kepala Desa-nya tetap dihukum berat .
Penyidik selalu menutup mata dan telinga jika ada masyarakat yang membela kepala desanya yang dituduh korupsi RASKIN yang dibagi rata ( RASTA ), dengan berdalih harus menindak lanjuti laporan masyarakat / LSM . Apakah LSM di desa-desa itu murni terdiri dari komunitas yang berniat memperbaiki sistem dalam rangka mencegah terjadinya korupsi ??. Mereka juga bisa menjadi agen yang sengaja diciptakan oleh kepentingan asing dan atau oleh kelompok tertentu yang menjadikan komoditas dengan oknum penegak hukum itu sendiri yang tujuannya meraup keuntungan materiil dan balas dendam .
Apakah tujuan Negara dan Pemerintah ( melalui aparat penegak hukum yang zalim ) seenaknya sendiri memformulasi kerangka berpikir kriminalisasi bagi para Kepala Desa ? . Kalau mau fair, RASKIN menjadi RASTA sebenarnya berlangsung di seluruh Indonesia. Pertanyaannya : kalau memang penindakan terhadap kepala desa dalam mengelola RASKIN dipaksa sebagai tindakan korupsi, sebaiknya Jaksa Agung membuat Instruksi kepada seluruh Kajari untuk merangket seluruh Kepala Desa untuk dijebloskan ke penjara . Sekalian biar jelas terbaca bagi masyarakat awam sekalipun , bahwa diujung berakhirnya Presiden SBY , aparat penegak hukum melayani agen asing atau kelompok bangsa untuk membalaskan dendam kesumatnya akibat tragedi yang dialaminya di jaman orde lama. Akan semakin mudah balas dendam itu dilayani aparat penegak hukum manakala pengelolaan bantuan desa dari APBN sebesar Rp. 1.000.000.000 yang akan diluncurkan tahun 2015 ketika tidak dibarengi bimbingan administrasi dan teknis dari Pemerintah Kabupaten / Kota . Kemampuan administrasi para Kepala Desa masih terbatas seiring dengan pergantian kepala desa . Pendidikan dan pelatihan para kepala desa yang baru hasil pilkades tidak dilakukan secara berkelanjutan . Kondisi ini yang memprihatinkan . Kalangan terpidana korupsi mencurigai bahwa bantuan desa Rp. 1.000.000.000 adalah sebuah drama balas dendam tragedi politik jaman orde lama, yang diformulasi generasi keturunannya yang sudah menanamkan idiologi dengan simbul kerakyatan diseluruh infrastruktur dan suprastruktur politik . 

Kalau dugaan itu benar-benar terwujud, maka Pemerintah pusat harus menyiapkan LP dalam jumlah besar, atau negara ini dipilah, ada penetapan sebuah atau beberapa pulau sebagai lokasi memenjarakan kepala desa atau siapapun yang terlibat korupsi yang berasal dari kriminalisasi . Bangsa asing yang sengaja menghancurkan bangsa Indonesia, atau kelompok balas dendam yang sekarang sudah menyebar ke dalam berbagai profesi di seluruh institusi / struktur partai politik , akan semakin menjadi bagian terbesar opportunis nggragas yang dominan di segala bidang di negara Republik Indonesia. Bangsa Indonesia akan cepat hancur lebur jika tokoh-tokoh yang masih berpikiran / berpendirian lurus tidak berani bertindak lebih cepat menyelamatkan bangsa.   Pembaca yang budiman....tulisan berikutnya adalah kajian korupsi di lembaga Pemerintahan Daerah dan Pusat . Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com   
Semarang, 27 September 2014