KEJAHATAN
DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Kejahatan
merupakan suatu keadaan yang tidak baik , yang berakibat buruk dan tidak
disukai banyak pihak , bisa timbul karena ada peluang . Sasaran kejahatan bisa
bermacam – macam : jiwa atau barang atau keduanya . Kejahatan bisa berlangsung
dalam sebuah system dan ada yang bersifat tunggal.
Keuangan
Daerah adalah seluruh uang dan atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah . Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah
dan Perangkat Daerah . Sumber Keuangan Daerah adalah pendapatan daerah yaitu
berupa pajak daerah dan atau retribusi daerah sebagaimana diatur di dalam
Undang Undang RI Nomor 28 Tahun 2009 . Dengan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009
ini Pemerintah Kabupaten / Pemerintah Kota ditertibkan secara seragam jenis
pajak daerah dan jenis retribusi daerah yang dapat dipungut.
Hak
memungut pajak daerah dan atau memungut retribusi daerah berkenaan dengan
kewajiban Daerah menyelenggarakan urusan rumah tangga ( otonomi daerah ) .
Untuk memungut, maka diperlukan perangkat daerah yang disebut Satuan Kerja
Perangkat Daerah ( SKPD ) . Pedoman tatacara pemungutan pajak daerah dan atau
retribusi daerah HARUS ditetapkan dengan PERATURAN DAERAH . Jenis pajak daerah
yang diijinkan untuk dipungut Pemerintah Kabupaten / Kota antara lain : Pajak
Bumi dan Bangunan ( PBB ), pajak reklame, pajak bebatuan ( Galian C ) , dan
lain-lain . Sedangkan retribusi daerah yang diijinkan dipungut Pemerintah
Kabupaten / Kota antara lain : retribusi pasar , retribusi pelayanan kesehatan
dasar, retribusi pemeriksaan kesehatan hewan, retribusi uji kendaraan bermotor
dan lain-lain .
SKPD
sebagai perangkat daerah bisa berbentuk Dinas, Badan, Kantor yang disusun
berdasarkan beban urusan wajib dan atau urusan pilihan yang menjadi kewenangan
Daerah , susunan organisasinya ditetapkan dengan peraturan daerah . Legalitas
inilah yang memberikan payung hukum bagi SKPD untuk secara sah mengelola (
menerima dan membelanjakan ) keuangan daerah . Kita memahami bahwa sebuah
peraturan daerah disusun/ditetapkan oleh Kepala Daerah bersama dengan DPRD
.
Sumber
Keuangan Daerah lainnya adalah subsidi dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Propinsi . Pemerintah Pusat bisa secara permanen mengalokasikan Dana Alokasi
Umum ( DAU ) dan Dana Alokasi Khusus ( DAK ) namun ada juga yang tidak bersifat
permanen, dengan kata lain situasional yaitu dengan tugas pembantuan.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, semua rancangan penerimaan keuangan daerah dan /
atau belanja daerah , secara bertahap disusun melalui :
·
Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) dan
Penyediaan Plafon Anggaran Sementara ( PPAS ) yang harus dibahas bersama antara
Kepala Daerah dengan DPRD Kabupaten / Kota .
Rancangan
/ draft KUA – PPAS disusun oleh setiap SKPD yang dihimpun oleh Tim Anggaran
Pemerintah Daerah ( TAPD ) .
Pembahasan
lebih bersifat kebijakan umum untuk memastikan kemampuan keuangan daerah dalam
menyediakan belanja seluruh kegiatan dalam satu tahun anggaran .
Namun
demikian bisa terjadi , pembahasan oleh Pansus DPRD dibreakdown ke Komisi mitra
kerja SKPD . Ada hal yang positif dapat diperoleh ketika meluas pembahasan
detail di Komisi terhadap KUA PPAS , yaitu ada tanggung jawab bersama antara
Komisi DPRD dengan SKPD mitra kerjanya dalam mempersiapkan RAPBD tahun anggaran
yang bersangkutan . Namun juga dapat menjadi ajang tawar menawar ke hal-hal
yang negative , ketika anggota Komisi DPRD tersebut selalu menempatkan dirinya
sebagai dominant of opportunist species. Mereka menjadi anggota DPRD pastinya
tidak ada yang gratis . Posisi aparatur di SKPD kebanyakan dalam keadaan yang
lemah ketimbang DPRD, sehingga tidak kuat dalam memegang prinsip , takut
dikucilkan dan akan bernasib kurang baik kalau mempertahankan integritas
aparatur yang bersih dan berwibawa. Opportunist Species adalah komunitas
pemakan segalanya, bahkan polutan pun dimakannya, sebab mereka bisa melakukan
penyesuaian dirinya yang tidak akan terancam keracunan yang menyebabkan
kematian . Dalam bahasa yang lebih populer sering disebut KOMUNITAS NGGRAGAS .
Dalam
praktek berpemerintahan sejak digulirkan reformasi demokrasi , dimana mekanisme
pemilihan langsung diterapkan untuk Presiden, Anggota DPD, anggota DPR, anggota
DPRD, Kepala Daerah, Kepala Desa, Kepala Dusun dan BPD ( Badan Permusyawaratan
Desa ), maka warga masyarakat umum semakin menyadari bahwa diri mereka pun juga
mudah tercebur dalam komunitas opportunist species . Misalnya , bersedia
memilih figur tertentu kalau diberi uang , atau menuntut bantuan seketika untuk
bermacam-macam kebutuhan kampung / dusun / RW / RT , sehingga calon yang
terpilih dapat dipastikan akan masuk ke dalam komunitasopportunis nggragas .
·
Tahap Kedua adalah pembahasan RAPBD (
rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah ) .
Kondisi
yang normal adalah bahwa di setiap SKPD yang sudah memperoleh plafon anggaran
melalui persetujuan KUA PPAS dari DPRD , seharusnya berpedoman pada KUA PPAS
itu . Manakala ada perubahan karena dalam rentang waktu setelah penetapan KUA
PPAS ada hal-hal yang perlu dikerjakan / mendesak dalam tahun anggaran yang
bersangkutan, maka bisa diusulkan kepada Kepala Daerah . Atas persetujuan
Kepala Daerah , maka SKPD dapat memasukkannya ke dalam RAPBD yang dituangkan ke dalam Rencana Anggaran dan
Kegiatan ( RKA SKPD ) .
Namun
, juga ada SKPD yang tidak mematuhi ketentuan ketika dalam menyusun RKA SKPD
untuk bahan penyusunan RAPBD menyimpang dari KUA PPAS yang sudah disetujui
DPRD. TINDAKAN INI SEBENARNYA TIDAK PATUT DILAKUKAN .
RAPBD
setelah dibahas secara umum oleh Badan Anggaran DPRD , boleh dibreakdown ke
Pansus atau ke Komisi . Seluruh SKPD wajib menyampaikannya secara detail dalam
pembahasan dengan Pansus atau Komisi mitra kerjanya, sehingga akan diketahui
apakah program dan kegiatan dalam satu tahun anggaran benar-benar sesuai atau
tidak sesuai dengan visi dan misi Kepala Daerah terpilih .. Ada kelaziman yang sudah berlangsung yaitu Pansus
atau Komisi dapat menambahkan aspirasi sehingga program dan kegiatan menjadi
lebih akuntabel. INILAH YANG WAJAR DAN BAIK .
Yang
tidak lazim adalah, setelah dibahas detail dengan Pansus atau Komisi , ternyata
Badan Anggaran DPRD melakukan tipu muslihat dalam tahapan yang illegal, yaitu
TAHAP PENYELARASAN .
Pada
tahap penyelarasan ini yang hadir dari eksekutif hanya Sekretaris Daerah,
Kepala Bappeda dan Kepala DPPKAD , atau bisa ditambah dengan SKPD tertentu yang
dipandang loyalitasnya tinggi kepada kepentingan tertentu.
Kenapa
demikian ?
Masyarakat
perlu tahu dengan informasi yang lengkap bahwa , ketika pembahasan detail RAPBD
dengan Pansus atau Komisi, hampir selalu terjadi ada pemotongan anggaran untuk sebagian
kinerja SKPD dan itu kemudian dikantongi oleh Pansus / Komisi yang akan
dititipkan kepada SKPD tertentu melalui TAHAP PENYELARASAN . INILAH
TANGAN-TANGAN KORUPTOR MULAI BERAKSI .
Perbuatan
demikian ini sebenarnya sebuah tindakan penyimpangan dari Kebijakan Umum
Anggaran ( KUA ) dan PPAS . Karena TINDAKAN ITU suatu penyimpangan dari
kebijakan anggaran, maka berpotensi cenderung berpotensi terjadinya KORUPSI . Pihak
manapun akan dengan mudah dapat membuktikan setelah RAPBD disahkan menjadi APBD
dan dapat dilihat melalui DPA - SKPD. Dalam penyelarasan, pundi-pundi dana
Komisi biasanya dialokasikan ke anggaran belanja modal di SKPD yang loyalis ,
maka walaupun pengadaan barang dan jasa sudah menggunakan LPSE, tetap saja
masih bisa diatur guna memilih pelaksana belanja modal tadi atas pesanan
anggota DPRD yang berkepentingan .
Menghadapi
hal demikian itu Kepala Daerah tidak bisa berbuat banyak ketika pelaksanaan
kegiatan belanja modal titipan Komisi DPRD kualitasnya jelek , masyarakat
protespun selalu didiamkan oleh Kepala Daerah . Dan lebih parah suasananya
ketika LHP BPK merekomendasikan adanya kerugian keuangan daerah, tetap saja
tidak ada tindakan hukum apapun.
PPKom
yang menangani kegiatan itu biasanya juga takut untuk memutus kontrak dengan
pelaksana yang tidak taat perjanjian. Mereka adalah bawahan Kepala SKPD selaku
atasannya dan Pengguna Anggaran. Kalau sudah demikian maka terjadilah
pembusukan kinerja SKPD dan kebohongan kepada publik .
MEMANIPULASI KEJAHATAN KEUANGAN
DAERAH
Bagaimana caranya ???
Hai pembaca yang budiman .
Wahai masyarakat dan bangsa
Indonesia yang selalu terpuruk akibat kejahatan .
Dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun
2004 ditegaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) adalah Lembaga Negara
sah yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sekaligus menetapkan hasil
pemeriksaan apakah ada atau tidak ada kerugian keuangan Negara / daerah .
BPK lah yang berwenang menentukan
suatu pengelolaan keuangan Negara / daerah WTP, WDP atau Disclammer. Manakala
dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) BPK di suatu Pemerintah Daerah kategorinya
disclammer, maka dengan atau tanpa rekomendasi BPK , aparat penegak hukum wajib
menindak lanjuti untuk dilakukan penyelidikan dan atau penyidikan berdasarkan
hukum yang berlaku .
Terhadap ketentuan UU Nomor 15
Tahun 2004 ini mungkin ada pendapat dari para aparat penegak hukum yang
menganggap sinis LHP BPK , sehingga lebih menggemari jasa audit investigasi
dari BPKP atau dari “ahli” yang ada di
Perguruan Tinggi ketika melakukan pengusutan dugaan adanya perkara korupsi dari
LSM .
Tidak usah HEBOH dan GUMUN ketika sdr
SUDIRMAN selaku auditor dari BPKP yang meneriakkan keras di media masa bahwa
audit BPKP tidak sah sebagai alat bukti tindak kejahatan korupsi , dan beberapa
kelompok yang berkepentingan kemudian ramai ramai meminta Presiden atau DPR
mengambil langkah penghentian kesewenangan aparat penegak hukum dalam
pemberantasan korupsi .
Sudah beberapa tahun berlangsung
hampir semua Kejari dan Polres menggunakan BPKP untuk mengaudit suatu kegiatan
pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah daerah yang diduga menyimpang
dan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan Negara / daerah .
Dalam rentang waktu yang sudah
sangat lama itu ternyata tidak ada ahli hukum di negeri kita ini yang membela
kepentingan tatanan hukum positif agar dipatuhi oleh aparat penegak hukum, walaupun
penyimpangan yang mereka lakukan sudah sangat merusak kepastian hukum,
kebenaran dan keadilan .
Hati ini menjadi berteriak , aduh Negara
Republik Indonesia sudah menjadi Negara yang tidak lagi berdasarkan hukum sebagaimana
cita cita pendiri Negara, tetapi dilakukan pengaturannya dengan style hukum jahiliyah,
artinya siapapun bisa main kuasa untuk menindas rakyat demi mendapatkan
keuntungan pribadi dalam menjalankan tugas sebagai “aparat penegak hukum” dan
tidak lagi peduli lambang pengayoman yang
berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pejabat yang berkuasa di eksekutif
Daerah , bisa Kepala Daerah dan / atau Anggota DPRD sudah terlalu biasa memainkan
hasil audit investigasi yang dilakukan BPKP ketika kerabatnya tersangkut kasus
hukum .
Bagaimana caranya ???
Anda pasti paham apa itu LHP ?
yaitu laporan hasil pemeriksaan. Objek yang diketahui “telah merugikan keuangan
daerah “ akibat pekerjaan proyek tertentu yang didanai APBD jelek, biasanya
dikabari oleh auditornya atau Kepala BPKP nya untuk klarifikasi . Tahapan
klarifikasi itulah dimanfaatkan “setor pengorbanan” dari objek pemeriksaan
kepada oknum BPKP, sehingga temuan kerugian Negara / daerah yang sudah nyata
ada, disarankan untuk disetorkan kembali ke kas Negara atau kas daerah , dan al
hasil dalam LHP tidak lagi ditulis ada temuan kerugian keuangan Negara / daerah
. MODUS demikian ini sudah biasa dan banyak dilakukan para Kepala Daerah ketika
anggota keluarganya ada yang diindikasikan tersangkut melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian keuangan Negara / daerah .
Dalam beberapa kali pemberitaan di
media cetak pernah diungkap adanya penyimpangan bestek atas pekerjaan jalan di
suatu Daerah di Jawa Tengah, yang dilakukan dua pemborong yang berbeda. Seorang
pemborong jalan itu benar-benar dihukum penjara sebab dia hanya memperlihatkan
itikad baiknya dengan cara secara terus menerus melakukan perbaikan /
pemeliharaan jalan yang diborongnya , tetapi tetap berkualitas jelek . Karena
tidak bisa setor kembali ke kas daerah , maka DIKORBANKAN sebagai pemborong
yang nakal, yang korupsi dan akhirnya dipenjara . Sedangkan pemborong satunya,
karena keluarga Kepala Daerah, maka tidak ditindak menurut hukum yang berlaku ,
sebab kerugian keuangan Negara / daerah yang sebenarnya memang riil ada, sudah
disetorkan ke kas daerah , sehingga dalam LHP dihapus oleh BPKP Perwakilan Jawa
Tengah .
Dari uraian di ayas , ruang lingkup
kejahatan dalam pengelolaan keuangan daerah bisa terjadi karena :
1. Objek
adalah termasuk atau digolongkan sebagai opportunist species . Mereka dominant
dalam praktek pengelolaan keuangan daerah .
2. Kongkalikong
semakin meluas .
3. Ada
modus baru yang dilakukan oleh lembaga pemeriksa keuangan Negara / daerah .
4. Penindakan
dari aparat penegak hukum tebang pilih .
5. Bahwa
korupsi sudah dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia tidak disadari oleh
masyarakat .
Semoga
Allah SWT mengampuni dosanya orang-orang yang masih konsisten dengan
ketetapanNya . Sebaiknya dilakukan referendum , minta pendapat rakyat,
bagaimana memperbaiki kerusakan bangsa yang sudah parah . Jika latar
belakangnya tidak adanya keteladanan yang baik dari para pemimpin Negara, yang
style presidensiil ini diganti bentuk KERAJAAN saja . Satu-satunya jalan yang
sah adalah REFERENDUM .
Semarang,
4 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar