Sabtu, 04 Oktober 2014

KORUPSI DI PEMERINTAH KABUPATEN DAN KOTA



KEJAHATAN DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Kejahatan merupakan suatu keadaan yang tidak baik , yang berakibat buruk dan tidak disukai banyak pihak , bisa timbul karena ada peluang . Sasaran kejahatan bisa bermacam – macam : jiwa atau barang atau keduanya . Kejahatan bisa berlangsung dalam sebuah system dan ada yang bersifat tunggal.
Keuangan Daerah adalah seluruh uang dan atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah . Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Perangkat Daerah . Sumber Keuangan Daerah adalah pendapatan daerah yaitu berupa pajak daerah dan atau retribusi daerah sebagaimana diatur di dalam Undang Undang RI Nomor 28 Tahun 2009 . Dengan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini Pemerintah Kabupaten / Pemerintah Kota ditertibkan secara seragam jenis pajak daerah dan jenis retribusi daerah yang dapat dipungut.
Hak memungut pajak daerah dan atau memungut retribusi daerah berkenaan dengan kewajiban Daerah menyelenggarakan urusan rumah tangga ( otonomi daerah ) . Untuk memungut, maka diperlukan perangkat daerah yang disebut Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) . Pedoman tatacara pemungutan pajak daerah dan atau retribusi daerah HARUS ditetapkan dengan PERATURAN DAERAH . Jenis pajak daerah yang diijinkan untuk dipungut Pemerintah Kabupaten / Kota antara lain : Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ), pajak reklame, pajak bebatuan ( Galian C ) , dan lain-lain . Sedangkan retribusi daerah yang diijinkan dipungut Pemerintah Kabupaten / Kota antara lain : retribusi pasar , retribusi pelayanan kesehatan dasar, retribusi pemeriksaan kesehatan hewan, retribusi uji kendaraan bermotor dan lain-lain .
SKPD sebagai perangkat daerah bisa berbentuk Dinas, Badan, Kantor yang disusun berdasarkan beban urusan wajib dan atau urusan pilihan yang menjadi kewenangan Daerah , susunan organisasinya ditetapkan dengan peraturan daerah . Legalitas inilah yang memberikan payung hukum bagi SKPD untuk secara sah mengelola ( menerima dan membelanjakan ) keuangan daerah . Kita memahami bahwa sebuah peraturan daerah disusun/ditetapkan oleh Kepala Daerah bersama dengan DPRD .   
Sumber Keuangan Daerah lainnya adalah subsidi dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Propinsi . Pemerintah Pusat bisa secara permanen mengalokasikan Dana Alokasi Umum ( DAU ) dan Dana Alokasi Khusus ( DAK ) namun ada juga yang tidak bersifat permanen, dengan kata lain situasional yaitu dengan tugas pembantuan.  
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, semua rancangan penerimaan keuangan daerah dan / atau belanja daerah , secara bertahap disusun melalui :
·        Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) dan Penyediaan Plafon Anggaran Sementara ( PPAS ) yang harus dibahas bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD Kabupaten / Kota .
Rancangan / draft KUA – PPAS disusun oleh setiap SKPD yang dihimpun oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah ( TAPD ) .
Pembahasan lebih bersifat kebijakan umum untuk memastikan kemampuan keuangan daerah dalam menyediakan belanja seluruh kegiatan dalam satu tahun anggaran .
Namun demikian bisa terjadi , pembahasan oleh Pansus DPRD dibreakdown ke Komisi mitra kerja SKPD . Ada hal yang positif dapat diperoleh ketika meluas pembahasan detail di Komisi terhadap KUA PPAS , yaitu ada tanggung jawab bersama antara Komisi DPRD dengan SKPD mitra kerjanya dalam mempersiapkan RAPBD tahun anggaran yang bersangkutan . Namun juga dapat menjadi ajang tawar menawar ke hal-hal yang negative , ketika anggota Komisi DPRD tersebut selalu menempatkan dirinya sebagai dominant of opportunist species. Mereka menjadi anggota DPRD pastinya tidak ada yang gratis . Posisi aparatur di SKPD kebanyakan dalam keadaan yang lemah ketimbang DPRD, sehingga tidak kuat dalam memegang prinsip , takut dikucilkan dan akan bernasib kurang baik kalau mempertahankan integritas aparatur yang bersih dan berwibawa. Opportunist Species adalah komunitas pemakan segalanya, bahkan polutan pun dimakannya, sebab mereka bisa melakukan penyesuaian dirinya yang tidak akan terancam keracunan yang menyebabkan kematian . Dalam bahasa yang lebih populer sering disebut KOMUNITAS NGGRAGAS .
Dalam praktek berpemerintahan sejak digulirkan reformasi demokrasi , dimana mekanisme pemilihan langsung diterapkan untuk Presiden, Anggota DPD, anggota DPR, anggota DPRD, Kepala Daerah, Kepala Desa, Kepala Dusun dan BPD ( Badan Permusyawaratan Desa ), maka warga masyarakat umum semakin menyadari bahwa diri mereka pun juga mudah tercebur dalam komunitas opportunist species . Misalnya , bersedia memilih figur tertentu kalau diberi uang , atau menuntut bantuan seketika untuk bermacam-macam kebutuhan kampung / dusun / RW / RT , sehingga calon yang terpilih dapat dipastikan akan masuk ke dalam komunitasopportunis nggragas .
·        Tahap Kedua adalah pembahasan RAPBD ( rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah ) .
Kondisi yang normal adalah bahwa di setiap SKPD yang sudah memperoleh plafon anggaran melalui persetujuan KUA PPAS dari DPRD , seharusnya berpedoman pada KUA PPAS itu . Manakala ada perubahan karena dalam rentang waktu setelah penetapan KUA PPAS ada hal-hal yang perlu dikerjakan / mendesak dalam tahun anggaran yang bersangkutan, maka bisa diusulkan kepada Kepala Daerah . Atas persetujuan Kepala Daerah , maka SKPD dapat memasukkannya ke dalam RAPBD  yang dituangkan ke dalam Rencana Anggaran dan Kegiatan ( RKA SKPD ) .
Namun , juga ada SKPD yang tidak mematuhi ketentuan ketika dalam menyusun RKA SKPD untuk bahan penyusunan RAPBD menyimpang dari KUA PPAS yang sudah disetujui DPRD. TINDAKAN INI SEBENARNYA TIDAK PATUT DILAKUKAN .
RAPBD setelah dibahas secara umum oleh Badan Anggaran DPRD , boleh dibreakdown ke Pansus atau ke Komisi . Seluruh SKPD wajib menyampaikannya secara detail dalam pembahasan dengan Pansus atau Komisi mitra kerjanya, sehingga akan diketahui apakah program dan kegiatan dalam satu tahun anggaran benar-benar sesuai atau tidak sesuai dengan visi dan misi Kepala Daerah terpilih ..  Ada kelaziman yang sudah berlangsung yaitu Pansus atau Komisi dapat menambahkan aspirasi sehingga program dan kegiatan menjadi lebih akuntabel. INILAH YANG WAJAR DAN BAIK .
Yang tidak lazim adalah, setelah dibahas detail dengan Pansus atau Komisi , ternyata Badan Anggaran DPRD melakukan tipu muslihat dalam tahapan yang illegal, yaitu TAHAP PENYELARASAN .
Pada tahap penyelarasan ini yang hadir dari eksekutif hanya Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda dan Kepala DPPKAD , atau bisa ditambah dengan SKPD tertentu yang dipandang loyalitasnya tinggi kepada kepentingan tertentu.

Kenapa demikian ?

Masyarakat perlu tahu dengan informasi yang lengkap bahwa , ketika pembahasan detail RAPBD dengan Pansus atau Komisi, hampir selalu terjadi ada pemotongan anggaran untuk sebagian kinerja SKPD dan itu kemudian dikantongi oleh Pansus / Komisi yang akan dititipkan kepada SKPD tertentu melalui TAHAP PENYELARASAN . INILAH TANGAN-TANGAN KORUPTOR MULAI BERAKSI .
Perbuatan demikian ini sebenarnya sebuah tindakan penyimpangan dari Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) dan PPAS . Karena TINDAKAN ITU suatu penyimpangan dari kebijakan anggaran, maka berpotensi cenderung berpotensi terjadinya KORUPSI . Pihak manapun akan dengan mudah dapat membuktikan setelah RAPBD disahkan menjadi APBD dan dapat dilihat melalui DPA - SKPD. Dalam penyelarasan, pundi-pundi dana Komisi biasanya dialokasikan ke anggaran belanja modal di SKPD yang loyalis , maka walaupun pengadaan barang dan jasa sudah menggunakan LPSE, tetap saja masih bisa diatur guna memilih pelaksana belanja modal tadi atas pesanan anggota DPRD yang berkepentingan .
Menghadapi hal demikian itu Kepala Daerah tidak bisa berbuat banyak ketika pelaksanaan kegiatan belanja modal titipan Komisi DPRD kualitasnya jelek , masyarakat protespun selalu didiamkan oleh Kepala Daerah . Dan lebih parah suasananya ketika LHP BPK merekomendasikan adanya kerugian keuangan daerah, tetap saja tidak ada tindakan hukum apapun.
PPKom yang menangani kegiatan itu biasanya juga takut untuk memutus kontrak dengan pelaksana yang tidak taat perjanjian. Mereka adalah bawahan Kepala SKPD selaku atasannya dan Pengguna Anggaran. Kalau sudah demikian maka terjadilah pembusukan kinerja SKPD dan kebohongan kepada publik .

MEMANIPULASI KEJAHATAN KEUANGAN DAERAH
Bagaimana caranya ???
Hai pembaca yang budiman .
Wahai masyarakat dan bangsa Indonesia yang selalu terpuruk akibat kejahatan .
Dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) adalah Lembaga Negara sah yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sekaligus menetapkan hasil pemeriksaan apakah ada atau tidak ada kerugian keuangan Negara / daerah .
BPK lah yang berwenang menentukan suatu pengelolaan keuangan Negara / daerah WTP, WDP atau Disclammer. Manakala dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) BPK di suatu Pemerintah Daerah kategorinya disclammer, maka dengan atau tanpa rekomendasi BPK , aparat penegak hukum wajib menindak lanjuti untuk dilakukan penyelidikan dan atau penyidikan berdasarkan hukum yang berlaku .
Terhadap ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2004 ini mungkin ada pendapat dari para aparat penegak hukum yang menganggap sinis LHP BPK , sehingga lebih menggemari jasa audit investigasi dari BPKP  atau dari “ahli” yang ada di Perguruan Tinggi ketika melakukan pengusutan dugaan adanya perkara korupsi dari LSM .
Tidak usah HEBOH dan GUMUN ketika sdr SUDIRMAN selaku auditor dari BPKP yang meneriakkan keras di media masa bahwa audit BPKP tidak sah sebagai alat bukti tindak kejahatan korupsi , dan beberapa kelompok yang berkepentingan kemudian ramai ramai meminta Presiden atau DPR mengambil langkah penghentian kesewenangan aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi .  
Sudah beberapa tahun berlangsung hampir semua Kejari dan Polres menggunakan BPKP untuk mengaudit suatu kegiatan pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah daerah yang diduga menyimpang dan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan Negara / daerah .
Dalam rentang waktu yang sudah sangat lama itu ternyata tidak ada ahli hukum di negeri kita ini yang membela kepentingan tatanan hukum positif agar dipatuhi oleh aparat penegak hukum, walaupun penyimpangan yang mereka lakukan sudah sangat merusak kepastian hukum, kebenaran dan keadilan .  
Hati ini menjadi berteriak , aduh Negara Republik Indonesia sudah menjadi Negara yang tidak lagi berdasarkan hukum sebagaimana cita cita pendiri Negara, tetapi dilakukan pengaturannya dengan style hukum jahiliyah, artinya siapapun bisa main kuasa untuk menindas rakyat demi mendapatkan keuntungan pribadi dalam menjalankan tugas sebagai “aparat penegak hukum” dan tidak lagi peduli lambang  pengayoman yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pejabat yang berkuasa di eksekutif Daerah , bisa Kepala Daerah dan / atau Anggota DPRD sudah terlalu biasa memainkan hasil audit investigasi yang dilakukan BPKP ketika kerabatnya tersangkut kasus hukum .

Bagaimana caranya ???
Anda pasti paham apa itu LHP ? yaitu laporan hasil pemeriksaan. Objek yang diketahui “telah merugikan keuangan daerah “ akibat pekerjaan proyek tertentu yang didanai APBD jelek, biasanya dikabari oleh auditornya atau Kepala BPKP nya untuk klarifikasi . Tahapan klarifikasi itulah dimanfaatkan “setor pengorbanan” dari objek pemeriksaan kepada oknum BPKP, sehingga temuan kerugian Negara / daerah yang sudah nyata ada, disarankan untuk disetorkan kembali ke kas Negara atau kas daerah , dan al hasil dalam LHP tidak lagi ditulis ada temuan kerugian keuangan Negara / daerah . MODUS demikian ini sudah biasa dan banyak dilakukan para Kepala Daerah ketika anggota keluarganya ada yang diindikasikan tersangkut melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara / daerah .
Dalam beberapa kali pemberitaan di media cetak pernah diungkap adanya penyimpangan bestek atas pekerjaan jalan di suatu Daerah di Jawa Tengah, yang dilakukan dua pemborong yang berbeda. Seorang pemborong jalan itu benar-benar dihukum penjara sebab dia hanya memperlihatkan itikad baiknya dengan cara secara terus menerus melakukan perbaikan / pemeliharaan jalan yang diborongnya , tetapi tetap berkualitas jelek . Karena tidak bisa setor kembali ke kas daerah , maka DIKORBANKAN sebagai pemborong yang nakal, yang korupsi dan akhirnya dipenjara . Sedangkan pemborong satunya, karena keluarga Kepala Daerah, maka tidak ditindak menurut hukum yang berlaku , sebab kerugian keuangan Negara / daerah yang sebenarnya memang riil ada, sudah disetorkan ke kas daerah , sehingga dalam LHP dihapus oleh BPKP Perwakilan Jawa Tengah .
Dari uraian di ayas , ruang lingkup kejahatan dalam pengelolaan keuangan daerah bisa terjadi karena :
1.     Objek adalah termasuk atau digolongkan sebagai opportunist species . Mereka dominant dalam praktek pengelolaan keuangan daerah .
2.     Kongkalikong semakin meluas .
3.     Ada modus baru yang dilakukan oleh lembaga pemeriksa keuangan Negara / daerah .
4.     Penindakan dari aparat penegak hukum tebang pilih .
5.     Bahwa korupsi sudah dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia tidak disadari oleh masyarakat .
Semoga Allah SWT mengampuni dosanya orang-orang yang masih konsisten dengan ketetapanNya . Sebaiknya dilakukan referendum , minta pendapat rakyat, bagaimana memperbaiki kerusakan bangsa yang sudah parah . Jika latar belakangnya tidak adanya keteladanan yang baik dari para pemimpin Negara, yang style presidensiil ini diganti bentuk KERAJAAN saja . Satu-satunya jalan yang sah adalah REFERENDUM .

Semarang, 4 Oktober 2014.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar