Senin, 06 Oktober 2014

KOMISI YUDISIAL RAGU MENINDAK HAKIM NAKAL

  HAKIM TIPIKOR SEWENANG-WENANG

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah ( kabupaten / kota ) , semua program dan kegiatan yang dilakukan oleh perangkat daerah wajib dirangkum dalam Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) dan mendapatkan setujuan DPRD serta dikoreksi / disahkan oleh pejabat yang berwenang .Demikianlah ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah . Kewenangan pengelolaan keuangan negara ada di tangan Presiden RI , kemudian didelegasikan kepada para Kepala Daerah ( Propinsi / Kabupaten / Kota ) bagi pengelolaan keuangan daerah . 

Dalam melaksanakan kewenangannya itu para kepala daerah harus berpedoman Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah . Pengelolaan keuangan daerah bersinergi dengan pengelolaan barang daerah . Untuk melakukan pengelolaan barang daerah harus berpedoman Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah , Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah .

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang disebut dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) . SKPD dibentuk dengan Peraturan Daerah . Oleh karenanya perlu dibahas bersama DPRD. SKPD bisa berbentuk Dinas, Badan atau Kantor . Kelembagaan itu dibentuk dengan mempertimbangkan kewenangan pemerintah daerah yang meliputi beban urusan wajib dan urusan pilihan yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintahan Daerah dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut.

Pemerintah Daerah ( Kabupaten / Kota ) adalah Daerah Otonom. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah Otonom wajib mengusahakan sumber pendapatan asli daerah sendiri ( PADS ) yang ditentukan jenisnya berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku . PADS secara garis besar bisa berbentuk pajak daerah dan retribusi daerah atau lain-lain pendapatan asli daerah yang sah . 

Pajak daerah dan atau retribusi daerah yang akan dipungut oleh Pemerintah Daerah ( Kabupaten / Kota ) harus berpedoman kepada Undang - undang RI Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah . Untuk keabsahan pelaksanaan pungutan terhadap berbagai jenis pajak daerah dan retribusi daerah itu , karena menyangkut subjek dan objek, penetapan tarif dan administrasi pengelolaannya, maka harus diatur di dalam peraturan daerah ( kabupaten / kota ) yang bersangkutan .  

Pelanggaran atas peraturan daerah di bidang pajak daerah dan atau retribusi daerah ditegakkan oleh penyidik pegawai negeri sipil ( PPNS ) di bidangnya yang mereka itu sudah lulus pendidikan dan pelatihan untuk hal itu dan telah dilantik secara sah oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia . PPNS dalam pelaksanaan tugasnya wajib berkooedinasi dengan aparat kepolisian daerah setempat . 

Kecuali pendapatan daerah di bidang pajak daerah atau retribusi daerah , pemerintah daerah bisa mendapatkan sumber pendapatan yang dikategorikan LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH, antara lain hasil bunga, hasil deposito, rabat dan pengembalian kerugian daerah berdasarkan putusan majelis tuntutan perbendaharan dan ganti rugi ( Majelis TPTGR ) yang dibentuk Bupati / Walikota atau berdasarkan putusan hakim . 

Dalam ruang lingkup pemberantasan korupsi dewasa itu, jajaran aparat penegak hukum ( kepolisian / kejaksaan / pengadilan / mahkamah agung ) tidak lagi menghargai keberadaan dan kewenangan Majelis TPTGR yang legal , sehingga manakala Kepala Daerah menindak lanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan ( LHP ) dari Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) yang menyangkut kerugian daerah dengan menugaskan Majelis TPTGR mengusut dan memutuskan upaya pengembaliannya, dikesampingkan begitu saja. Padahal mekanisme penanganan kerugian daerah akibat bendahara atau PNS bukan bendahara atau akibat perbuatan pihak lain melalui Majelis TPTGR adalah sah dan legal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah . Majelis TPTGR Kabupaten / kota harus dibentuk dengan peraturan daerah , sama seperti ketika pemerintah daerah menyusun struktur organisasi pemerintahan daerah .

Untuk memungut LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH , harus disediakan rekening penerimaannya yang bisa dipakai kepala SKPD pemungut untuk menyetorkan ke kas daerah . Oleh sebab itu pencantuman nomor kode rekening penerimaan kerugian daerah itu wajib disediakan di dalam APBD Kabupaten / Kota . Tentu saja penyediaan nomor kode rekening kerugian daerah dilakukan setelah Kepala Daerah melalui Majelis TPTGR menetapkan jenis dan jumlahnya kemudian nomor kode rekening itu diusulkan melalui perubahan APBD dalam tahun anggaran yang sama atau dapat juga dilakukan pada penetapan APBD pada tahun anggaran berikutnya . 

Dengan demikian, penerimaan LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH dari jenis penerimaan kerugian daerah tidak memerlukan peraturan daerah secara khusus sebagaimana yang diberlakukan untuk pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 . 

Pejabat Institusi penegak hukum banyak yang tidak paham mengenai substansi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di bidang pengelolaan keuangan daerah . Ketidak pahaman itu sebenarnya bisa diatasi dengan mendapatkan bahan keterangan dari saksi atau ahli . Penyidik dalam prakteknya lebih mementingkan tujuan kerjanya tercapai , sehingga setiap pelanggaran administrasi di bidang pengelolaan keuangan daerah pasti dikembangkan menjadi perkara tindak pidana korupsi, baik hal itu sudah diselesaikan Majelis TPTGR maupun diselesaikan langsung oleh Kepala SKPD yang bersangkutan karena memiliki kewenangan atribusi untuk melakukan tindakan penyelamatan kerugian keuangan pemerintah daerah . 

Yang sudah terjadi di Jawa Tengah adalah demi kepentingan penyelidikan / penyidikan yang dilakukan para aparat penegak hukum akibat tugas memenuhi beban kerja kedinasannya maka sudah cukup banyak jajaran pemerintah daerah , baik yang memiliki posisi sebagai kepala SKPD ataupun PNS yang diberi tugas sampingan sebagai anggota kepanitiaan tertentu dalam pengadaan barang/jasa telah DIKRIMINALISASI dengan dakwaan / tuntutan telah melakukan perbuatan melawan hukum / melampaui kewenangan yang bermaksud menguntungkan dirinya sendiri atau pihak lain atau korporasi yang dapat ( berpotensi ) menimbulkan kerugian keuangan negara / daerah , kemudian disodorkan kepada pengadilan tipikor untuk diadili berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 atau pasal-pasal lainnya ( pemaksaan pungutan liar / gratifikasi ) dari Undang-undang Nomor 31 Th 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . 

Ternyata majelis hakim pengadilan tipikor di pengadilan negeri semarang , bebannya sangat ringan walaupun tugas dan tanggung jawab menyidangkan perkara korupsi sangat melebihi kemampuan otaknya . Setiap harinya mereka menyidangkan 5 sd 7 perkara , yang dimulai dari pukul 09.00 WIB sampai berakhir pada pukul 22.00 WIB . Kondisi demikian ini tidak memungkinkan seorang hakim akan mempelajari substansi kasus korupsi yang ditanganinya . Jalan pintas selalu dilakukan para hakim, yaitu meminta flash disk yang berisi surat dakwaan atau surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum , kemudian direvisi menurut kemauannya dalam menghukum terdakwa sesuai permintaan JPU . Berita acara pemeriksaan ( BAP ) para saksi dan atau tersangka yang sudah dianulir oleh mereka sendiri dalam persidangan, dimana menurut ketentuan KUHAP bahwa keterangan saksi dan terdakwa maupun ahli dalam persidangan adalah fakta hukum yang wajib dijadikan dasar penuntutan JPU maupun dijadikan dasar majelis hakim dalam menjatuhkan vonisnya , dimana vonis itu seharusnya tidak dipaksa / dipengaruhi oleh hal-hal di luar persidangan, PASTI DIABAIKAN MAJELIS HAKIM .  Majelis Hakim senang mencari - cari dalih yang membingungkan terdakwa, yang di ujungnya persidangan pasti menghukum terdakwa, terlepas Majelis Hakim itu sangat sadar telah melalaikan fakta persidangan atau ada kepentingan lainnya sehingga mereka tidak berani membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum yang sebenarnya harus mereka lakukan demi keadilan . 

Majelis Hakim hanya berusaha kinerjanya sebagai PNS tercapai , kemudian bisa memuaskan JPU dan pihak-pihak yang membiayainya . DALAM KASUS PENANGANAN PERKARA KORUPSI DI JAWA TENGAH HAMPIR 90 % HAKIM NAKAL AKIBAT DEKADENSI MORAL , AKIBAT GAYA HIDUP MEWAH, INGIN CEPAT KAYA, INGIN CEPAT MENDUDUKI JABATAN STRUKTURAL dan memuaskan kalangan LSM yang eforia dalam menyengsarakan PNS atau pihak - pihak lain yang dijadikan target .

Masyarakat yang sudah eforia dalam derap pemberantasan korupsi seyogyanya ikut paham, bahwa :

1. Ternyata sebagian besar penyidik dari kejaksaan negeri dan kepolisian resort belum memahami perbedaan penerimaan daerah yang dikategorikan pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah .

2.  Untuk memperoleh kejelasan struktur hukum peraturan daerah yang mengatur penerimaan daerah, pada era sekarang bisa men-download website-nya Pemerintah Daerah setempat, atau konsultasi dengan pejabat pemda yang membidangi hukum .

3.  Pejabat pemda Kabupaten / kota generasi dekade 2000 an ke depan sudah jarang menjalani orientasi jabatan ketika diangkat dalam jabatan struktural, sehingga mereka pada umumnya juga tidak paham bagaimana organisasi pemerintah daerah harus dijalankan dengan peraturan perundangan yang berlaku. 

4.  Dengan peningkatan eselonering jabatan, maka yang benar-benar menyusun rancangan program dan kegiatan SKPD pada umumnya adalah Kepala Seksi / Kepala Sub Bagian Perencanaan ( eselon IV/a ), dimana mereka sebenarnya adalah kelompok pelaksana, bukan penyusun kebijakan . 

5.  Mereka itulah yang acapkali dijadikan saksi dari penyidik untuk tersangka / terdakwa dari kalangan pejabat SKPD yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum ( melampaui kewenangan ) atau penyimpangan pelaksanaan pungutan pendapatan keuangan daerah yang dijerat dengan UU TPK .

Penyidik juga masih banyak yang tidak paham mengenai pedoman dan tatacara pengelolaan / penggunaan / pemanfaatan barang milik daerah ( kabupaten / kota ) . Pemkab / Pemkota wajib menyusun peraturan daerah tentang pengelolaan barang milik daerah setelah diterbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007. Penyidik masih banyak yang tidak mengerti prosedur dan tatacara pengelolaan / penggunaan / pemanfaatan barang milik daerah sebelum diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Ini menjadi permasalahan hukum ketika penyidik mengusut dugaan perkara penyimpangan atas pengelolaan / penggunaan / pemanfaatan barang milik daerah padahal sudah dilakukan dengan benar oleh kepala SKPD menurut peraturan daerah kabupaten/kota yang masih berlaku.  

Di dalam penyidikan dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan pejabat administrasi / pejabat tinggi / pejabat fungsional di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota , bisa dilakukan dengan mempertimbangkan ketentuan peraturan perundangan selain UU TPK terlebih dahulu, sebab di internal Pemerintah Daerah sebagai sebuah lembaga pemerintahan, kepala daerah juga memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan disiplin PNS-nya yang melakukan pelanggaran disiplin PNS . Penyidik seyogyanya tidak terburu-buru menyebarkan berita pembunuhan karahter PNS di media cetak ketika baru tahap penyelidikan, dan itu dilakukannya tanpa berkoordinasi dengan Kepala Daerah .

Koordinasi dengan Kepala Daerah menjadi sangat penting, disebabkan beberapa hal :

a. Dapat memperoleh informasi sejauh mana langkah kepala daerah terhadap dugaan adanya pelanggaran disiplin PNS 

b.  Jika pelanggaran disiplin PNS itu terkait dengan penyalahgunaan jabatan dan atau perbuatannya melampaui kewenangannya dalam penggunaan anggaran, dapat mengetahui apakah kepala daerah sudah mengajukan audit kepada BPK sesuai prosedur yang berlaku .

c.  Penyidik juga akan bertambah paham, bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 , perbuatan PNS yang melampaui wewenang, belum tentu dapat dikategorikan perbuatan pidana, sebab konteksnya masih dalam ranah hukum administrasi / tatausaha .

d.  Penyidik dijamin oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 bahwa ketika Laporan Hasil Pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan merekomendasikan ada penyimpangan yang merugikan keuangan daerah , pasti akan memperoleh surat rekomendasi dari Ketua BPK untuk menindak lanjuti temuan BPK tersebut. Jadi tidak perlu lagi penyidik susah payah meminta jasa audit investigasi kepada BPKP Perwakilan Jawa Tengah, sebuah lembaga pemerintahan yang tidak memiliki kewenangan menetapkan kerugian keuangan negara/ daerah . 

e.  Penyidik juga akan menjadi paham bahwa pelanggaran atas ketentuan peraturan daerah pada prinsipnya tipiring , ancaman hukumannya maksimal 3 ( tiga ) bulan , sedangkan hukuman jabatan / sanksi administrasi dari Kepala Daerah sebenarnya juga atas dasar rekomendasi LHP BPK , sudah cukup berat bagi pengembangan karier PNS yang bersangkutan . 

Oleh karena koordinasi antara Kajari dan Kapolres dengan Kepala Daerah yang biasa dilakukan sudah tidak pernah terjadi, sementara itu pada diri penyidik merasa berwenang atas perintah Undang-undang, maka eforia penyidik dalam melaksanakan jabatannya juga sewenang-wenang , yang dipentingkannya adalah kinerja Institusinya dalam menangani perkara korupsi bisa mencapai target sesuai dengan jumlah yang dibiayai APBN.  Menurut penjelasan pejabat Jamwas Kejaksaan Agung , para Jaksa ( fungsional ) yang terlalu menempatkan dirinya atas perintah Undang-undang dan merasa memiliki kewenangan yang tidak bisa dipengaruhi siapapun, walaupun atasannya, mereka tetap nekat mengusut dugaan perkara yang menurut atasannya perkara itu sebenarnya tidak bisa dipidanakan.

Mengapa internal kejaksaan seperti ini ? 

Kayaknya , alasan atasan pejabat Jaksa tadi juga hanya untuk pembenar saja, agar para korban pemidanaan tidak bisa protes kemana-mana. Jaksa penyidik selalu mengatakan kepada korban yang diperkarakan bahwa tindakan mereka karena perintah atasan ( Kajari ) . 

Jaksa penyidik atau jaksa penuntut umum ( JPU ) pada kenyataannya tidak netral / independen sebagaimana penjelasan pejabat Jamwas di Kejaksaan Agung . Penggunaan pasal dakwaan dan tuntutan juga atas petunjuk Kajari dan Kajati . Struktur hirarkhie nya seperti itu. Maka transaksi jual beli tuntutan juga sampai di meja kejaksaan tinggi . Pengalaman dari korban penderita yang sekarang dalam proses hukum , ada yang mengalami penundaan pembacaan tuntutan 4 kali sidang sebab terdakwa tidak bergeming ketika diperintah JPU untuk melakukan pendekatan dengan Kajari tidak dilaksanakan. Ada yang nekat tidak mau transaksi jual beli tuntutan, maka tuntutan JPU sangat tinggi. 

Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa , paling mudah mengkriminalisasi perbuatan pejabat Pemkab/Pemkota yang melanggar Peraturan Daerah kemudian ditakuti dengan tuntutan hukuman tinggi agar JPU dan Kajari/Kajatinya memperoleh "pengorbanan" terdakwa. 

Jaksa penyidik / JPU tetap tidak merasa kecele walaupun setelah dalam persidangan tidak bisa membuktikan bahwa terdakwa benar-benar korupsi, kenapa ? . Karena siapapun yang sudah terlanjur disidangkan dihadapan Majeis Hakim Tipikor, pasti tidak ada yang dibebaskan . Benar atau salah ... tetap dihukum . Bahkan dalam persidangan dengan terdakwa sdr Sprpt dari Kabupaten Karanganyar, Majelis Hakimnya ( Erintuah Damanik ) : Sdr Terdakwa.....ini pengadilan tipikor, anda benar atau salah tetap saya tahan . Hakim ini sering otoriter, sering tidak memberi kesempatan yang sama kepada terdakwa dalam persidangan saat memeriksa saksi-saksi . Terdakwa Sprpt sebenarnya cukup menjadi saksi, tetapi tetap dipaksakan menjadi terdakwa dan dihukum . Sementara pelaku ( anggota DPRD Provinsi Jateng ) yang melakukan pemotongan dana bansos Pemprop Jateng tidak ditindak . Sekarang terpidana sudah selesai menjalani hukuman pada bulan Agustus 2014. Boleh dicek ke rumahnya . 

Sekarang ada strategi yang diupayakan terdakwa / terpidana tipikor, yaitu melaporkan Hakim yang melanggar kode etik kepada Komisi Yudisial ( KY ) . Apakah KY akan merespon positif atau membiarkan saja pengaduan itu, tidak penting . Namun sudah ada tanda-tanda KY serius, sebab laporan dari terdakwa M TH sudah diperintahkan untuk dilengkapi sesuai petunjuk KY dalam rangka menyelesaikan pelanggaran Hakim H Joh Butar-Butar , Yosep Pasaribu dan Agus Supriyadi dan Majelis Hakim PT Jateng yang memeriksa bandingnya JPU / Terdakwa. Masyarakat masih menunggu, sebab surat pen gaduan terdakwa M TH juga diunggah ke blogspot. 

KY juga sudah merespon pengaduan 13 orang terdakwa / terpidana yang sudah disidangkan di PN Tipikor Semarang dan PT Tipikor Semarang , dengan meminta kelengkapan laporan pengaduan kepada sdr Imam Sudjono dkk . Terdakwa / terpidana merasa ada perlindungan awal dari KY . Mereka menunggu tindak lanjut sidang KY atas hakim-hakim yang melanggar kode etik itu . 

Negara hukum.....bukan slogan.....tidak hanya tajam ke bawah......ayo KY akan membuktikan bagi bangsanya . 

KY jangan hanya galak kepada Hakim yang berani membebaskan terdakwa, padahal faktanya memang benar-benar harus dibebaskan . Kasihan Hakim-hakim yang memiliki integritas tinggi dan komitment dalam menjaga ahlaqnya . Mereka itu Hakim yang baik dihadapan Allah SWT . 

Jaksa / JPU yang nakal perlu dibina apa dipecat ya ?

Ini kembali diserahkan kepada Jaksa Agung dan Komisi Kejaksaan . Jaksa Agung RI juga sudah dikirimi surat terbuka dari 13 orang terdakwa / terpidana yang disidangkan di PN Tipikor Semarang ( atasnama Imam Sudjono dkk ) . Sampai sekarang tidak berani memberikan tanggapan. Baru KY dan MA yang memberikan tanggapan positif . 

Semarang, 6 Oktober 2014 ( 14.25 WIB ) .

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar