Sabtu, 27 September 2014

TRAGEDI KEPALA DESA DALAM LINGKARAN KORUPSI


TATANAN HUKUM ADAT DESA HANCUR

Bangsa yang dimaksud adalah bangsa Indonesia , yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari 220 juta jiwa .
Bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 , dengan latar belakang terlalu lama hidup tertindas oleh penjajah Belanda dan Jepang . Dengan idiologi negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 , pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) memilih sistem presidensial dengan beberapa kementerian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1948 . Tahun 1949 – 1950 NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) dengan Pancasila dan Konstitusi RIS , namun kembali lagi menjadi NKRI tahun 1950 dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Sementara ( UUDS ) tahun 1950 .
Tahun 1952 suhu politik memuncak akibat dari ketidak stabilan pemerintah pusat yang diwarnai multipartai politik, sehingga pimpinan angkatan bersenjata republik Indonesia yang dipimpin Jendral Gatot Subroto memandang perlu mengingatkan Presiden RI untuk mengambil langkah – langkah strategis mengamankan amanat proklamasi kemerdekaan . Tahun 1952 adalah cikal bakal lahirnya dwi fungsi ABRI. Demokrasi terpimpin tahun 1957 ternyata juga tidak menuntun bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 . Ketika Badan Konstituante dalam sidang paripurna yang mengagendakan penetapan konstitusi tidak bisa mengambil keputusan, maka Presiden RI mendekritkan berlakunya kembali Undang Undang Dasar 1945 bagi bangsa dan negara Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959. Pemerintahan Dalam Negeri dan pemerintahan daerah masih menggunakan Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 . Pemerintahan desa di Pulau Jawa tetap mempedomani IGO sedangkan di luar Pulau Jawa berpedoman IGOB yaitu peraturan perundangan tinggalan penjajah Belanda .
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah mengatur (perilaku organisasi) pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah secara terpadu , artinya di suatu Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati dibantu oleh seorang sekretaris wilayah kabupaten dan seorang sekretaris daerah . Perangkat pemerintahan pusat sebagai kepanjangan lembaga kementerian semuanya ada di tingkat propinsi dan anggaran operasionalnya dari APBN . Sedangkan perangkat pemerintahan pusat yang ada di kabupaten masih terbatas, antara lain kantor departemen pendidikan dan kebudayaan, kantor departemen kesehatan, kantor departemen perdagangan dan anggarannya juga dari APBN . Kabupaten dan atau Kotamadya yang mampu menjalankan rumah tangganya oleh UU Nomor 1 Tahun 1957 diberi otonomi seluas-luasnya menjadi daerah otonom sehingga memiliki lembaga perwakilan ( DPRD ) , sedangkan yang tidak mampu cukup menjadi wilayah administratif tanpa DPRD .
Perjalanan sistem pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak stabil sebab para pejabat pemerintahan di tingkat pusat / propinsi / kabupaten atau kotamadya adalah kader multipartai politik, sehingga dapat diduga penggunaan anggaran negara / anggaran daerah tidak lagi lurus hanya untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemerintahan sebagaimana yang telah dituangkan dalam APBN / APBD. Tahun 1971 adalah masa dimana bangsa dan negara kita mensepakati reformasi struktur politik , sehingga hanya ada 9 partai politik dan 1 golongan karya. Seluruh aparatur pemerintah di lembaga pemerintahan pusat dan daerah harus menandatangani monoloyalitas menjadi anggota golongan karya. Keluarga besar ABRI dan Polri , termasuk aparat pemerintah desa juga menyatakan monoloyalitasnya menjadi anggota golongan karya . Pada pemilihan umum legislatif tahun 1971 , golongan karya meraih kemenangan. Roda pemerintahan daerah propinsi / kabupaten dan kotamadya secara administratif masih dua nahkoda , artinya masih dipimpin oleh sekretaris wilayah dan sekretaris daerah .  Kondisi ini kemudian dievaluasi sebab tidak efisien dan menyebabkan stagnasi pemerintah daerah dalam mengembangkan urusan rumah tangganya . Aparatur pemerintah sudah satu sikap menjadi anggota golongan karya diperkuat dengan dwi fungsi ABRI yang secara terang-terangan memiliki fraksi sendiri di lembaga perwakilan ( DPR dan DPRD ). Pemerintahan orde baru kemudian mengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah . Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan judul Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah artinya azas pemerintahan yang terdiri dekonsentrasi, desentralisasi dan medebewind ( tugas pembantuan ) diberlakukan bagi pemerintahan pusat sekaligus untuk pemerintahan daerah ( propinsi/kabupaten/kotamadya ) . Otonomi Daerah diberikan berdasarkan kemampuan yang nyata bagi masing-masing Daerah , namun tanggungjawab (keuangan) pemerintah pusat tetap besar sebab kebijakan APBN mensubsidi daerah dilakukan secara transparan berdasarkan bottom up planning . Setiap daerah ( propinsi dan kabupaten/kotamadya ) difasilitasi lembaga perencanaan pembangunan yaitu Badan Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Daerah ( Bappeda ) , sedangkan di pusat dikoordinasikan oleh Bappenas . Pemerintah diamanati oleh Undang Undang Dasar 1945 wajib menetapkan Garis-garis besar haluan negara ( GBHN )  yang harus dipatuhi juga oleh Daerah . Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dari kader-kader yang berkualitas dan telah teruji integritasnya dalam memimpin pemerintahan. Kepala Daerah sekaligus adalah Kepala Wilayah sehingga sebutannya menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , demikian juga untuk kabupaten/kotamadya adalah Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II . Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 administrasi pemerintahan daerah dipimpin oleh seorang sekretaris wilayah/daerah. Pelaksanaan anggaran untuk pembangunan ada yang dilaksanakan secara swakelola oleh dinas teknis-nya masing-masing . Pengawasan dilaksanakan oleh Inspektorat Propinsi atau Kabupaten/Kotamadya. Inspektorat Kabupaten / Kotamadya juga melakukan pemeriksaan pelaksanaan pemerintahan desa .
Seluruh peraturan daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang mengatur tentang pungutan daerah sistematika dan substansi hukumnya diseragamkan, sehingga standart pelayanan minimal kepada masyarakat dalam hal perijinan antar kabupaten / kotamadya tidak jauh berbeda.
Pemerintahan Desa diberi hak memungut dari masyarakat desanya sepanjang disepakati di setiap pelaksanaan pemilihan kepala desa. Kesepakatan itu  kemudian dimusyawarahkan oleh lembaga musyawarah desa ( LMD ) menjadi Keputusan Rembug Desa . Misalnya mengenai pologoro , gotong royong pembangunan, dan swadaya sebagai pendampingan adanya bantuan anggaran dari pemerintah kabupaten / kotamadya.
Pologoro yang lazim dipungut dari masyarakat desa antara lain ketika masyarakat melakukan perbuatan hukum peralihan hak tanah, menyelenggarakan keramaian saat punya hajat, mendirikan usaha, permohonan pengetokan kayu milik sendiri untuk bangunan rumah. Sedangkan swadaya bisa sumbangan uang , bahan dan tenaga dari masyarakat dari seluruh wilayah desa . Kalau untuk gotong royong biasanya berlaku untuk skala pembangunan terbatas di salah satu dusun, bukan memungut dari seluruh masyarakat desa.
Di saat sekarang ini, tidak sedikit Kepala Desa yang dikriminalisasi oleh penyidik dari Polres atau Kejaksaan Negeri dengan tudingan melakukan korupsi atas pungutan ologoro atas dasar laporan LSM / pihak yang berkepentingan menjatuhkan kepala desa . Aparat penegak hukum yang tidak paham sejarah pologoro atau sebutan nama lainnya, berasumsi sebagai pungutan liar sebab tidak ada dasar hukumnya, misalnya Undang-undang atau Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.   
Sejak proklamasi kemerdekaan RI Desa atau sebutan lain dipimpin oleh Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa . Perangkat Desa terdiri dari Carik, Kamituwa , Kebayan, Kapetengan, Bekel atau sebutan lain . Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat, ada yang memiliki kekayaan desa berupa tanah bengkok dan ada yang tidak . Tanah bengkok itu sebagian untuk upah Kepala Desa dan perangkat desa , sebagian lainnya untuk biaya operasional pemerintahan desa dengan cara disewakan secara tahunan . Oleh sebab itu pendapatan kepala desa dan perangkat desa rata-rata rendah , apalagi bagi desa yang tidak memiliki sama sekali tanah bengkok .
Keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pembina desa setelah proklamasi kemerdekaan tidak jelas, bahkan memberikan tugas tambahan memungut pajak bumi dan bangunan ( PBB ). Administrasi pemerintahan desa  yang dikelola baru terbatas mengenai kependudukan dan pertanahan . Aspek kependudukan meliputi pencatatan lahir, mati , datang dan pindah . Sedangkan aspek pertanahan hanya menginventarisir data induk tanah desa ( kutipan letter C dan peta tanah ) . Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 ( UUPA ) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun Camat secara eks officio menjabat PPAT Sementara di wilayah kecamatannya.  Peralihan hak atas tanah dilaksanakan masyarakat desa hampir berhenti di tingkat Desa , dicatat dalam kutipan buku C desa oleh Carik. Sebagai saksi peralihan hak maka kepala desa dan Carik menggunakan dasar Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1960 , dapat memungut uang honorarium saksi sebesar 1,5 % dari harga tanahnya , ditambah pologoro untuk desa , biasanya sebesar 5% - 7 % . Besaran pologoro itu sudah tertuang di dalam keputusan rembug desa. Keputusan rembug desa tentang Pologoro itu pasti sudah disahkan oleh Bupati / Walikota Kepala Daerah Tingkat II atas rekomendasi Camat dan Wedana.
Pemerintahan Desa kemudian diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah . Dengan UU Nomor 5 Tahun 1979 Kepala Desa dapat menetapkan keputusan desa bersama-sama Lembaga Musyawarah Desa ( LMD ) atau keputusan kepala desa sebagai pelaksanaan lebih lanjut keputusan desa. Keputusan Desa harus disahkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setelah diteliti dan direkomendasi oleh Camat dan Pembantu Bupati/Walikotamadya . Di bidang Pembangunan Desa , Kepala Desa dibantu Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa ( LKMD ) dan RW / RT .
Pungutan Desa berupa pologoro , gotong royong dan atau swadaya merupakan sumber pendapatan desa untuk memperkuat kekayaan desa dipergunakan untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga desa . Hasil pungutan pologoro, gotong royong dan swadaya masyarakat dimasukkan ke dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa ( APBDesa ) yang dituangkan dalam keputusan desa dan harus memperoleh pengesahan dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Jadi menjadi sangat jelas bahwa dasar memungut dan dasar menggunakan hasil pologoro, gotong royong dan swadaya masyarakat adalah Keputusan Desa yang dilegalkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II . Mengapa aparat penegak hukum berambisi mengkriminalisasi , dengan arogan menyatakan pologoro adalah pungutan liar dan ketika sebagian penggunaannya yang diuraikan dalam APBDesa adalah untuk honor kepala desa / perangkat desa , kemudian dibidik sebagai perbuatan korupsi ? . Masyarakat desa pada umumnya menjadi sedih tidak bisa protes kepada siapa ketika kepala desa-nya dihukum penjara badan 2 atau 3 tahun , ditambah mengembalikan kerugian negara senilai pologoro dan didenda Rp. 50.000.000 dengan tuduhan korupsi pologoro . Inilah potret kebiadaban hukum karena dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang buta sejarah pologoro tetapi tidak mau berlajar dengan baik tentang pologoro.
Kepala desa dan perangkat desa adalah ujung tombak yang banyak berkorban bagi masyarakat. Kemampuan mereka di bidang administrasi sangat rendah , sehingga tidak sedikit kepala desa dinilai melakukan kesalahan administrasi dalam mengelola keuangan desa, walaupun kinerja atas biaya Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa ( APB Desa ) dapat dibuktikan fisiknya.
Pada masa era orde baru, penyelesaian kesalahan kepala desa / perangkat desa tidak mengedepankan tindakan represif tetapi pembinaan. Kesalahan administrasi yang terkait dengan pengelolaan keuangan desa / Inpres Bandes juga ditindak secara administrasi yaitu skorsing jabatan untuk beberapa bulan dalam rangka menyelesaikan kesalahannya itu . Ketika sudah dipenuhi kewajibannya yaitu mengembalikan keuangan desa akibat kesalahan administrasi maka jabatannya dipulihkan kembali oleh Bupati / Walikoatamdya Kepala Daerah Tingkat II .
Pologoro menjadi magnit pengikat hubungan emosional antara warga desa dengan Kepala Desa dan perangkat desanya. Jadi tidak bisa serta merta kemudian ditafsiri sebagai gratifikasi berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sejak tahun 2005 semua keputusan desa dan keputusan kepala desa yang bersifat mengatur atau membebani keuangan desa dan masyarakat , termasuk pungutan pologoro harus disahkan Bupati / Walikota kemudian diundangkan dalam Berita Daerah oleh Sekretaris Daerah .
Di era eforia pemberantasan korupsi sejak tahun 2001 sampai tahun 2007 tindakan  terhadap kepada Kepala Desa sudah mengabaikan tindakan perdata tata usaha negara atau tuntutan perbendaharawanan dan ganti rugi ( TPGR ) . Tetapi langsung dengan tindakan hukum pidana / pidana khusus , baik akibat dilaporkan LSM atau justru dilimpahkan oleh Bupati / Walikota kepada Kapolres atau Kajari setempat . Kecenderungan sikap Kepala Daerah seperti ini lebih banyak disebabkan dendam pribadi akibat tidak memberikan dukungan disaat Pilkada . Kepala Desa yang loyal dan melakukan dukungan penuh terhadap calon yang terpilih dalam Polkada , juga tidak selalu aman, sebab pihak lawannya pasti akan mencari kesalahannya kemudian menjeratnya ke dalam kasus hukum . Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup korupsi yang sangat mungkin dilakukan oleh Kepala Desa adalah “penyimpangan” penggunaan keuangan desa selain pologoro yang berawal dari ketidak tertiban dalam mengelola administrasi keuangannya . Dalam segala kegiatan apapun yang dibiayai oleh pendapatan asli desa atau dana yang bersumber bantuan Pemerintah Kabupaten / Kota ( APBD ) posisi dan peran Kepala Desa adalah penanggung jawab kegiatan . Selaku penanggung jawab kegiatan pasti menetapkan keputusan kepala desa membentuk panitia pelaksana kegiatan , yang anggotanya terdiri dari Sekretaris desa dan para kepala urusan / kepala dusun dan anggota lembaga perencana dan pelaksana pembangunan desa . Dalam proses pelaksanaan pembangunan, adalah menjadi lazim jika ada tambah / kurang dari perencanaan semula. Namun karena tidak dididik untuk membuat as bill drawing, maka tambah/kurang fisik bangunan biasanya tidak dilengkapi dengan berita acara tertulis . Walaupun tidak ada korupsi sedikitpun , namun kalau tambah / kurang fisik bangunan itu tidak dilengkapi berita acara tertulis, tetap saja disalahkan oleh JPU atau Majelis Hakim tipikor ketika harus diuji melalui persidangan tipikor . Kepala Desa-nya tetap dihukum berat . Tuntutan akan menjadi ringan manakala antara JPU dan terdakwa melakukan transaksi dengan sejumlah rupiah . Maka bagi terdakwa yang yaqin tidak melakukan kesalahan dan tidak mencuri keuangan desa , biasanya all out dalam menghadapi persidangan. Namun terdakwa lalai bahwa dengan dasar delik formil dalam UU No 31 Th 1999 Jo No 20 Th 2001 yang menjadi senjata pamungkas peyidik/JPU dan Majelis Hakim tipikor, tindakan kepala desa yang menurut Majelis Hakim diwaktu yang akan datang “berpotensi”  dapat menimbulkan kerugian keuangan desa  , terdakwa tetap dihukum berat . Tidak akan ada yang dibebaskan.

Kasus yang sekarang ngetren , yaitu pebagian beras untuk penduduk miskin ( RASKIN). RASKIN juga sedang gencar disalahkan dan dincar Kapolres/Kajari untuk menumpuk prestasi kinerja guna meraih jabatan lebih tinggi . Fakta di lapangan memang membuktikan bahwa RASKIN ( atas desakan seluruh warga ) , kemudian dibagi rata kepada seluruh penduduk, Kepala Desa kemudian mengikuti kehendak warganya . Walaupun BULOG sudah dibayar lunas ( artinya : tidak ada kerugian negara ) Kepala Desa-nya tetap dihukum berat .
Penyidik selalu menutup mata dan telinga jika ada masyarakat yang membela kepala desanya yang dituduh korupsi RASKIN yang dibagi rata ( RASTA ), dengan berdalih harus menindak lanjuti laporan masyarakat / LSM . Apakah LSM di desa-desa itu murni terdiri dari komunitas yang berniat memperbaiki sistem dalam rangka mencegah terjadinya korupsi ??. Mereka juga bisa menjadi agen yang sengaja diciptakan oleh kepentingan asing dan atau oleh kelompok tertentu yang menjadikan komoditas dengan oknum penegak hukum itu sendiri yang tujuannya meraup keuntungan materiil dan balas dendam .
Apakah tujuan Negara dan Pemerintah ( melalui aparat penegak hukum yang zalim ) seenaknya sendiri memformulasi kerangka berpikir kriminalisasi bagi para Kepala Desa ? . Kalau mau fair, RASKIN menjadi RASTA sebenarnya berlangsung di seluruh Indonesia. Pertanyaannya : kalau memang penindakan terhadap kepala desa dalam mengelola RASKIN dipaksa sebagai tindakan korupsi, sebaiknya Jaksa Agung membuat Instruksi kepada seluruh Kajari untuk merangket seluruh Kepala Desa untuk dijebloskan ke penjara . Sekalian biar jelas terbaca bagi masyarakat awam sekalipun , bahwa diujung berakhirnya Presiden SBY , aparat penegak hukum melayani agen asing atau kelompok bangsa untuk membalaskan dendam kesumatnya akibat tragedi yang dialaminya di jaman orde lama. Akan semakin mudah balas dendam itu dilayani aparat penegak hukum manakala pengelolaan bantuan desa dari APBN sebesar Rp. 1.000.000.000 yang akan diluncurkan tahun 2015 ketika tidak dibarengi bimbingan administrasi dan teknis dari Pemerintah Kabupaten / Kota . Kemampuan administrasi para Kepala Desa masih terbatas seiring dengan pergantian kepala desa . Pendidikan dan pelatihan para kepala desa yang baru hasil pilkades tidak dilakukan secara berkelanjutan . Kondisi ini yang memprihatinkan . Kalangan terpidana korupsi mencurigai bahwa bantuan desa Rp. 1.000.000.000 adalah sebuah drama balas dendam tragedi politik jaman orde lama, yang diformulasi generasi keturunannya yang sudah menanamkan idiologi dengan simbul kerakyatan diseluruh infrastruktur dan suprastruktur politik . 

Kalau dugaan itu benar-benar terwujud, maka Pemerintah pusat harus menyiapkan LP dalam jumlah besar, atau negara ini dipilah, ada penetapan sebuah atau beberapa pulau sebagai lokasi memenjarakan kepala desa atau siapapun yang terlibat korupsi yang berasal dari kriminalisasi . Bangsa asing yang sengaja menghancurkan bangsa Indonesia, atau kelompok balas dendam yang sekarang sudah menyebar ke dalam berbagai profesi di seluruh institusi / struktur partai politik , akan semakin menjadi bagian terbesar opportunis nggragas yang dominan di segala bidang di negara Republik Indonesia. Bangsa Indonesia akan cepat hancur lebur jika tokoh-tokoh yang masih berpikiran / berpendirian lurus tidak berani bertindak lebih cepat menyelamatkan bangsa.   Pembaca yang budiman....tulisan berikutnya adalah kajian korupsi di lembaga Pemerintahan Daerah dan Pusat . Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com   
Semarang, 27 September 2014

2 komentar: