Minggu, 05 Oktober 2014

KASUS SUTT DI DESA PABELAN SUKOHARJO

MAKELAR KOMPENSASI PLN MERAJALELA 

Masyarakat awam hukum .
Apakah benar masyarakat masih awam hukum ?
Apakah sudah tidak ada lagi KADARKUM ?

Tahun 2007 tersiar berita bahwa pengembangan jaringan SUTT ( saluran udara tegangan tinggi ) Jateng DIY akan memberi kompensasi kepada pemilik tanah yang diatasnya terpasang SUTT. Berita itu disebarkan makelar ke desa Pabelan, Gumpang , Ngemplak, dan Gonilan Kecamatan Kartosuro Kab /sukoharjo. Ternyata berita itu kemudian diperkuat surat Camat Kartosuro tanggal 4 Agustus 2008, isinya perintah membantu pendataan tanah dan bangunan dibawah jalur SUTT 150 KVA Pedan - Jajar . Penerimaan kompensasi di 4 Desa itu sebetulnya seragam, DIPOTONG 40 % oleh makelar / biro jasa . Tetapi selain Desa Pabelan tidak ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku seperti yang diperlakukan kepada Kepala Desa Pabelan .

Tanggal 26 Aagustus 2009 ada pembagian kompensasi dari PLN kepada warga desa Pabelan di rumah sdr Semiyanto ( Kadus III ). Petugas PLN yang menyerahkan kompensasi 2 orang ( 1 laki2 dan 1 wanita ) . Kades Pabelan menerima kompensasi atas tanah desa, saat itu hari sudah malam, setelah menerima uang dari petugas PLN/Kantor POS saat akan keluar dari rumah sdr Semiyanto saya dipanggil 2 orang yang diketahui sebagai biro jasa PLN bernama sdr Supardji dan sdr Rudi , tetapi mereka mengaku bukan pegawai PLN. Uang dalam amplop tertutup yang diterima Kades Pabelan dari petugas PLN kemudian diminta mereka dan diganti amplop lainnya yang sudah mereka siapkan sebelumnya bertuliskan angka Rp. 77.174.820.  Kepala Desa Pabelan belum sempat meneliti berapa jumlah uang dalam amplop yang diterimanya dari petugas PLN. Demikian pula dia belum sempat mencocokkan apakah uang dalam amplop dari biro jasa tadi sesuai dengan angka 77.174.820 . 

Setelah itu amplop dari sdr Supardji dan sdr Rudi , amplop Rp. 77.174.820 diserahkan langsung saat itu juga kepada sdr Semiyanto. Pada tanggal 27 Agustus 2009 amplop berisi Rp. 77.174.820 kemudian diserahkan kepada bendahara desa dan dicatat sebagai pendapatan desa Pabelan . Kepala Desa Pabelan akhirnya mendapatkan informasi dari warga yang menerima kompensasi bahwa makelar / biro jasa PLN telah memotong dana kompensasi yang mereka terima sebesar 40% pada saat pembayaran di rumah sdr Semiyanto .Pelaku yang menyatakan dirinya sebagai biro jasa PLN mendapatkan uang dalam jumlah sangat besar ( milyaran rupiah ) , tetapi kejahatan yang mereka lakukan tidak disentuh tindakan hukum sama sekali .

Kasus pemotongan dana kompensasi dari PLN ini kemudian dijadikan bahan pengembangan isue yang mendiskreditkan kepala desa Pabelan, seolah-olah terlibat . Pengembangan isue dikemas sedemikian rupa , salah satu tujuannya antara lain untuk menggagalkan sdr Margono Hadi dalam pencalonan kepala desa . Fitnah semakin dikembangkan dengan penyebarluasan berita bahwa dalam pengelolaan APBDesa juga ada penyimpangan . Kepala Desa Pabelan tidak mengelak bahwa setiap ada pelayanan perijinan kepada masyarakat yang memanfaatkan ruang Desa Pabelan, sebab sudah sesuai Peraturan Desa Pabelan. Peraturan Desa Pabelan itu menugaskan Kepala Desa untuk memungut sumbangan kepada siapa saja yang membutuhkan pelayanan perijinan pemanfaatan ruang di desa Pabelan dalam kadar yang wajar . Setiap menerima sumbangan selalu dikeluarkan kwitansi bukti penerimaan . Seluruh sumbangan yang diterima menjadi pendapatan desa untuk pembangunan desa, antara lain banyak diarahkan untuk pembangunan pengaspalan jalan-jalan desa. Maka sumbangan dari pemohon ijin juga ada yang diwujudkan aspal. Tim kejaksaan negeri sukoharjo yang datang ( 9 orang ) ketika bermaksud mensita dokumen APBDesa , pembukuan keuangan desa dalam rangka pengumpulan bahan keterangan terkait dengan laporan sdr Muhammad Ansori, SH, MM juga melakukan pengecekan hasil pembangunan.

Munculnya gerakan pembunuhan karakter sdr Margono Hadi ditengarai setelah hubungan pribadi Kepala Desa dengan Camat Kartosuro kurang harmonis. Dengan rakyatnya sdr Margono Hadi sangat harmonis.  Camat Kartosuro ( Baktiyar Zunan ) sering memaksakan kehendak atas dasar kekuasaannya sebagai camat, menjadi perantara para pihak yang berkepentingan mendapatkan ijin pemanfaatan ruang di desa Pabelan. Surat-surat perijinan yang seharusnya dibuatkan langsung oleh Kepala Desa, diproses di kantor Camat Kartosuro. Kepala Desa Pabelan sering dipaksa menandatangani, tetapi selalu ditolak . Barangkali sikap Kepala Desa Pabelan inilah yang membuat kebencian Camat kepadanya memuncak. Kemudian ada laporan ke kejaksaan negeri Sukoharjo , yang meminta agar kajari mengusut "kasus" dana kompensasi SUTT dan APBDesa. Seluruh warga Desa Pabelan yang menerima kompensasi dari PLN dipanggil kejaksaan. Mereka diperiksa seputar keterlibatan sdr Margono Hadi dalam pemotongan dana kompensasi . Semua warga menyatakan tidak ada keterlibatan sdr Margono Hadi, sebab yang memotong langsung adalah sdr Widada, sdr Supardji dan sdr Rudi yang berperan sebagai biro jasa ilegal.
Panggilan dari kejaksaan juga ditujukan kepada pengusaha yang pernah menyumbang desa, disuruh membawa kwitansi penerimaan yang dibuat Kepala Desa Pabelan. Ternyata tidak ada sesenpun sdr Margono Hadi mengambil dana sumbangan yang diterima desa untuk pribadinya.
Penghancuran karakter Kepala Desa Pabelan semakin meningkat bersamaan dimuatnya berita di koran tentang sumbangan desa dari sdr Syarif Hidayatulloh yang menyumbang Rp. 1 juta . Sumbangan itu diberitakan sebagai pungutan ilegal, padahal semua pungutan desa ada peraturan desa-nya yang sudah diundangkan dalam berita daerah oleh Sekretaris Daerah Kab Sukoharjo.

Pada tanggal 5 September 2012 kejaksaan negeri Sukoharjo mulai memanggil sdr Sarji, Sdr Sumanarso, dan Ibu sri Wagiyati . Tanpa diduga, pada tanggal 9 September 2012 Camat Baktiyar Zunan mempunyai bukti lengkap , katanya , kasus SUTT , yang dia terima dari tokoh masyarakat desa Pabelan bernama H Muhammad Ansori, SH,MM . Camat itu memperingatkan Kades Pabelan , katanya : " karena masalah sudah di kejaksaan , ya harus menyiapkan kresek yang banyak ". 

Pelapor yang menamakan dirinya Muhammad Ansori ternyata figur yang direkayasa, alias dipalsukan oleh pelapor yang bersembunyi dibalik drama permainan hukum sebab setelah dicari, tidak ditemukan di desa Pabelan. Hal inilah yang membuat kondisi penduduk desa Pabelan memanas saat menjelang pilkades yang diikuti sdr Margono Hadi ( untuk jabatan kali kedua ). Bulan Maret 2013 Sdr Sarji, Sdr Semiyanto, sdr Mulud, sdr Suranto, sdr Sumanarso , sdr Turut Sugiyono dan Ibu Sri Wagiyati dipanggil sebagai SAKSI oleh Kajari Sukoharjo dengan TSK MARGONO HADI .

Mereka membuat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa dana PLN yang diterima Kepala Desa Pabelan hanya Rp. 77.174.820 dan Rp. 3.025.000 selebihnya dipotong oleh biro jasa dan biro jasa yang bersangkutan mengakui di persidangan , bahkan biro jasa juga membuat pernyataan pengakuan tersebut . Pernyataan ini substansinya memang benar, sebab Kades Pabelan pada tanggal 14 September 2009 tidak menerima kompensasi dari PLN lebih dari jumlah itu . Kepala Desa ( Margono Hadi ) ketika dipanggil penyidik juga belum tahu bahwa perkara korupsi yang dituduhkan kepadanya adalah terkait dana kompensasi yang diterima desa Pabelan kurang dari jumlah yang seharusnya . Ketika dipanggil tanggal 10 April 2013 dan tanggal 15 April 2013 , Kepala Desa Pabelan belum diberitahu penyidik kejaksaan bahwa ada sebagian dana kompensasi yang hilang sebesar Rp. 53.juta.

Sdr Margono Hadi baru mengerti mengenai kasusnya justru ketika sudah dalam tahapan sidang di PN Tipikor Semarang, ketika JPU menghadirkan saksi tambahan yang disetujui Majelis Hakim, yaitu makelar-makelar itu yang bernama sdr Supardji, sdr Rudi dan sdr Widada ( biro jasa ilegal ). Mereka mengakui yang memotong dana kompensasi sebesar Rp. 53 juta yang seharusnya hak desa Pabelan, tanpa menjelaskan kepada Kepala Desa Pabelan saat mereka mengganti amplop yang bertuliskan Rp. 77.174.820. Biro jasa itu ternyata memotong dana kompensasi di 12 Desa , hasilnya milyaran rupiah . Tetapi mengapa mereka bebas dan tidak ditindak oleh penyidik kejaksaan negeri Sukoharjo ?? Itulah pertanyaan sdr Margono Hadi yang tidak dijawab oleh JPU Kejari Sukoharjo .

BAGAIMANA PROSES HUKUM kemudian membabi buta tetap menghukum penjara sdr MARGONO HADI ?

JPU Kejari Sukoharjo perlu belajar ke Kejari Purwodadi / Polres Grobogan . Dalam kasus serupa di Kabupaten Grobogan, makelar yang mengambil keuntungan pribadinya lah yang dihukum, bukan rakyat dan Kepala Desa yang menderita kerugian karena kompensasi yang diterima dipotong makelar .  Itulah bukti bahwa sdr Margono Hadi sengaja dikriminalisasi pejabat kejaksaan negeri Sukoharjo yang diduga kuat bekerjasama dengan oknum pejabat Pemda Sukoharjo ( Camat Kartosuro ) yang menaruh kedengkian secara pribadi . 

Kajati Jateng dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan perlu mengevaluasi kasusnya sdr Margono Hadi demi pemulihan harkat dan martabatnya . Percayalah......bahwa integritas sdr Margono Hadi terjamin dan itu dapat dibuktikan dia tetap mendapatkan dukungan besar dalam pemilihan kepala desa ( periode keduanya ). Ucapan oknum pejabat pemda Sukoharjo ( Camat Kartosuro ) yang sinis dan mengatakan langsung kepada salah seorang staf bawahannya : " Margono hanya 3 bulan njabat Kades Pabelan setelah kemenangannya ", ternyata TERBUKTI . Maka dari itu surat laporan dengan identitas yang dipalsukan tentu buatan oknum tertentu yang menaruh kebencian kepada sdr Margono Hadi . 

Menjelang selesainya sdr Margono Hadi menjalani hukuman penjara , pejabat kejaksaan negeri sukoharjo yang dengan arogan memenjarakan sering berpesan agar dia tidak balas dendam . Mengapa ada indikasi kekhawatiran jajaran kejaksaan sukoharjo kepada sdr Margono Hadi ? Kalau memang mereka profesional dalam penegakan hukum, pastinya ya tegar saja tidak perlu khawatir. Sdr Margono Hadi akhirnya dihukum penjara 2 tahun , ditambah membayar uang pengganti Rp. 53 juta dan ditambah denda Rp. 50 juta .

Kiranya perjalanan waktu yang Allah SWT akan buktikan kepada para penegak hukum yang menyakiti orang mukmin laki/perempuan yang tidak bersalah kemudian dizalimi, AZAB yang akan dijatuhkan Allah sangat menghinakan mereka .

Semarang, 6 Oktober 2014




Tidak ada komentar:

Posting Komentar