Rabu, 11 Maret 2015

REFORMASI UU NO 31 TH 1999





BIANG KORUPTOR
Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilahirkan dalam era efuria reformasi di bidang hukum , yang dicurigai sebagai pesanan kalangan Yahudi dalam rangka memaksakan misinya menghancurkan bangsa dan negara indonesia, sudah sangat banyak memakan korban orang orang tidak melakukan tindak pidana korupsi . 

Ketidak pastian di dalam Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 antara lain , diberikannya kekuasaan kepada aparat penegak hukum untuk menggali tafsir hukum sejalan dengan pemahamannya terkait dalam perkara yang disidangkan Majelis Hakim terhadap ketentuan / makna yang demikian luas yang ada pada pasal-pasal di dalam undang undang nomor 31 tahun 1999 itu terhadap diskripsi " berpotensi dapat menimbulkan kerugian keuangan negara dan menghancurkan perekonomian negara ", utamanya pasal 2 dan pasal 3 yang sangat mendorong nafsu syahwat penegak hukum menjadi leluasa di dalam memenuhi pesanan pihak tertentu demi pencitraan . 

Para ahli hukum yang independen yang profesi kesehariannya adalah guru besar hukum pidana pada beberapa perguruan tinggi yang dihadirkan sebagai saksi pada sidang di Mahkamah Konstitusi sekira pada tahun 2006 oleh pemohon uji materi pasal 2 dan pasal 3 undang undang nomor 31 tahun 1999 dimana Ketua Majelis Hakimnya adalah Prof Dr Jimly Assidiqie dengan 8 ( delapan ) orang Hakim anggota, para ahli hukum itu menyatakan kekhawatirannya bahwa suatu saat ke depan pasti terjadi korban korban seseorang dihukum penjara walaupun mereka tidak melakukan perbuatan atau belum melakukan perbuatan korupsi .  Di dalam sebuah persidangan tipikor pasti akan terjadi kolaborasi jahat antara Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) dengan Majelis Hakim untuk membuat presiden atau lembaga swadaya masyarakat seperti ICW puas , yang dipentingkan penegak hukum adalah tidak mendapat tekanan apapun ketika vonisnya tetap tidak  membebaskan terdakwa walaupun fakta persidangan yang sebenarnya cukup memposisikan terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan seharusnya dibebaskan murni atau kalaupun ada perbuatan tetapi perbuatannya tidak termasuk tindak pidana , sehingga setidak-tidaknya terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum. 

Demi memuaskan pimpinan negara atau atasan institusinya dan takut diperiksa oleh komisi yudisial ( KY ), terdakwa tetap akan dipaksa menerima hukuman badan (penjara) walaupun unsur kerugian keuangan negara atau kerugian keuangan daerah yang menjadi syarat / unsur penting apakah benar terdakwa melakukan KORUPSI tidak ada sama sekali. Kriminalisasi terhadap seseorang warga negara dengan stigma KORUPTOR yang senyatanya TIDAK DITEMUKAN ADANYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA ATAU KERUGIAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH sudah sangat biasa dilakukan oleh para penyidik, baik dari kejaksaan negeri ataupun dari kepolisian di wilayah hukum propinsi Jawa Tengah sejak tahun 2011 sampai sekarang tanpa dikontrol oleh Presiden atau oleh Kapolri atau oleh Jaksa Agung , apalagi oleh LSM yang berteriak keras tentang pemberantasan korupsi . 

Para aparat penegak hukum semakin leluasa melampiaskan nafsu jahatnya dalam melakukan kriminalisasi terhadap seseorang yang menjadi target atau memenuhi pesanan pihak tertentu, tidak lagi peduli apakah mereka penegak hukum itu sadar sebagai hamba Allah swt atau makhluk tanpa bertuhan, sudah tidak lagi mencerminkan ahlaq beriman sesuai agama yang dijamin negara .

Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara "dugaan korupsi" tidak terlalu susah payah walaupun persidangannya berlangsung sangat panjang, yang sering menjadikan mereka tertidur pulas mungkin akibat kecapaian atau persidangan itu sendiri dianggapnya sekedar pro formalitas , mereka sangat lihai menjatuhkan vonis bagi terdakwa.  Kalau JPU menuntut 3 tahun, maka Majelis Hakim pasti memvonis sedikitnya 2 tahun. Kalau terdakwa bisa diajak bincang bincang biaya perkara kemudian JPU atau Hakim juga menawarkan berat atau ringannya tuntutan/hukuman, terjadilah transaksi diantara mereka. Seberat apapun substansi perkara korupsi yang didakwakan JPU kepada terdakwa, asal berlangsung transaksi hukuman, maka tuntutan JPU rata-rata di bawah 2 tahun. Otomatis hakim juga akan memvonis hukuman penjara dengan rumus 2/3 tuntutan JPU . 

Persidangan tipikor di Jawa Tengah sekedar formalitas . 

Keterangan para saksi , ahli dan keterangan terdakwa sangat mudah dikesampingkan oleh JPU dan Majelis Hakim , bahkan dengan tanpa alat bukti sekalipun yang seharusnya dipenuhi sejak penyidikan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan , kemudian dengan alat bukti itu penyidik dapat menetapkan tersangka, persidangan formalitas itu bisa mencapai tahap final dengan menghukum terdakwa. 

Undang undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang undang nomor 20 tahun 2001 memastikan adanya hukuman bagi terdakwa korupsi  bertingkat tingkat yaitu penjara badan , denda sejumlah uang dan hukuman tambahan ( jika terbukti ada kerugian negara/daerah ) membayar uang pengganti ( UP ) . Bagaimana jika tidak ada sama sekali kerugian keuangan negara atau kerugian keuangan daerah ?. Majelis Hakim dan JPU tidak malu walaupun tetap menjatuhkan vonis hukuman penjara dan denda tanpa ada hukuman tambahan membayar UP. 

Persidangan tipikor dagelan seperti ini tidak mengundang perhatian para pihak yang teriak keras mendukung pemberantasan korupsi, mereka sebenarnya tahu kejadian ini, mereka malu melakukan introspeksi dan koreksi kepada aparat penegak hukum karena khawatir dapur keluarganya tidak lagi ngebul asap. 

Wakil rakyat dari Komisi III DPRRI yang dihadirkan menjadi saksi di persidangan uji materi pasal 2 dan pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 itu juga ngotot agar pasal 2 dan pasal 3 tidak diubah secara verbal dan substansi , kata dia bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, maka penanganannya juga harus dengan cara cara yang luar biasa. Demikian juga saksi dari Kementerian Hukum dan HAM RI, sama seperti yang dari Komisi III DPR RI, tidak rela jika pasal 2 dan pasal 3 undang undang Nomor 31 Tahun 1999 ada bagian kalimat "dapat" yang menyertai kalimat berikutnya di dalam pasal pasal itu dihilangkan .  Mereka tidak mau mendengar kesaksian 3 orang ahli hukum pidana yang meminta kata "dapat" dihilangkan sebab akan membuat negara kita ini seenaknya atau sewenang wenang dalam melakukan pemberantasan korupsi .

Kekhawatiran para ahli hukum sudah terbukti dari hasil persidangan di pengadilan tipikor semarang dan pengadilan tinggi tipikor Jawa Tengah yang secara kuantitas sudah memenjarakan banyak orang di Lembaga Pemasayarakat Kelas I Semarang ( kedungpane ) sekaligus dimiskinkan karena ada hukuman tambahan yaitu denda setidaknya sebesar Rp. 50 juta walaupun tidak ada kerugian negara. 

Korban kriminalisasi yang sekarang dipenjarakan di lapas kelas I kedungpane semarang sudah mengadukan kepada Presiden dan pejabat tinggi negara penegak hukum , namun hanya dibalas secara tertulis sebagai wujud sekedar memberikan balasan daripada tidak sama sekali . Tindak lanjut berupa pembelaan ringan , misalnya mengenai hak remisi berdasarkan UU nomor 12 tahun 1995 yang dipersulit dengan peraturan pemerintah nomor 99 Tahun 2012 tidak ada sama sekali . 

Wakil rakyat yang duduk sebagai Pimpinan DPR RI dan Komisi III DPR RI sudah cukup banyak mendapatkan informasi mengenai kejahatan undang undang nomor 31 tahun 1999 jo undang undang nomor 20 tahun 2001, hanya membisu tatkala lembaga swadaya masyarakat sangat keras suaranya menolak pemberian remisi bagi terpidana korupsi . Sebagai representasi rakyat sewajarnya jika bersemangat untuk melakukan pencabutan undang undang nomor 31 tahun 1999 kemudian menggantinya yang baru .  

Selain itu, Bapak Presiden RI beserta jajaran kementeriannya di Kabinet Kerja sekarang , juga melakukan monitoring, sudah seberapa banyak aparat pemerintah daerah kabupaten / kota yang tidak salah kemudian dihajar dengan undang undang nomor 31 tahun 1999 dan sekarang mendekam di penjara , ada yang dipecat dan ada yang tidak dipecat dari statusnya selaku Pegawai Negeri Sipil ( PNS ). Seharusnya Bapak Presiden dan Wakil Presiden menanyakan kepada para Kepala Daerah Proipinsi / Kabupaten / Kota , apakah masih taat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 atau main kesewenangan terhadap PNS yang dipenjarakan oleh JPU dan Hakim akibat salah menerapkan undang undang nomor 31 tahun 1999. Ada yang arogan memecat PNS, namun PNS yang bersangkutan kemudian melakukan gugatan TUN dan dimenangkan oleh Majelis Hakim PTUN, sehingga harus diangkat kembali sebagai PNS atas dasar putusan TUN yang memenangkannya . Apakah tidak memalukan bangsa jika perbuatan Kepala Daerah hanya dilandasi arogansi tanpa memahami peraturan perundangan yang berlaku .