Minggu, 30 November 2014

PEMBANTAIAN PNS DENGAN KORUPSI



DIPECAT ATAU TIDAK

Pegawai negeri sipil ( PNS ) sebagai pegawai negara bisa menduduki jabatan struktural dan jabatan fungsional . Jabatan fungsional dibedakan jabatan fungsional khusus dan jabatan fungsional umum . Jabatan struktural memiliki eselon , mulai dari eselon V , eselon IV, eselon III, eselon II, eselon I . Jabatan fungsional khusus bermacam-macam jenisnya antara lain pengawas sekolah, penyuluh lapangan pertanian / peternakan / perikanan , bendahara pengeluaran , bendahara penerimaan, juru ukur tanah, pengawas pertambangan dan lain-lain . Sedangkan jabatan fungsional umum bisa disebutkan jenisnya antara lain pengelola arsip, pengelola perpustakaan, pengelola sistem informasi dan dokumentasi hukum .
Yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah , yaitu penerimaan dan belanja di satuan kerja perangkat daerah ( SKPD ) diserahkan tugas pengelolaannya kepada pejabat struktural dan atau PNS dalam jabatan fungsional khusus, antara lain sebagai pengguna anggaran ( PA ) , kuasa pengguna anggaran ( KPA ), pejabat penatausahaan keuangan ( PPK ), pejabat pelaksana teknis kegiatan ( PPTK ), bendahara penerimaan , bendahara pengeluaran, pembantu bendahara penerimaan dan pembantu bendahara pengeluaran .
Anggaran belanja di suatu SKPD bisa dalam rumpun belanja langsung urusan (wajib) dan bisa juga belanja langsung non urusan (wajib). Anggaran belanja itu dipilah lagi ke dalam belanja pegawai , belanja barang/jasa dan belanja modal . Untuk indeks harga barang kebutuhan Pemerintah Daerah setiap tahun anggaran disusun tim yang dibentuk Kepala Daerah dengan surat keputusan. Tim ini wajib mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai informasi harga barang/jasa kemudian dikaji dalam rangka menetapkan harga perkiraan setempat ( HPS ) sebagai dasar penetapan indeks harga barang kebutuhan pemerintah daerah yang ditetapkan Kepala Daerah dengan surat keputusan .
Pelaksanaan anggaran di SKPD , utamanya belanja modal dan atau belanja barang/jasa harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pengadaan barang / jasa kebutuhan pemerintah daerah .
Penunjukan pejabat struktural atau pejabat fungsional khusus dan fungsional umum pada fungsi pejabat pengelola keuangan pada umumnya tidak disertai pendidikan dan pelatihan ( diklat ) atau orientasi jabatan . Dampaknya cukup fatal manakala pemahaman mereka sangat rendah , kemudian banyak celah kesalahan prosedur yang memungkinkan terjadinya kerugian keuangan daerah , sehingga jika dilaporkan pihak - pihak yang mengedepankan kedengkian kepada aparat penegak hukum bisa menjadi fatal . Dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( PTPK ) aparat penegak hukum sangat mudah mencelakai pejabat pengelola keuangan daerah dengan dakwaan korupsi . Apapun jenis dan tingkat kesalahan yang diduga telah dilakukan pejabat / PNS tersebut , sepanjang kegiatan tersebut mengkait dengan APBD , sangat mudah untuk dijebloskan ke dalam penjara karena korupsi .
Namun demikian, perbuatan PNS yang diduga merugikan keuangan daerah ( negara ) tentu harus disertai pembuktian secara hukum setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, pada Pasal 6 yang menyatakan sebagai berikut :
 (1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Pada Pasal 8 dinyatakan sebagai berikut :
 (1) Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kepada BPK.
(3) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
(4) Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Etika konstitusi seperti demikian ini sudah tidak dipedulikan lagi oleh aparat penegak hukum , baik dari jajaran kepolisian maupun dari jajaran kejaksaan .

Kerugian keuangan negara yang menjadi unsur utama suatu perbuatan melawan hukum, sering dihitung sendiri oleh penyidik, atau dimintakan bantuan audit investigasi BPKP atau akuntan publik . Namun faktanya, semua hasil pemeriksaan selain dari pemeriksa BPK RI tidak pernah dikoordinasikan / dikonsultasikan kepada BPK RI sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tersebut dipakai sebagai alat bukti di persidangan tipikor di Jawa Tengah . 

Makna korupsi menurut Undang-undang tentang PTPK , tidak harus telah terjadi secara riil kerugian keuangan daerah ( negara ) . Dalam Undang - undang PTPK  sebuah tindakan yang melampaui kewenangan dan melawan hukum dengan indikasi berpotensi dapat ( akan ) menimbulkan kerugian keuangan daerah (negara) pasti dihukum penjara dan di denda serta dihukum tambahan membayar uang pengganti sesuai dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-undang tentang PTPK tersebut . Hakim pasti memenuhi tuntutan jaksa penuntut umum ( JPU ) dengan rumus hukuman penjara akan dijatuhkan sekurang-kurangnya 2/3 dari tuntutan JPU.
Jika vonis hukuman kurang dari 2/3 tuntutan JPU, pasti akan dibanding JPU . Di pengadilan Tinggi Tipikor juga ada semacam kesepakatan bahwa semua upaya banding JPU harus dipenuhi, sehingga hukuman pasti akan ditambah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tipikor . Acara persidangan di pengadilan banding adalah “ Majelis Hakim mengadili sendiri “ artinya : majelis hakim hanya ( kalau sempat ) mempelajari / menelaah / mengkaji , memeriksa dan memutuskan vonis berdasarkan berkas perkara , tidak pernah terjadi persidangan tersebut menghadirkan kembali terdakwa dan saksi-saksi . Betapa buruknya beracara dalam upaya banding , sebab ketika persidangan di tingkat pertama penuh dengan rekayasa atau manipulasi , maka terdakwa semakin menderita karena lama hukuman penjaranya pasti ditambah, bahkan hukuman denda juga ditambah .
Upaya kasasi ke Mahkamah Agung di Jakarta juga tidak ada acara persidangan yang fair dan terbuka , persidangan yang agung dan transparan . Tanpa menjelekkan hakim agung tertentu yang dijuluki robot karena sering temparemen dan suka menjadi algojo terhadap terdakwa, hasil upaya kasasi pasti ditolak, kecuali ada kesalahan prosedur JPU dalam melakukan upaya hukum kasasi , maka kasasi terdakwa kabul . Misalnya : di tingkat pengadilan tipikor pertama terdakwa divonis bebas murni, namun JPU melakukan upaya hukum tidak langsung kasasi ke MA , yaitu melalui banding terlebih dahulu, maka inilah yang dimaksud JPU telah melakukan kesalahan prosedur dalam melakukan upaya hukum.
Kalau para pejabat pengelola keuangan daerah sudah banyak yang ditipikor-kan oleh aparat penegak hukum akibat kesalahan prosedur dalam pengadaan barang / jasa kebutuhan pemerintah daerah , dan ini adalah bagian dari akibat tidak dilakukannya diklat , maka mereka sebetulnya menjadi korban yang dikorbankan Kepala Daerah atau pihak yang berkepentingan menjebloskan mereka ke dalam penjara .
Polisi dan Jaksa pasti-lah sangat senang dengan kondisi peraturan perundangan pengadaan barang / jasa yang amburadul . Seharusnya dilakukan kajian ulang peraturan perundangan pengadaan barang / jasa dengan menambah ketentuan yang menegaskan bahwa kesalahan prosedur yang mewarnai pelaksanaan pengadaan barang / jasa tidak dapat dipidanakan. Kesalahan prosedur yang dapat diduga menimbulkan kerugian keuangan daerah ( negara ) harus melalui pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan sesuai Undang - undang Nomor 15 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 dan Jo Peraturan Kepala BPK Nomor 3 Tahun 2006. Berdasarkan LHP BPK itu kemudian Kepala Daerah menindak lanjuti penyelesaian kerugian keuangan daerah ( negara ) melalui Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Jo Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dengan segala perubahannya . Jadi tidak langsung dilidik atau disidik aparat penegak hukum .
Kerugian keuangan daerah ( negara ) dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan , sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 sebagai berikut :
Pasal 10
(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
(2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
(3) Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Untuk menjamin bahwa penagihan kerugian daerah ( negara ) dilaksanakan sungguh-sungguh oleh Majelis TPGR, maka Pemerintah Daerah Kabupaten ( Kota ) harus mengaturnya dalam peraturan daerah . Keputusan Majelis TPGR adalah sah dan kuat , dan wajib diperhatikan oleh aparat penegak hukum sampai batas waktu daluwarsa yaitu 8 ( delapan ) tahun sejak ditetapkan . Kepala Daerah Kabupaten / Kota wajib menyerahkan kepada Kejaksaan Negeri setempat jika Majelis TPGR tidak berhasil menagih pengembalian kerugian daerah / negara setelah batas waktu daluwarsa terlampaui, untuk dilakukan penanganan secara perdata tatausaha negara oleh Kejaksaan Negeri setempat . Jadi belum dilakukan penyidikan secara pidana khusus .
Etika koordinasi antar institusi yaitu Pemerintah Daerah dengan Kepolisian dan atau Kejaksaan harus dijunjung tinggi semua pihak . Namun setelah Undang-undang PTPK Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 ditetapkan Pemerintah, peran Majelis TPGR dalam menangani penagihan kerugian daerah dipandang sebelah mata oleh institusi penegak hukum.
Apakah sudah diinstruksikan agar tidak ada lagi sikap konsisten penyelenggara kekuasaan yudikatif dalam mematuhi peraturan perundang-undangan yang mengatur tatacara pemeriksaan keuangan negara/ daerah yang masih bersinergis dengan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan keuangan daerah ?
Itulah fakta praktek tata negara dan tata pemerintahan yang dilakukan oleh penyelenggara negara kita di bidang penegakan hukum pidana khusus, sudah menghalalkan segala upaya, yang penting kinerja kepolisian dan kejaksaan serta pengadilan tipikor mendapat penilaian bagus dari L S M .

Bagaimana nasib PNS yang terjerat perkara tindak pidana korupsi ?
Berbeda dengan aparat penegak hukum, misalnya dari kepolisian. Penyelesaian status anggota kepolisian akan ditentukan dalam sidang kode etik setelah menjalani hukuman yang dijatuhkan pengadilan .
P N S  atau aparat pemerintah yang disamakan dengan PNS , akan diperlakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 , yaitu manakala dihukum penjara sekurang-kurangnya 2 tahun, maka ada dua pilihan, yaitu dapat diberhentikan tidak dengan hormat atau tetap dipertahankan status PNS nya . Tidak diberhentikan dari status PNS dengan hukuman tertentu, yaitu hak gajinya hanya diberikan 50 % - 75 % . Semua tunjangan jabatan dan atau tunjangan tambahan penghasilan beban kerja dihapus.
Oleh sebab itu para Kepala Daerah dan pejabat pembina kepegawaian daerah dibantu Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mengurus kepegawaian harus konsisten dengan ketentuan peraturan perundangan di bidang kepegawaian, dengan mengabaikan tekanan-tekanan pihak lain yang tidak berkepentingan langsung . Hal ini menjadi peringatan khusus sebab di beberapa Daerah , sudah ada PNS yang menggugat ke PTUN atas keputusan Kepala Daerah yang memberhentikan PNS tersandung korupsi namun hukumannya kurang 2 tahun .
Mungkin dapat dipertimbangkan seperti penerapan peraturan kode etik KORPRI sebagaimana kode etik Polisi, dalam rangka melakukan tindakan disiplin terhadap PNS yang terjerat korupsi . Artinya, PNS tetap menjalani hukuman terlebih dahulu kemudian akan ditetapkan nasib status PNS-nya setelah selesai menjalani hukuman penjara yang diputuskan Hakim .
Kepastian hukum secara universal di suatu negara hukum harus ditegakkan. PNS dan Polisi adalah aparat negara . Perlakuan yang berbeda menggambarkan betapa hancurnya negara hukum Republik Indonesia dimata dunia internasional . 

Namun bagi Pegawai Negeri Sipil yang benar - benar terbukti secara sah dan meyakinkan sangat kuat niat jahatnya melakukan korupsi dan telah mendapatkan keuntungan pribadinya, dan telah nyata nyata merugikan keuangan negara / daerah , tidak perlu ada pertimbangan yang lain kecuali LANGSUNG DIPECAT DENGAN TIDAK HORMAT dari statusnya PNS . 
Yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan khusus adalah PNS golongan rendahan yang "dipaksa" atasan nya menjadi anggota kepanitiaan dalam kaitannya dengan pengadaan barang / jasa .

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com .

Semarang, 29 Nopember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar