Minggu, 28 Desember 2014

DAGELAN TIPIKOR DI JAWA TENGAH


PERSIDANGAN DAGELAN 

I.                    Posisi marginal terdakwa 
Seseorang yang dianggap cakap menurut hukum adalah ketika sudah mencapai umur tertentu ( dewasa hukum ) , akalnya sehat dan perbuatan yang dilakukannya dapat dipertanggung jawabkan kepadanya .Pembuktiannya sangat sederhana, misalnya seseorang itu kelompok penggaduh ternak dari Kementerian Pertanian, Hakim hanya akan mencocokkan nama, status dalam kelompok penggaduh ternak itu, dalam persidangan bisa tanya jawab dengan baik, bisa menjelaskan persoalan yang disidangkan, paham terhadap surat dakwaan dari jaksa penuntut umum, maka sudah cukup bagi hakim tadi menetapkan bahwa seseorang yang dimaksud dalam pasal tuntutan terbukti .

Seseorang dapat diduga melakukan perbuatan melawan hukum jika unsur perbuatannya melanggar norma hukum ( peraturan perundang-undangan) . Jika terdakwa adalah penggaduh ternak , pikiran hakim hanya terbelenggu bahwa penggaduh / terdakwa seharusnya mengembangkan ternak dengan baik, tidak mau tahu apakah cara mengembangkannya timbul kesulitan dan tidak peduli apakah kesulitan itu sebenarnya sangat berat menyelesaikannya karena di luar kemampuan penggaduh ternak, tidak akan dikuak hakim secara objektif. Padahal kesulitan itu tidak pernah disiapkan penangannya dan dicatat dalam pedoman sistem gaduhan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian . Kalau sampai penggaduh / terdakwa menjual ternak sebagian untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya, tetap saja itu merupakan perbuatan melawan hukum . Dengan pikiran sangat dangkal dari hakim seperti itu, tentu akan sangat mudah sekali membuktikan adanya kerugian keuangan negara . Ternak yang dijual biasanya dihitung sebagai kerugian keuangan negara . Penggaduh tidak memperoleh apapun selama penggaduhan yang belum berhasil tidak lagi menjadi pertimbangan hakim yang meringankan terdakwa . Mereka orang pedesaan yang awam terhadap peraturan perundang-undangan . Mereka menerima bantuan ternak gaduhan itu pun sebenarnya tidak merupakan minat mereka sejak awal , sebab hampir semua yang memperoleh bantuan sosial ternak gaduhan adalah kelompok buatan atau rekayasa dari para anggota partai politik tertentu yang duduk di DPR RI . 
Perbuatan melawan hukum dalam konteks perbuatan tindak pidana korupsi sangat dikaitkan dengan status pelaku yaitu pejabat negara dan pejabat penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan melakukan pengaturan atau menyusun kebijakan atau menerbitkan perijinan , yang perbuatannya bertujuan secara meyakinkan untuk menguntungkan dirinya sendiri / orang lain / korporasi yang berpotensi dapat menimbulkan kerugian keuangan negara / keuangan daerah serta menghancurkan perekonomian negara . Pertanyaannya adalah , bagaimana kerugian yang diderita penggaduh dimana dalam jangka waktu satu sampai dua tahun memelihara ternak tanpa hasil dan itu berdampak pada kehancuran ekonomi rumah tangganya ? Negara dan pemerintah pusat tidak pernah peduli dan tidak pernah melakukan monitoring dan evaluasi program dan kegiatan bantuan sosial ternak gaduhan ini . 

Dalam kelakar sederhana, Undang-undang nomor 31 tahun 1999 melarang seseorang menguntungkan dirinya sendiri atau menguntungkan orang lain dari keuangan negara / keuangan pemerintah daerah . Undang - undang ini juga melarang seseorang memberikan hadiah atau seseorang menerima hadiah dari pihak lain jika berhubungan dengan kegiatan yang didanani dengan APBN / APBD . Kesimpulannya, negara dan pemerintah memang sengaja membuat rakyatnya melarat semua . Maka dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, jika ada tetangganya kaya, sering dicurigai nyupang dengan bantuan tuyul . Barangkali , tidak perlu ada gaduhan ternak, tetapi gaduhan tuyul saja sebagai bentuk dagelan bangsa yang primitif. 

Seseorang pejabat negara / pejabat penyelenggara pemerintahan negara atau pihak lain yang terkait dengan perbuatan mereka yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang melampaui kewenangan yang melekat pada jabatannya dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri / orang lain / korporasi serta telah merugikan keuangan negara / keuangan daerah memerlukan bukti yang kuat dan beberapa saksi , untuk bisa menetapkan seseorang itu sebagai tersangka oleh penyidik . 

Jaksa / polisi selaku penyidik berani menetapkan seseorang menjadi tersangka tentu sudah didahului tindakan penyelidikan yang komprehensif dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang dilanggar calon tersangka, mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan dugaan perkara yang diselidiki, meminta keterangan berbagai pihak sebagai saksi dan meminta keterangan ahli dan jika perlu menyita barang bukti . Proses hukum yang demikian rumit harus dilalui penyidik sampai pada tahapan untuk menetapkan tersangka. 
 
Namun demikian, apakah dalam prakteknya seperti itu ? 

Sepertinya tidak, sebab di banyak kasus, ternyata penetapan seseorang menjadi tersangka ada yang tidak pernah diperiksa namun tiba tiba menjadi tersangka, atau nyata-nyata penyidik tidak / belum memiliki dua alat bukti sudah berani menetapkan tersangka yang dibarengi dengan pemberitaan di media cetak. Ini yang sekarang dipraktekkan para penyidik, apakah itu di kepolisian atau di kejaksaan . Sumber di tipikorngamuk.blogspot.com belum tahu apakah tindakan gegabah dalam penetapan tersangka juga dilalkukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) .

Penetapan seseorang menjadi tersangka dilakukan oleh Pimpinan institusi penegak hukum dengan surat keputusan Kajari atau Kapolres / Kapolresta atau pejabat di institusi atasannya dimana perkara itu ditangani. Seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ketika dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka seharusnya diberi salinan keputusan penetapannya sebagai tersangka pada saat menghadap untuk diperiksa penyidik, atau bisa juga surat keputusan penetapan tersangka itu dilampirkan pada surat panggilan PRO JUSTICIA yang dikirimkan oleh Kepala Kejaksaan / Kapolres kepada tersangka / keluarga tersangka. Sumber tipikorngamuk.blogspot.com menemukan fakta bahwa mereka dipanggil sebagai tersangka tidak pernah mendapat / diberi keputusan Kajari / Kapolres yang menetapkan ia sebagai tersangka . 

Mengapa terkesan takut memberikan surat keputusan penetapan tersangka  ? 

Tindakan pro justicia di awal penyidikan adalah TINDAKAN PAKSA aparat penegak hukum kepada seseorang . Bukti lain sebagai tindakan paksa adalah bahwa sudah menjadi kebiasaan penyidik atau atasannya disetiap menetapkan seseorang sebagai tersangka selalu dipublikasikan melalui pemberitaan di  media cetak . Para penyidik dan atasannya melakukan hal demikian ini sebenarnya tidak mewujudkan kapasitasnya sebagai penegak hukum yang profesional sebab tidak lagi ingat terhadap azas "praduga tidak bersalah" . Atau bisa juga bahwa disaat reformasi kali ini aparat penegak hukum menempatkan dirinya sebagai pihak yang kebal hukum sehingga mukanya bebal hukum . Dengan cara-cara preman yang dipraktekkan aparat penegak hukum seperti itu maka tersangka dan keluarga besarnya sudah dihukum secara sosial dengan dahsyat . Sikap polisi dan jaksa yang sengaja menyebarkan aib seseorang tersangka yang belum tentu bersalah melalui media cetak merupakan perbuatan yang sebenarnya dilarang Allah swt .Dalam ketetapan Allah swt ( di Al Qur'an ) siapapun yang dengan sengaja membeberkan aib seseorang demi tercapainya tujuan pribadinya atau memenuhi kinerja tugas jabatannya, di saat yang lain pasti Allah swt akan membongkar aib mereka itu seluas - luasnya ketika mereka masih hidup di dunia . 

Melawan penetapan tersangka melalui Pra peradilan atau gugatan tata usaha negara 
Dalam konteks hukum pidana versus hukum tatausaha negara , seharusnya ada keberanian seorang Kajari / Kapolres / Kapolresta memberikan salinan keputusan penetapan tersangka itu kepada tersangka yang bersangkutan. Mereka harus paham bahwa Pemerintah sudah menetapkan kebijakan perlunya keterbukaan informasi bagi dokumen pemerintahan / negara yang klasifikasinya tidak rahasia / terbatas dan semua aparat negara harus mewujudkan good governance di tiap institusi tempat kerjanya . Pejabat negara / pejabat penyelenggara pemerintahan atau pejabat penegak hukum perlu memberikan suri teladan dan berani dikoreksi / dituntut melalui pra peradilan sesuai prosedur KUHAP atau digugat melalui peradilan tata usaha negara terhadap keputusan yang dibuatnya. 

Proses hukum yang dijalani seseorang tidak semata-mata hanya melalui proses pra-peradilan jika berminat untuk melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum yang dinilainya sewenang-wenang dalam menetapkan dirinya sebagai tersangka atas dugaan perkara pidana / pidana khusus yang tidak didahului dengan dua alat bukti yang kuat dan sah. Warga masyarakat perlu dilindungi .

Presiden wajib melakukan koreksi terhadap ketimpangan proses hukum yang hanya dapat dilawan melalui upaya hukum pra peradilan , tetapi perlu juga difasilitasi dengan peluang bagi tersangka atau keluarganya untuk melakukan perlawanan hukum melalui gugatan tata usaha negara terhadap keputusan Kajari / Keputusan Kapolres / keputusan kapolresta / kapolwil / kajati tentang penetapan tersangka. 

Menurut peraturan perundang undangan bahwa semua pejabat negara yang berwenang menetapkan keputusan adalah pejabat tatausaha negara .

Di Jawa Tengah belum pernah sekali-pun adanya perlawanan tersangka kepada tindakan penyidik atau atasannya dalam hal penetapan tersangka . Mereka kebanyakan hanya pasrah begitu saja . Mereka sudah cukup banyak mendapatkan informasi dari para tersangka yang telah diajukan ke persidangan, membela diri sekuat apapun dengan kesatria tidak ada manfaatnya . Sebab ternyata persidangan pengadilan tipikor di pengadilan negeri semarang Jawa Tengah hanya sebuah dagelan yang disuguhkan JPU dan Majelis Hakim . Fakta ini diperoleh dari wawancara dengan seluruh tersangka / terdakwa tipikor yang diadili di pengadilan tipikor Semarang Propinsi Jawa Tengah - Indonesia . Mereka semuanya menyatakan belum pernah melihat atau membaca atau diberi penyidik salinan keputusan Kajari / Kapolres / Kapolresta yang menetapkan dirinya sebagai tersangka yang menggunakan dasar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 .

Allah swt akan membuat rekayasa yang lebih hebat dibandingkan rekayasa JPU dan Mejalis Hakim jika berkehendak untuk menghancurkan kebathilan dan keangkara murkaan manusia .
JPU dan Hakim juga manusia, yang dalam fitrahnya ketempatan sifat kikir ketika diberi kenikmatan dari Allah swt , sebaliknya akan selalu berkeluh kesah manakala ditimpa balak / azab dalam kehidupannya . Akal manusia yang memainkan ketetapan hukum menyimpang dari ketetapan hukum Allah swt pasti menjadi bagian tabungan lamanya mereka masuk neraka setelah dibangkitkan dari kematiannya . Apakah mereka masih memiliki keimanan dalam hal yang seperti itu ? Sudah dapat dipastikan bahwa dengan sikap yang cenderung kuat ke arah perbuatan negatif , keimanan mereka terhadap ketetapan Allah swt sangat tipis , atau bahkan tidak ada sama sekali .

Dagelan persidangan tipikor di Jawa Tengah bisa saja semakin merebak menjadi traksasi hukum yang bisa mendatangkan penuhnya kantong JPU dan Hakim .

Seseorang yang ditimpa cobaan melalui penetapan dirinya menjadi tersangka / terdakwa akan semakin menderita manakala tidak dikuati dengan ketabahan dan kesabaran menerima taqdir dari Allah swt . Dia akan merasa menjadi orang yang hina dihadapan masyarakat sekeliling rumah tangganya atau koneksitasnya . Ini adalah manusiawi . Maka dari itu , bagi mereka para terdakwa yang hanya mengejar duniawi, apalagi dugaan perbuatannya korupsi memang benar, pasti-lah akan mudah tergelincir terhadap penawaran bersekongkol dengan JPU dan Majelis Hakim yang menyidangkannya, melakukan transaksi hukuman dengan memberi imbalan uang . Ini ternyata semakin merebak . Menyuap atau diperas ya ? Hanya mereka ( JPU, Hakim dan terdakwa ) yang tahu , kemudian Malaikat Allah pasti mencatatnya dalam kitab pertanggung jawaban di akhirat . Mereka menzalimi dirinya mereka sendiri . Mereka pasti akan menderita sangat pedih atas balasan dari Allah tuhannya di hari akhir. Neraka, mereka akan kekal di dalamnya .

Benar atau salah pasti dijatuhi hukuman .

Sakit dan susah yang muncul dalam diri setiap terdakwa yang dituntut dalam dagelan persidangan tipikor di pengadilan negeri semarang Jawa Tengah - Indonesia, sebab pasti dihukum dengan penjara dan denda, dan ditambah membayar uang pengganti manakala terbukti memperkaya diri sendiri / orang lainb / korporasi dari keuangan negara / keuangan daerah . Majelis Hakim selalu bekerja sama dengan JPU . Putusan Majelis Hakim adalah copy paste surat tuntutan JPU . Majelis Hakim selalu berani menyatakan “ keterangan terdakwa kami abaikan / kami kesampingkan “ atau " keterangan ahli kami kesampingkan " . Majelis Hakim merasa serba tahu semua perkara yang diadilinya .

Sebaliknya, keterangan saksi dari JPU yang berbeda dalam persidangan dengan keterangan di BAP saksi, walaupun menguntungkan terdakwa juga tidak pernah menjadi keberpihakan kepada terdakwa, artinya panitera dan Majelis Hakim sangat suka mengabaikan fakta persidangan , sebagai alasan pembenar untuk harus menghukum terdakwa sesuai pesanan JPU atau pihak-pihak yang berkepentingan melalui ketua pengadilan tipikor semarang .

Waspada bersikap terhadap aparat penegak hukum 
Celaka-lah siapapun yang sudah terlanjur :
a.        Dijadikan pihak lawan politiknya kemudian disetorkan kepada penyidik baik itu kejaksaan atau kepolisian
b.       Berpendapat dalam dirinya sendiri bahwa ia tidak melakukan perbuatan korupsi yang diduga pelapor / penyidik dan berani menghadapinya secara kesatria
c.        Mengandalkan kejujuran dan kepatuhan terhadap proses hukum tanpa mau membayar uang atas permintaan penegak hukum yang bersangkutan
d.       Dalam setiap perbuatannya selalu takut kepada Allah SWT dan semata-mata berharap memperoleh ridla Allah SWT
e.        Membiayai cukup besar ongkos jasa penasihat hukum dan atau ahli sebagai upaya menegakkan hukum dan keadilan
PERCUMA SIKAP DAN UPAYANYA ITU SEBAB PASTI DIHUKUM OLEH MAJELIS HAKIM WALAUPUN PADA POSISI YANG TIDAK BERSALAH .

Pengadilan tipikor semarang Jawa Tengah - Indonesia sudah rusak, aparat penegak hukum yang menjalankan tugas dan amanat penegakan hukum dan keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa sudah bermental preman, luntur kecerdasan batinnya, bergembira ria menyakiti terdakwa beserta keluarga besarnya , menjalankan persidangan sekedar pro formalitas / dramatisasi , justru suka mencari tambahan penghasilan dari terdakwa, kongkalikong dengan penasihat hukum dan Jaksa penuntut umum atau pihak lain yang berkepentingan, dan prestasi menghukumkan orang / setiap orang itu dalam rangka mengejar karier selaku pegawai negeri sipil ( PNS ) .

Akibat dari pengkondisian peradilan seperti itu, maka dalam perjalanan sejarah proses hukum di pengadilan tipikor semarang sampai sekarang ini semakin menyuburkan perbuatan korupsi yang dilakukan secara terang-terangan oleh PNS aparat penegak hukum yang dibantu oleh penasiha-penasihat hukum dan pihak lain yang berkepentingan menyengsarakan orang. Mereka itulah yang melakukan korupsi besar-besaran dalam era pemberantasan tindak pidana korupsi dalam dua arah, disatu sisi anggaran dari negara yang sangat besar dipakai untuk praktek dramatisasi peradilan dan disisi lain mereka memeras terdakwa.

Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )  ..... apakah masih bisa masuk ke lingkungan busuk ini ? Kalau tidak dilakukan penindakan oleh KPK atau tidak diperbaiki oleh Mahkamah Agung , atau tidak dipedulikan lagi oleh Presiden dan DPR RI , cara yang paling tepat dan pasti manjur adalah HUKUM JALANAN . Sekali-kali dipertontonkan kepala jaksa / polisi / hakim yang terpotong dipamerkan di lapangan terbuka untuk umum agar masyarakat luas bertanya, mengapa perinstiwa ngeri itu harus terjadi ?

Ketentuan hukum yang tidak menjamin kepastian hukum 
Perlu diperingatkan melalui blogger “korupsi dan permainan hukum” :
1.            Presiden dan DPR RI segera menata kembali peraturan perundangan yang berlaku di lembaga pemerintahan , utamanya di lembaga eksekutif yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa kebutuhan instansi pemerintah, peraturan perundangan penyelenggaraan badan layanan umum , disinkronkan dengan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan keuangan negara / pengelolaan keuangan pemerintah daerah dan pengelolaan barang milik negara / barang milik pemerintah daerah .
Kalau masih seperti yang ada sekarang ini, hampir seluruh pegawai negeri sipil yang dilibatkan pimpinan satuan kerja sebagai pejabat pengelola keuangan satuan kerja atau petugas dalam kepanitiaan ( pengadaan barang/jasa , atau pemeriksaan barang , atau penerimaan barang , atau bendaharawan barang ) kalau diproses hukum dengan dugaan korupsi PASTI DIHUKUM OLEH MAJELIS HAKIM dengan pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang undang Nomor 20 Tahun 2001.

2.            Pelibatan peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi , misalnya yang terjadi sekarang ini selalu menjadi PELAPOR DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI dengan sasaran proyek / kegiatan yang didanai APBN ( anggaran Pemerintah Pusat ) atau APBD ( anggaran pemerintah daerah propinsi  / kabupaten / kota ) , sudah cenderung tendensius sebagai ajang balas dendam katurunan orang orang yang di jaman orde lama / orde baru dipenjarakan dengan tuduhan komunis, atau balas dendam akibat kekalahan dalam pilihan anggota legislatif / kepala desa / perangkat desa , atau sekedar fitnahan belaka karena permusuhan . Celakanya, kondisi buruk akibat diakomodasikannya peran serta masyarakat di dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini justru disuburkan secara salah oleh polisi dan atau jaksa dengan membuka pintu lebar - lebar untuk kolaborasi jahat, walaupun laporan pengaduannya tidak disertai alat bukti awal sedikitpun tetap dikemas menjadi dugaan perkara tindak pidana korupsi. Bahkan ada kecurigaan di kalangan masyarakat luas bahwa surat-surat laporan pengaduan ( surat budeg / surat kaleng ) sudah biasa dibuat sendiri oleh polisi / jaksa manakala kesepian tidak ada sasaran bidik yang jelas atau butuh dukungan logistik untuk mendongkrak karier PNS nya meraih jabatan struktural .Dengan demikian sudah sangat komplit bahwa kehancuran bangsa indonesia melalui kebijakan nasional pemberantasan korupsi, sudah dicederai dengan dua hal negatif, yaitu pertama , oleh undang undang Nomor 31 tahun 1999 Jo undang undang nomor 20 tahun 2001 yang tidak sejalan dengan ketetapan Allah SWT , yaitu belum ada perbuatan yang riil telah merugikan keuangan negara sangat mudah mengkriminalisasi seseorang yang menjadi TO ( target operasi kinerja ) , dan yang kedua diakibatkan dekadensi moral / mental pejabat pemerintah / pejabat negara yang benar-benar riil merampok uang negara untuk memperkaya dirinya sendiri dan pejabat penegak hukum yang juga memanfaatkan kekuasaannya untuk menghukum seseorang mencari kekayaan haram dengan cara mejual belikan tuntutan / vonis hukuman dengan terlapor / tersangka / terdakwa yang pantas diperas uangnya .

3.       Hakim bukan manusia super yang bisa mengaku serba tahu seluruh substansi perkara yang diajukan JPU untuk disidangkan secara terbuka dan terbuka untuk umum . Di pengadilan negeri tipikor semarang, satu majelis hakim setiap hari menyidangkan 5 - 7 perkara . Jelas sangat berat dan tidak sempat memperlajari pokok perkara yang disidangkan mereka. Majelis hakim sangat licik hanya dengan memperhatikan tuntutan JPU dan kemudian meminta flash disk kepada JPU yang memuat surat dakwaan dan surat tuntutan untuk kemudian menugaskan kepada panitera / panitera pengganti mengcopy paste isinya untuk dituangkan dalam pertimbangan putusan . Seluruh putusan majelis hakim sepertinya menggunakan rumus, hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa minila 2/3 ( dua pertiga ) tuntutan JPU . Kalau kurang dari 2/3 , JPU pasti banding / kasasi . Kebiasaan seperti tontonan negatif yang dipamerkan panitera / panitera pengganti dan Msjelis Hakim adalah tidur pulas di ruang sidang yang dilihat banyak pengunjung . Mereka tidak malu . Sebab yang membuat mereka kelelahan adalah para JPU dari 35 kabupaten / kota se jawa tengah yang berlomba mengejar target yang dibebankan Presiden / Jaksa Agung / Kapolri / Kajati / Kapolda / Kajari / Kapolres sejumlah perkara korupsi dalam setiap bulannya. Presiden tidak pernah mengevaluasi kinerja yang ditugaskan kepada pembantu-pembantunya di bidang penegakan hukum . Maka peran tiga lembaga yang dibentuk sebagai TIMTASTIPIKOR dengan keputusan presiden nomor 11 tahun 2004 , yaitu BPKP , Kapolri dan Jaksa Agung tidak pernah berkoordinasi atau berkonsultasi dengan KPK / BPK RI / PPATK , menjadikan arah pemberantasan korupsi membelok dipakai untuk memperkaya para pejabat penegak hukum itu sendiri . Masyarakat umum bertanya melalui pengelola blogger korupsi dan permainan hukum ini, apakah keputusan presiden nomor 11 tahun 2004 yang diperbaharui setiap 2 tahun oleh presiden itu konstitusional atau justru inkonstitusional ??????. Apakah hasil perhitungan kerugian keuangan negara / keuangan daerah yang dilakukan auditor BPKP yang tidak dikoordinasikan dengan BPK RI seperti yang diperintahkan dalam diktum KEEMPAT keputusan presiden itu menjadi alat bukti yang sah atau tidak sah dalam persidangan tipikor ?????.  Majelis Hakim dan JPU justru tidak paham apa itu timtastipikor bentukan presiden . Hal ini akan nyata terbukti manakala terdakwa atau penasihat hukum terdakwa menolak hasil perhitungan BPKP tentang kerugian keuangan negara yang tidak dikonsultasikan ke BPK RI , majelis hakim dan JPU malahan bengong , tetapi kemudian berkomentar , silahkan ditolak, tetapi apa yang diungkapkan BPKP sebagai alat bukti sudah menjadi yurisprudensi . Kemudian majelis hakim memerintahkan kepada panietara untuk tetap mencatat keterangan saksi dari BPKP sebagai bukti yang kuat untuk membenarkan dakwaan / tuntutan JPU .
Memimpin persidangan hakim bukan berposisi sebagai pejabat yang memiliki kekuasaan harus memposisikan diri mereka lebih tinggi dari terdakwa . Keterbatasan ilmu dan pemahaman hakim terhadap substansi berbagai perkara tentu akan diluruskan / dilengkapi / diperjelas oleh saksi-saksi ( de charge atau a de charge ) dan ahli . Maka akan benar-benar menjadi manusia super serba tahu manakala hakim mengesampingkan keterangan ahli yang oleh hukum diakui bisa menjadi alat bukti yang kuat . Kebiasaan hakim bertanya kepada terdakwa : “ apakah saudara merasa bersalah ? “  atau “ apakah saudara tyerdakwa menyesali perbuatannya “ , menggambarkan kebodohan hakim dan pertanda buruk persidangan. Kalau kebiasaan itu selalu dipraktekkan , lebih baik tidak ada acara persidangan, artinya polisi / jaksa menangkap seseorang yang dilaporkan kemudian langsung dipenjarakan atas kekuasaannya . Ini adalah bagian pendapat para terakwa / terpidana yang sudah menjalani persidangan di pengadilan tipikor semarang .

Tidak rasional, mengadili sendiri justru memperberat hukuman 
Hakim di tingkat banding , melalui acara mengadili sendiri ( tanpa memeriksa ulang terdakwa dan saksi / ahli ) , yang hanya membaca berkas perkara yang sudah sejak awal dimanipulasi JPU dan Majelis Hakim tingkat pertama, menjadi tidak rasional manakala memperberat hukuman bagi terdakwa.

Sama seperti halnya di tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang beracara “ mengadili sendiri “ , juga tidak rasional kalau kemudian ikut - ikut memperberat hukuman terdakwa .

Logikanya, dalam mengadili sendiri terhadap permohonan banding atau kasasi dari terdakwa sebaiknya dimaksudkan untuk memenuhi / menjawab sebuah pertanyaan yang sangat fundamental : mengapa terdakwa mengajukan banding atau kasasi ?

Jawabannya pasti : tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya . Dia merasa dizalimi hakim dan JPU . Mengapa majelis hakim pengadilan tinggi tipikor atau mahkamah agung tidak peka . Banyak kok perkara yang dituduhkan sebagai tipikor sebenarnya bukan tipikor murni . Banyak yang merupakan hasil manipulasi dari perbuatan pejabat administrasi negara / perbuatan pejabat tata usaha negara kemudian dikriminalisasi penyidik .

Bagi jaksa / polisi / hakim yang beragama islam, disarankan untuk semakin takut keliru ketika menangani sebuah dugaan perkara tindak pidana / tindak pidana korupsi . Hukum di negara indonesia masih mengedepankan azas PRADUGA TIDAK BERSALAH . Dengan azas hukum ini sebaiknya negara tidak perlu terbebani ongkos makan dan ongkos lain-lain yang diperuntukkan bagi sebuah tindakan penahanan seseorang yang baru berstatus tersangka . Negara tidak perlu khawatir atau takut , jika tidak ditahan kemudian melarikan diri, atau membujuk / mempengaruhi saksi-saksi yang dibutuhkan penyidik, atau menghilangkan barang bukti, atau mengulang perbuatannya. Kekhawatiran / ketukan demikian ini tidak beralasan manakala sudah banyak bukti / fakta di jawa tengah bahwa tersangka dan atau terdakwa yang dipenjarakan jaksa penuntut umum , sebagian besar bukan pelaku korupsi sebagai makna korupsi di dalam Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 . Silahkan diteliti , wahai pemimpin - pemimpin negara .

Hati - hati ....... balasan dan siksa dari Allah SWT terhadap hakim dan jaksa atau polisi yang menyimpang dari hukum ketetapan Allah SSWT. Waspadalah terhadap hukum karma ...... dan perhatikan kehidupan lahiriyah para jaksa, polisi dan hakim yang menyimpang akibat kekafirannya / kezalimannya terhadap ayat ayat Allah SWT . Laknat sudah mereka terima di dunia . Itu akan berlanjut siksaan di neraka setelah dibangkitkan dari kematiannya .

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com

Semarang, 29 Desember 2014

Senin, 15 Desember 2014

JEBAKAN AGAR MELAKUKAN KORUPSI

FAKTANYA TIDAK SEMUA KEJAHATAN LUAR BIASA 


Keuangan negara Republik Indonesia harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat , semua pasti setuju . Penghamburan keuangan negara untuk "menciptakan" berbagai pelayanan kepada rakyat melalui lembaga-lembaga negara ad hoc yang seharusnya bisa diselesaikan urusannya itu di dalam lembaga negara kementerian, pasti banyak yang tidak setuju . Pemisahan kewenangan kekuasaan negara secara rigid yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif dimana satu sama lain saling menghancurkan , juga banyak yang kurang sependapat, maka dikenal pembagian kekuasaan secara selaras , serasi dan seimbang .

Pejabat penyelenggara negara yang memiliki kewenangan yang luar biasa luasnya di dalam kelembagaan yang dipimpinnya, pasti menyelenggarakan urusan yang besar dengan biaya keuangan negara yang besar pula , terhadap pernyataan demikian ini pasti banyak yang sependapat . 

Korupsi keuangan negara yang luar biasa , pasti dilakukan pula oleh pejabat penyelenggara negara yang mengelola urusan yang besar  , tampak secara jelas dan tegas niat jahatnya untuk memperkaya dirinya sendiri dan korporasinya, sengaja melakukan perbuatan melawan hukum , sengaja melampaui kewenangan yang diberikan negara kepadanya, dan sudah terjadi secara materiil adanya kerugian keuangan negara di lembaga yang dipimpinnya berdasarkan laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan ( BPK ) . Terhadap statemen demikian ini pasti diamini oleh masyarakat dari kalangan ahli hukum sampai yang tidak memiliki pendidikan yang cukup sekalipun .

Pelayanan kepada publik oleh jajaran pemerintahan , baik di tingkat kementerian sampai di tingkat satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintahan daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten / kota, sudah biasa / sudah lazim bisa berlangsung tidak cukup hanya mengandalkan hukum formal yang menjadi dasar hukum keberadaan institusi dan atau pedoman kerjanya di dalam standart pelayanan minimal / standart pelayanan prima, sehingga untuk menghadapi ketika ada kekosongan hukum pasti akan dilakukan langkah / tindakan yang dinamakan kebijakan pejabat yang bersangkutan . Tanpa melakukan tindakan kebijakan, institusi pemerintahan tidak akan bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal . Kebijakan yang dipersoalkan adalah manakala kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, tendensius untuk kepentingan golongan tertentu saja, menghambat berlangsungnya pelayanan umum , dan bahkan berpotensi atau dapat menimbulkan kerugian negara / kerugian pemerintah daerah . Permasalahan yang ditimbulkan akibat kebijakan yang tidak tepat, sejak dahulu sampai sekarang penyelesaiannya dilakukan melalui koreksi , evaluasi dan rekomendasi dari atasan pejabat yang melakukan tindakan kebijakan tersebut, bukan dipidanakan . Pandangan hukum demikian ini, sekarang dinafikkan oleh institusi yudikatif , baik itu dari kalangan kepolisian, atau kejaksaan atau peradilan . Sudah tidak rasional lagi sebab jika penafikkan itu dibiarkan tanpa pengendalian secara nasional justru akan merusak ketatanegaraan dan tata pemerintahan, akan menghancurkan perjuangan mewujudkan good governance, dan negara ini akan mudah dipakai sebagai alat untuk balas dendam atas dasar kekecewaan, atas dasar kebencian, atas dasar permusuhan, dan atheis . 

Apakah pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 untuk semua kasus yang diduga korupsi di semua lini lembaga pemerintahan sudah dievaluasi oleh Presiden ? 
Rakyat butuh sekali informasi mengenai hasil evaluasi atas pelaksanaan pemberantasan korupsi berdasarkan Undang Undang nomor 31 Tahun 1999 tersebut . Rakyat pasti akan ikut mengapresiasi kinerja aparat penegak hukum jika semua pelaku korupsi yang ditindak adalah mereka yang tergolong benar-benar telah merugikan keuangan negara dengan perbuatan yang luar biasa dalam jumlah yang luar biasa , bukan mereka yang dijaring atas dasar laporan dari rakyat / laporan masyarakat karena kebencian, atau karena permusuhan atau akibat balas dendam dengan indikasi pelapornya membayar sejumlah uang kepada aparat penegak hukum .

Kasus-kasus yang dijaring oleh aparat penegak hukum hampir semuanya atas dasar laporan dari pengurus lembaga swadaya masyarakat (LSM ) yang tanpa didukung dengan alat bukti / bukti awal yang kuat. LSM sekedar menulis secarik surat dikirimkan kepada institusi kejaksaan atau kepolisian kemudian di blow up dengan pemberitaan di media cetak yang bernuansa fitnah  sudah cukup menjadi pendorong nafsu arogansi mengkriminalisasi seorang petani atau seorang pengurus tempat ibadah atau seorang pengurus paguyuban kesenian dan semacamnya menjadi tersangka / terdakwa dalam dugaan tindak pidana korupsi . Tersangka dalam kasus seperti ini hampir semuanya terjebak dalam paket bantuan sosial APBD dari Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota , dan ada pula bantuan dari APBN . Jika dilidik dengan seksama dan cermat, apa adanya, objektif, tidak menerima titipan secara politis atau karena janji mendapatkan imbalan hadiah dari pihak yang berkepentingan, masyarakat umum akan mendukung penegak hukum jika pelaku utamanya / aktor intelektualnya yang ditindak menurut hukum tipikor . Tidak rahasia lagi bagi masyarakat umum bahwa aktor intelektualnya kebanyakan anggota parpol yang sudah menjadi anggota badan legislatif atau makelar proyek ( tangan panjangnya anggota dewan , atau kepala daerah ) . Petani yang dijadikan tersangka / terdakwa itu sebenarnya sangat tidak rasional , sebab dalam persidangan tipikor pun dihadapinya sendiri tanpa penasihat hukum ( sekalipun dari negara ) , mereka dalam tekanan JPU dan kehadirannya sekedar memenuhi pro forma persidangan agar Majelis hakim bisa menghukum mereka. Aktor intelektualnya tetap aman, tetap selamat dari jeratan hukum, penyidiknya sungkan / tidak berani / atau punya alasan lain, publik tidak paham .

Kalau tersangka / terdakwa-nya seorang petani / rakyat rendahan di pedesaan , pertanyaannya adalah apakah mereka patut menjadi pelaku korupsi yang dikategorikan kejahatan luar biasa ? Tidak .
Mereka dikorbankan oleh perilaku balas dendam dengan latar belakang politik semasa orde lama, karena permusuhan antar pengurus dalam sebuah kelompok tani, karena kebencian akibat pemilihan kepala desa, karena kedengkian akibat ujian penyaringan pengisian kekosongan jabatan perangkat desa, karena pertengkaran internal kerabat sendiri. Semuanya ini terjadi karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sangat lemah, disusun tidak oleh ahli hukum yang berahlaq, tidak pernah diuji publik secara komprehensif saat konsep diajukan ke DPR RI , karena pemerintahannya korup dan tidak mengenal hukum yang ditetapkan Allah SWT .

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 seharusnya tidak perlu memberi peluang kepada masyarakat menjadi komandan penegakan hukum korupsi dengan mudah menyusun laporan fitnah yang kemudian menjadi satu-satunya alat aparat penegak hukum untuk berulah, dibandingkan dengan prosedur standart sebagaimana memfungsikan peran Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2005 Jo Peraturan Kepala BPK RI Nomor 3 Tahun 2006 .

Kejahatan luar biasa yang diterapkan di dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dikaji ulang , sebab apakah benar korupsi ada kaitannya dengan indikator kejahatan luar biasa seperti di bawah ini :
1) Perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan hancurnya hak azasi manusia 
2) Perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan hancurnya lingkungan hidup 
3) Perbuatan melawan hukum yang berkenaan dengan trafficking 
4) Perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistemik dan terstruktur 

Jika dikomparasi dalam konteks realita antara perbuatan terdakwa sdr Andi Malarangeng dalam dugaan korupsi pembangunan Hambalang dengan petani desa yang menerima bantuan sosial dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kwitansi yang ditandatanganinya karena dipotong oleh anggota dewan atau pejabat pemerintah daerah yang menyalurkan bantuan itu, mana yang luar biasa ?

Hukum tertulis tidak akan bisa membedakan mana yang benar benar melakukan kejahatan luar biasa dengan yang tidak luar biasa, sebab vonis hukumannya ada yang jauh lebih berat untuk petani dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sdr Andi Malarangeng . Padahal bantuan sosial itu hanya Rp. 7.000.000 ( tujuh juta rupiah ) , dipotong Rp. 3.500.000 ( tiga juta lima ratus ribu rupiah ) . Jika bukan melihat jumlah bantuan sebagai ukuran luar biasa, maka mental yang sengaja mencuri keuangan negara itulah yang dapat diidentifikasi sebagai kejahatan luar biasa. Itu pun jika perbuatannya dilakukan setiap tahun berulang terus menerus .

Karena di dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak memilah dan tidak memberikan unsur unsur kejahatan luar biasa untuk perbuatan korupsi, maka sangat jelas bahwa hukum di negara kita ini menjadi tidak bisa tegak dan tidak bisa adil penerapannya. Suatu peraturan perundangan / hukum yang tidak mengikuti azas unifikasi dalam konteks materiil harus ditolak . 

Dengan demikian, KORUPSI sama saja dengan MENCURI . Penindakannya tidak perlu dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 , tetapi dengan KUHP .
Negara tidak perlu bersusah payah berlindung di balik tekanan pihak tertentu manakala membiarkan aparat hukumnya menindak PENCURI dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 .
Hasilnya spektakuler , terdakwa yang divonis Majelis Hakim Tipikor dengan hukuman penjara, denda dan membayar uang pengganti bukan ditujukan untuk menegakkan hukum, tetapi menistakan dan menghancurkan martabatnya, tidak dirinya sendiri, tetapi seluruh kerabatnya dan sahabatnya juga menanggung resiko .

Semoga para pemimpin negeri ini cepat menyadari kekeliruannya saat menyusun dan menetapkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 kemudian melakukan revisi atau mencabutnya , diganti dengan yang selaras dengan hukum Allah SWT . Siapapun yang tidak mengindahkan kebenaran dalam hukum Allah pasti masuk golongan kafir, munafik, zalim dan hidupnya di dunia tidak mendapatkan berkah karena tidak menghasilkan manfaat untuk memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia .

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com 
Semarang ,  17 Desember 2014




Jumat, 12 Desember 2014

KEBIJAKAN DIGILAS UU KORUPSI

MALAPETAKA DIBALIK KEBIJAKAN BUPATI GROBOGAN


Wahai bangsa Indonesia yang berbahagia,

Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota menjadi daerah otonom sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , berkewajiban menggali sumber pendapatan asli daerah sendiri ( PAD ) . Pendapatan asli daerah sendiri itu pada umumnya berkaitan dengan penggunaan barang daerah untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah ( SKPD ) yang mendapatkan tugas memungut pendapatan daerah .

Barang daerah ada yang tidak bergerak ada yang bergerak. Barang daerah yang tidak bergerak antara lain bangunan pasar daerah yang khusus disediakan pemerintah daerah untuk sarana perdagangan di daerah setempat . Di era orde baru , optimalisasi pemanfaatan barang daerah , seperti pengembangan pasar daerah dilakukan antara Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dengan sistem BOT . Tanah dan bangunan pasar daerah yang sudah ada dijadikan modal dalam kerjasama pemanfaatan ( BOT ) pengembangan pasar daerah yang seluruh biayanya disediakan oleh pihak swasta . Pihak swasta mendapatkan hak tertentu atas tanah dan bangunan baru pasar daerah dalam jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis yang telah memperoleh persetujuan Menteri Dalam Negeri . Pemerintah Kabupaten Grobogan juga melaksanakan kerjasama pemanfaatan dengan PT Karsa Bayu Bangun Perkasa ( KBBP ) Jakarta pada tahun 1994 untuk pengembangan pasar (induk ) di Kota Purwodadi . Jangka waktu yang disepakati akan berakhir pada April 2020 .

Sangat disayangkan, di dalam BOT pasar induk kota Purwodadi ini secara materiil timbul kerugian yang dialami Pemerintah Kabupaten Grobogan sangat besar , sebab bagian tempat usaha yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Grobogan hanya mengelola lahan parkir dan MCK . Sebuah bagian tempat usaha yang tidak sebanding dengan penyertaan modal yang disediakan Pemerintah Kabupaten Grobogan, berupa nilai tanah pasar 8.500 M2 dan bangunan toko dan los pasar (lama) yang dibongkar. 

Bagian tempat usaha yang sangat kecil itu hilang sejak tahun 1995 karena direbut paksa dengan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh paguyuban pedagang pasar umum Purwodadi ( PMPPU ) yang bekerjasama tidak sah dengan Tim Pengawas Renovasi Pasar Umum Purwodadi yang dibentuk Bupati Grobogan saat itu. Tim tersebut dipimpin oleh Sekretaris Daerah dengan beberapa anggota yang terdiri dari Ketua Bappeda, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Asisten Pemerintahan, Asisten Pembangunan dan Perekonomian, Kepala Dinas Pendapatan Daerah,  Kepala Bagian Hukum, Kepala Bagian Keuangan dan lain-lain . 

Informasi yang diterima tipikorngamuk.blogspot.com menyebutkan bahwa penguasaan tanpa hak yang sah bagian tempat usaha ( lahan parkir dan MCK ) oleh PMPPU itu masih berlangsung sampai sekarang . Artinya, bahwa kerugian keuangan Pemerintah Kabupaten Grobogan berlanjut terus menerus tanpa ada pejabat yang berani menghentikan . Bupati Grobogan yang sekarang bersembunyi dalam bayangan ketakutannya sendiri tanpa menyadari bahwa membiarkan pun sama saja menciptakan kerugian daerah semakin besar. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Grobogan patut dimintai tanggung jawab hukum dan akuntansi atas berlangsungnya kerugian daerah yang berlanjut ini.

Mengapa semua diam ?
DPRD Kabupaten Grobogan diam. Bupati Grobogan diam. Rakyat Kabupaten Grobogan diam. Tentu Direktur PT KBBP Jakarta sangat senang , sebab sudah berhasil menjual semua toko dan los yang menjadi bagiannya berdasarkan perjanjian BOT Pasar Umum Purwodadi ini. 
Aparat penegak hukum wajib melakukan investigasi nyata dan sungguh sungguh agar persoalan BOT Pasar Umum Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah yang menyebabkan kerugian daerah Kabupaten Grobogan terkuak terang benderang . Persoalan serius yang bisa dilidik / disidik antara lain : tidak sebandingnya bagian tempat usaha yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Grobogan ( hanya lahan parkir dan MCK ) , diubahnya HGB atas nama PT KBBP Jakarta untuk tanah 8.500 M2 sedangkan bangunan diatasnya ( toko dan los ) diberi sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atasnama pedagang yang membelinya dari PT KBBP Jakarta, hilangnya bagian tempat usaha ( lahan parkir dan MCK ) yang kemudian dikuasai PMPPU Purwodadi , diperjualbelikannya toko atau los yang sudah dimilkiki pedagang dengan bebas dimana harganya mencapai ratusan juta rupiah , selama 25 tahun pedagang yang sudah memiliki sertipikat hak milkik atas satusan rumah susun toko atau los tidak pernah mau membayar retribusi pasar atas dasar peraturan daerah Kab Grobogan nomor 20 tahun 2002.    

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ada ketentuan yang menegaskan bahwa Kepala Daerah ( Bupati ) dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertugas mengelola pasar umum Purwodadi berkewajiban melakukan tindakan pemulihan terjadinya kerugian keuangan Pemerintah Daerah yang dimaksudkan . Kalau hal ini tidak dilakukan sama saja artinya Kepala Daerah dan Kepala SKPD yang bersangkutan membiarkan berlangsungnya kerugian Pemerintah Daerah . Tindakan pembiaran itu sama saja telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar sumpah jabatan. 

Perjanjian BOT atas pasar umum Purwodadi tahun 1994 / 1995 yang mendapatkan persetujuan DPRD, kemudian memperoleh rekomendasi Gubernur Jawa Tengah sebagai dasar pengesahan dari Menteri Dalam Negeri , kemudian berakibat timbulnya kerugian keuangan Pemerintah Kabupaten Grobogan, harus diusut tuntas.Kerugian Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan akan berlanjut sampai dengan tahun 2020 ( April ). Sebelum direnovasi tahun 1994/1995, pendapatan retribusi pasar dari pasar umum Purwodadi adalah Rp. 735.000.000,00 pertahun. Kalau hasil itu selama 25 tahun berarti ada kerugian sebanyak : 25 x Rp. 735 juta = 18.375.000.000  ( delapan belas milyar tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah ) . Pihak ketiga yaitu PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta sangat diuntungkan oleh Bupati Grobogan, sebab membangun dengan modal kerja sekitar Rp. 6.000.000.000 ( enam milyar rupiah ) sudah menjual seluruh toko dan los yang menjadi haknya ketika diberi Hak Guna Bangunan ( HGB ) dalam perjanjian BOT kepada pedagang . Pedagang yang membeli toko atau los dari PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta memperoleh Hak Milik atas Satuan Rumah Susun di Pasar umum Purwodadi .

PT KBBP Jakarta menikmati keuntungan yang luar biasa besarnya, sebab sejak menerima bagian tempat usaha berupa seluruh toko dan los kemudian dijual tunai kepada para pedagang tidak lagi melakukan pemeliharaan bangunan . Para pedagang yang membeli toko atau los yang diberi hak milik atas satuan rumah susun itu tentu akan bersikap sesuai haknya ketika pada bulan April 2020 dipaksa Pemerintah Daerah untuk menyerahkan toko atau losnya. Mengapa pedagang tidak diberi hak guna bangunan atas toko atau los yang dibelinya sebagai pemecahan Hak Guna Bangunan yang dimiliki PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta. 

Dapat diprediksi bahwa pada bulan April 2020 Pemerintah Kabupaten Grobogan akan menghadapi persoalan sangat serius yaitu tidak gampang menarik kembali bangunan toko dan los yang sudah menjadi HAK MILIK rumah susun atas nama pedagang masing-masing untuk dikembalikan menjadi aset Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan . Apakah perkiraan persoalan yang hampir dapat dipastikan akan terjadi ini sudah dikaji oleh pejabat - pejabat SKPD dan Kepala Daerah bersama DPRD Kabupaten Grobogan ????.

APAKAH ADA PERSOALAN LAINNYA DALAM PENGELOLAAN PASAR DAERAH ?

Kabupaten Grobogan terdiri dari 19 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Purwodadi, Toroh, Geyer, Grobogan, Brati, Klambu, Karangrayung, Penawangan, Tegowanu, Gubug, Godong, Tanggungharjo, Kedungjati, Tawangharjo, Wirosari, Kradenan, Gabus, Pulokulon dan Ngaringan. 

Bangunan pasar daerah yang berada di kecamatan Purwodadi antara lain Pasar umum Purwodadi, pasar umum Nglejok, pasar umum Glendoh, pasar umum Danyang dan pasar hewan Kalongan . Di Kecamatan Godong terdapat pasar umum Godong dan pasar hewan di Ketitang  . Di kecamatan Wirosari ada pasar umum dan pasar hewan Kunden . Di kecamatan lainnya masing-masing ada satu lokasi pasar umum milik pemerintah daerah . Pasar Daerah berkembang sangat cepat tidak saja dibiayai pembangunannya dengan dana APBD Kabupaten Grobogan , tetapi yang berperanan sangat besar adalah pedagang di pasar yang bersangkutan setelah diberi peluang dapat membangun toko atau kios atau los secara swadaya .

Kondisi demikian dapat berlangsung setelah Pemerintah Daerah mengeluarkan kebijakan di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan Nomor 11 Tahun 1998 tentang Retribusi Pasar yang kemudian diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 20 Tahun 2002. Dalam perubahan peraturan daerah ini ada satu hal yang sangat mendasar dan penting yaitu adanya kebijakan Pemerintah Kabupaten Grobogan yang memberikan peluang kepada pedagang yang sudah berjualan di tanah pasar daerah untuk turut serta membangun toko / kios / los secara swadaya, artinya membangun dengan biaya sendiri tanpa mendapatkan bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )  Kabupaten Grobogan . 

Yang unik adalah bahwa bangunan toko atau kios atau los swadaya itu harus diserahkan kepada Bupati Grobogan untuk menjadi aset Pemerintah Daerah seketika setelah selesai dibangun. Sedangkan pedagang yang membangun secara swadaya hanya diberi kesempatan pertama untuk bisa menempati atau memakai toko atau kios atau los tersebut sebagai tempat berjualan yang tidak gratis artinya tetap berkewajiban membayar retribusi tempat dasaran setiap hari . 

Pedagang yang bersangkutan diberi kompensasi atas kesediaannya menyerahkan bangunan toko atau kios atau los swadaya itu, dengan pembebasan tidak membayar retribusi tempat dasaran selama 1 ( satu ) tahun pada tahun pertama menempati / memakai toko atau kios atau los yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah tersebut. Pembangunan toko atau kios atau los swadaya oleh pedagang itu hanya didasarkan kepada Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 20 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ijin Membuat dan Membongkar Bangunan Dalam Wilayah Kabupaten Grobogan . Dengan demikian tidak sama dengan sistem BOT sebagaimana yang dilakukan melalui kerjasama pemanfaatan antara Pemerintah Kabupaten Grobogan dengan PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta untuk renovasi bangunan pasar induk Purwodadi tahun 1994 / 1995.

Kebijakan Pemerintah Daerah yang sah dan kuat berdasarkan peraturan daerah Nomor 20 tahun 2002 tetap berlangsung sampai tahun 2012 dimana peraturan daerah itu tetap menjadi dasar hukum sesuai dengan ketentuan di dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk membangun toko atau kios atau los secara swadaya itu diperlukan perijinan dari Kepala SKPD yang mengelola pasar dan ijin mendirikan bangunan ( IMB ) dari bupati grobogan yang diatur peraturan daerah kabupaten daerah tingkat II Grobogan nomor 5 tahun 1994 tentang Ijin Membuat dan Membongkar bangunan dalam wilayah Kabupaten Grobogan . Mekanisme demikian ini berlangsung sejak urusan Pasar Daerah menjadi tanggung jawab Kepala Dinas Pendapatan Daerah ( DIPENDA ) Kabupaten Grobogan . 

KESIMPULAN :


Dua peraturan daerah Kabupaten Grobogan yang ada yaitu Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ijin Membuat dan Membongkar Bangunan dalam wilayah kabupaten Grobogan serta Nomor 20 Tahun 2002 tentang Retribusi Pasar adalah sumber hukum dan dasar hukum yang kuat yang bersifat khusus , berlakunya sebelum ada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, dan oleh sebab itu maka wajib dipedomani oleh pimpinan SKPD yang diberi tanggung jawab mengelola pasar daerah sepanjang aset pasar daerah itu sudah diserahkan penggunaannya kepada Kepala SKPD dalam rangka penyelenggaraan tupoksi SKPD yang dipimpinnya. Selama peraturan daerah itu belum dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan maka tetap menjadi dasar hukum yang sah menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan harus dipatuhi semua pihak . 

Bangunan pasar umum Godong yang lama konstruksinya terdiri dari beberapa toko pada deretan depan yang menghadap ke jalan raya Semarang - Purwodadi , kemudian di dalamnya terdiri dari beberapa banjar los - los . Setiap banjar los dibagi beberapa petak dengan ukuran 1,5m x 1m untuk berjualan pedagang kecil. Los - los ini sebagian besar dibangun secara swadaya oleh pedagang yang menempatinya . Disisi dalam bangunan toko, biasanya dibangun toko templek oleh pedagang secara swadaya . Pada tahun 2004 - 2005 ada bangunan toko swadaya yang dilakukan oleh 27 orang pedagang terletak di tanah pasar bagian selatan . Pelaksana pembangunannya dipercayakan kepada Pemilik UD Sumber Wono ( sdr H Sudarno ) dari Kecamatan Dempet Kabupaten Demak . Perijinannya juga cukup dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah yang sudah memperoleh pendelegasian kewenangan dari Bupati Grobogan selaku pengguna pasar umum Godong.


Tahun 2005 pasar umum Godong terbakar habis akibat arus pendek listrik dari salah satu toko . Aset pemerintah daerah ini menjadi puing puing berantakan dengan kerugian yang sangat besar , baik di pihak Pemerintah Daerah maupun di pihak pedagang .Modal kerja para pedagang habis . Dalam mengatasi kondisi darurat ini akhirnya pemerintah kabupaten Grobogan membangun pasar darurat yang bisa dimanfaatkan para pedagang korban kebakaran untuk berjualan sesuai kemampuannya .

Dengan bantuan dari APBN sebesar Rp. 17,5 Milyar dan dana APBD Kabupaten Grobogan kurang lebih Rp. 7 Milyar pasar umum Godong dibangun kembali pada tahun 2005 - 2006. Ketika akan dibangun kembali inilah Bupati Grobogan menetapkan kebijakan yang bermaksud menolong pedagang korban kebakaran tahun 2005 dibidang kelistrikan di seluruh toko atau los yang akan dipakai/disewa pedagang disambungkan langsung ke kantor pasar Godong . Pertimbangannya saat itu antara lain : 1) biaya penyambungan baru ke Perusahaan Listrik milik Negara ( PLN )  melalui Biro Tehnik Listrik ( BTL ) untuk daya 450 VA sangat mahal, membutuhkan biaya Rp. 2.000.000 ( dua juta ) ; 2) Pedagang pada umumnya menyatakan belum mampu membiayai sendiri jika harus mengajukan sambungan listrik ke PLN untuk toko yang akan disewa / dipakai ; 3) pedagang modalnya habis dan masih memiliki kewajiban membayar kredit bank . Akibat kebijakan inilah maka pembayaran tagihan rekening listrik pasar umum Godong tidak bisa dipilah , berapa tanggung jawab Pemerintah Daerah dan berapa tanggung jawab pedagang yang tokonya mendapat fasilitas listrik . Maka dari itu Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Grobogan kemudian memasang alat pengukur pemakaian daya listrik di tiap toko yang berlistrik ( KWH Meter ) . Dari sini dapat diketahui secara pasti jumlah daya listrik yang dipakai pedagang pemakai toko yang bersangkutan karena terekam di KWH Meter itu . Para pedagang kayaknya sejak awal sudah bersepakat dengan Bupati Grobogan dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah bahwa mereka harus mengembalikan dana APBD yang dipakai untuk membayar tagihan rekening listrik pasar umum Godong . Perhitungannya dengan mengalikan jumlah daya listrik yang tercatat di KWH Meter dengan tarif dasar listrik ( TDL ) yang berlaku saat itu . Kalau pedagang tidak mau membayar pasti akan terjadi kerugian daerah . Sistem demikian ini tentu sangat merepotkan bendahara pengeluaran yang bertugas pada Dinas Pendapatan Daerah , sebab jika terjadi kurang bayar dari pedagang pasar umum Godong, dia adalah menjadi penyebab timbulnya kerugian daerah .

Daya listrik yang terpasang di kantor pasar umum Godong untuk mensuplay instalasi kantor atau MCK dan seluruh toko menjadi sangat besar yaitu 115.000 VA . Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Grobogan yang mengelola pasar wajib menyediakan belanja listrik dari APBD yang kemudian dicantumkan dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran ( DPA ) .Daya terpasang sebesar itu sebenarnya berlebihan dan tidak efektif sebab biaya beban tetap-nya sangat besar dan itu menjadi tanggung jawab Dinas Pendapatan Daerah ( Pemerintah Daerah ) . Pedagang yang ikut menikmati listrik di toko / los nya tidak ikut terbebani biaya beban tetap .

Pedagang mulai diijinkan Bupati Grobogan / Kepala Dinas Pendapatan Daerah menempati / memakai / menyewa toko pada bulan Januari 2008 setelah membayar biaya pesan tempat 25% x biaya konstruksi pasar Godong dan angsuran pertama biaya konstruksi. Sesuai ketetapan dari Bupati Grobogan , mereka akan menerima keputusan pejabat yang berwenang tentang ijin pemakaian / ijin penempatan toko atau los setelah lunas 100% membayar biaya konstruksi . Jangka waktu angsuran biaya konstruksi itu disepakati 15 tahun , dihitung sejak tahun 2008 . Dengan demikian keputusan ijin resmi untuk pedagang yang menempati toko / los sampai saat ini belum ada . Kesulitan akan timbul tidak saja karena penempatan pedagang atas toko atau los tidak jelas dan tidak sah, tetapi manakala diwaktu mendatang ada perubahan peraturan daerah kabupaten Grobogan nomor 20 tahun 2002 tentu akan berdampak pada perubahan kebijakan dan tata kelola administrasinya .

Bagaimana Dinas Pendapatan Daerah kabupaten Grobogan menangani penerimaan kerugian daerah akibat belanja listrik pasar umum Godong ?

Pembayaran pengembalian kerugian daerah akibat APBD yang dipakai membayar rekening listrik toko dan los pasar umum Godong dimulai bulan Januari 2008 . Pemungutannya dilakukan oleh petugas yang ditugaskan Kepala Dinas Pendapatan Daerah ( DIPENDA ) Kab Grobogan, yaitu sdr Sudjadi dkk . Pembayaran pengembalian kerugian APBD ini diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah .

Pengembalian kerugian daerah ini tidak sama dengan pungutan pendapatan daerah dari jenis pajak daerah atau retribusi daerah yang memerlukan peraturan daerah sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah . Pengembalian kerugian daerah tidak membutuhkan peraturan daerah secara khusus sebagaimana yang diberlakukan untuk penerimaan dari pajak daerah atau penerimaan dari retribusi daerah . 

Jika Pemerintah Daerah sudah memiliki Majelis Tuntutan Perbendaharan dan Ganti Rugi dengan dasar Peraturan Daerah yang mengatur SOP Majelis TPGR , maka tuntutan pengembalian kerugian daerah harus melalui majelis TPGR . Ketentuan ini berlaku jika kesalahan yang mengakibatkan timbulnya kerugian daerah adalah karena kesalahan bendahara atau PNS bukan bendahara . 

Peran Majelis Tuntutan Perbendaharawanan dan Ganti Rugi ( TPTGR ) 

Majelis TPTGR akan melakukan tugas dan kewajibannya jika mendapatkan perintah dari Bupati Grobogan ketika ada rekomendasi tertulis dari Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) yang mengaudit terjadinya kerugian daerah akibat kesalahan seorang bendahara atau PNS bukan bendahara .

Untuk kasus listrik pasar Godong , terjadinya kerugian daerah bukan disebabkan kesalahan bendahara pengeluaran Dinas Pendapatan Daerah , sebab timbulnya kerugian daerah itu karena akibat adanya KEBIJAKAN BUPATI GROBOGAN yang bermaksud menolong pedagang korban kebakaran tahun 2005 khusus pemberian fasilitas kelistrikan di seluruh toko dan los .

Oleh sebab itu penyelesaiannya adalah melalui kesepakatan antara Kepala Dinas pengelola pasar dengan pedagang yang bersangkutan , kemudian jumlah pengembaliannya dari pedagang adalah hasil perhitungan dengan mengalikan angka daya listrik yang dipakai / tercatat di KWH Meter dengan TDL  , diserahkan melalui Kepala UPTD Pasar Umum Godong setiap bulan .

Dalam hal penerimaan pengembalian kerugian daerah ini diperlukan nomor kode rekening pendapatan tersendiri sebab tidak bisa disetorkan melalui nomor kode rekening retribusi pemakaian toko atau pemakaian los atau retribusi lainnya yang sudah ada .

Maka dari itu , setelah Kepala UPTD Pasar Umum Godong menerima dari pedagang, berkewajiban menyetorkannya kepada Bendahara Penerimaan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Grobogan. Untuk penerimaan retribusi pemakaian toko atau los dan pembayaran angsuran konstruksi, disetorkan langsung oleh bendahara penerimaan pembantu UPTD Pasar Umum Godong ke kas daerah yaitu di BPD Cabang Purwodadi sebagai pemegang Kas Daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan .

Mekanisme demikian ini kemudian dilanjutkan oleh Kepala Dinas Perindagtamben Kabupaten Grobogan setelah mulai tahun 2009 urusan pengelolaan pasar daerah menjadi tugas dinas tersebut sebab Dinas Pendapatan Daerah dilikwidasi . Ketika ditangani Kepala Dinas Pendapatan Daerah yaitu di tahun 2008 bisa berlangsung lancar karena penyetorannya menggunakan rekening pendapatan pasar secara global . Menjadi bermasalah ketika penanganannya ditugaskan kepada Dinas Perindagtamben karena pendapatan pasar dirinci per item , sehingga untuk penyetoran pengembalian kerugian daerah juga membutuhkan kode rekening tersendiri . Bupati Grobogan tidak menyediakan kode rekening yang dimaksudkan , sebab harus memperoleh persetujuan Menteri Dalam Negeri , atau setidak-tidaknya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Kepala BPKP Perwakilan Jawa Tengah sebagai user sistem informasi manajemen keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan .

Berlarut - larut hal itu tidak cepat tertangani dengan baik , sehingga menimbulkan kesulitan bagi Kepala Dinas Perindagtamben Kabupaten Grobogan sebab penerimaan kerugian daerah dari pedagang pasar umum Godong yang sudah dihimpun sejak Maret 2009 tidak bisa disetorkan ke kas daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan .

Disinilah yang tidak rasional, mengapa kemudian Kepala Dinas Perindagtamben Kab Grobogan DIKRIMINALISASI oleh Kejaksaan Negeri Purwodadi dengan dakwaan / tuntutan memungut rekening listrik yang tidak sah / tidak ada dasar hukumnya yang berakhir dalam pengadilan tipikor Semarang yang sesat  , dia dipenjarakan 3 tahun dan di denda Rp. 50.000.000 subsider 2 bulan kurungan .

Bupati Grobogan membiarkan dia dianiaya dan dipenjarakan secara tidak sah oleh Kejaksaan Negeri Purwodadi yang mengatasnamakan pemberantasan korupsi . Dalam persidangan pengadilan tipikor semarang ternyata dia tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 2 Undang undang Nomor 31 Tahun 1999. Majelis Hakim sependapat dengan dalil terdakwa ( mantan Kepala Disperindagtamben Kab Grobogan ) yang pada pokoknya bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk mencegah timbulnya kerugian daerah dengan memungut pengembalian kerugian daerah sesuai ketentuan Pasal 136 dan Pasal 137 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 , sehingga tindakan terdakwa adalah benar dan sah .

Majelis Hakim juga sependapat bahwa tidak ada pemakaian keuangan daerah untuk kepentingan pribadi terdakwa.

Dari fakta persidangan yang menempatkan terdakwa pada posisi tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak merugikan negara / keuangan daerah, maka JPU kemudian menuntutnya dengan pasal gratifikasi . Namun yang aneh adalah , kemudian Majelis Hakim memvonis dengan Pasal 3 Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 . Padahal khalayak ramai sangat paham bahwa unsur Pasal 3 harus dipenuhi adanya kerugian negara / kerugian daerah .

JPU tidak puas dengan vonis 2 tahun atas dasar Pasal 3 itu, kemudian banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah . Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim pengadilan tinggi sangat tegas menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan / dituntut JPU . Namun dalam amar putusannya, dimana dasar memori banding yang digunakan bukan memori banding JPU Kejaksaan Negeri Purwodadi, melainkan menggunakan memori banding JPU Kejaksaan Negeri Sragen , Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tipikor Jawa Tengah menghukum terdakwa 3 tahun dan denda Rp. 50.000.000 subsider 2 bulan . ANEH , JANGGAL , DAN SEBUAH KESALAHAN NYATA TELAH DILAKUKAN MAJELIS PENGADILAN TINGGI JAWA TENGAH YANG NEKAT TETAP MENGHUKUM DAN BAHKAN MENAMBAH HUKUMAN MENJADI 3 TAHUN KEPADA TERDAKWA DENGAN MENGABAIKAN RASA KEADILAN .

MENGAPA ?
Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Jawa Tengah yang di dalam PERTIMBANGAN-nya menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan TIDAK TERBUKTI telah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan , seharusnya dibebaskan atau setidak-tidaknya dilepaskan dari tuntutan hukum , justru diperberat hukumannya dari semula 2 tahun dan denda Rp. 50.000.000 menjadi 3 tahun dan denda Rp. 50.000.000. Yang sangat jelas cacat hukum dapat diperiksa pada amar putusannya, dimana dasar memperberat hukuman itu bukan atas dasar menerima memori banding jaksa penuntut umum dari kejaksaan negeri purwodadi, melainkan berdasarkan memori banding jaksa penuntut umum dari kejaksaan negeri SRAGEN . 

Putusan majelis hakim pengadilan tinggi tipikor jawa tengah yang cacat hukum dan MENURUT AZAS HUKUM seharusnya batal demi hukum ini , kemudian diajukan kasasi oleh terdakwa ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta . Namun KETIDAK ADILAN tetap dipertontonkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung RI yang terdiri dari Artidjo Alkustar selaku Hakim Ketua ditambah Lume dan Leopod Hutagalung sebagai hakim anggota , dengan putusan tanggal 16 Nopember 2014 bahwa permohonan kasasi terdakwa DITOLAK .Hakim Agung di Mahkamah Agung mestinya sangat arif dan sangat ahli di bidangnya walaupun hakim ad hoc sekalipun. Kearifan Hakim Agung akan memiliki integritas yang sangat tinggi manakala berani membatalkan putusan Majelis Hakim di pengadilan tingkat bawahnya yang cacat hukum , apalagi antar muatan yang ditulis dalam PERTIMBANGAN dengan AMAR PUTUSAN BERTOLAK BELAKANG . Apakah sudah tidak dipakai sebagai dasar ketentuan Pasal 191 KUHAP ???. 

Putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung atas nama terdakwa Drs H Moh Tohirin bin Marmo Moh Amin tersebut dapat diklasifikasikan sebagai sebuah putusan drama komedi majelis hakim agung di mahkamah agung sebab sangat jorok, tidak bernilai sama sekali, mencederai kaidah hukum positif di Negeri yang katanya berdasarkan hukum, dan tidak menjamin adanya KEPASTIAN HUKUM . 

Percuma saja negeri ini menyusun hukum positif dengan jelas , kalau pelaksanaannya hanya didasarkan selera subjektif dari aparat penegak hukum yang terdiri dari polisi, Jaksa dan Hakim-hakim . Sebaiknya negeri ini diselenggarakan pemerintahannya dengan selera pejabatnya saja. Kalau suatu ketika kepingin yang pedas ya tinggal menambah ancaman hukuman yang sangat berat . Kalau suatu ketika kepingin pencitraan, ya tambah manis-manis sedikit. Masyarakatnya tinggal pasang badan, pada era apa mereka berhadapan dengan sebuah rezim . Apakah rezim yang suka pedas atau rezim yang suka manis-manis. 

Berbahagia-lah bangsa Indonesia, yang sepanjang zaman tidak pernah memperoleh keadilan dan tidak mendapatkan kepastian hukum .

Semarang , 12 Desember 2014