Senin, 22 September 2014

OVERLAPPING KEWENANGAN - CIRI NEGERI JAHILIYAH



PEMERINTAHAN RI HANCUR


Lahirnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah , dimaksudkan sebagai pedoman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengelola/menggunakan/memanfaatkan barang / asset dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Pemerintah / Pemerintah Daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada public yang mencakup di segala aspek kehidupan masyarakat .
Atas dasar Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah , yang harus ditindak lanjuti oleh Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan Peraturan Daerah dan dijabarkan pelaksanaannya ke dalam Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota .
Dalam menindak lanjuti ketentuan dalam sistematika dan tata urutan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik Daerah tersebut ada yang cepat dan ada yang lambat. Hal itu bisa terjadi disebabkan banyak factor , antara lain pembentukan satuan kerja perangkat daerah ( SKPD ) sering berubah-ubah dan hal itu menjadi penyebab ketidak siapan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota menyusun Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Walaupun belum disusun/ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, tidak berarti belum ada peraturan daerah yang dijadikan payung hukum bagi penggunaan / pemanfaatan barang milik daerah yang diserahkan Kepala Daerah kepada para Kepala SKPD untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi SKPD yang bersangkutan .
Sebelum diterbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 , Pemerintah Daerah bisa melakukan “ kerjasama pemanfaatan “ barang milik daerah dengan pihak lain/pihak swasta dengan dasar peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah . Kerjasama pemanfaatan barang milik daerah dengan pihak swasta sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten / Kota misalnya “renovasi bangunan pasar daerah “ yang bertujuan meningkatkan daya tampung pedagang, melengkapi fasilitas umum yang lebih representative, saling memberikan keuntungan kedua pihak dan memajukan perekonomian masyarakat / daerah .
Pengelolaan pasar daerah itu sendiri pastinya sudah diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota setempat , yang substansinya mengatur beberapa hal misalnya penetapan / pungutan retribusi pasar , status pedagang yang menggunakan bangunan toko/kios/los, sumbangan pedagang kepada Pemerintah Daerah dalam rangka pengembangan fasilitas perpasaran, kewajiban dan larangan. Peraturan Daerah yang mengatur pasar daerah dan ditetapkan sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 , tentu sebagai wujud pelaksanaan azas desentralisasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah , yang berbeda dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah . Pasar Daerah adalah urusan desentralisasi, dimana tugas pokok dan fungsi-nya melekat sepenuhnya kepada Kepala SKPD ( Dinas Pendapatan Daerah ) yang mendapatkan pendelegasian kewenangan dari Kepala Daerah ( Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II ) untuk mengelola pasar daerah, menggunakan dan mengembangkan fasilitas perpasaran di pasar daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah dari retribusi pasar .
Kebijakan pengembangan pasar daerah sebenarnya menjadi kewajiban sepenuhnya Pemerintah Kabupaten / Kotamadya Daerah Tingkat II setempat dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah . Oleh sebab pendapatan asli daerah ketika itu relative masih terbatas / sangat kecil , maka peraturan daerah yang mengatur retribusi pasar ada yang mengatur sekaligus mengenai tatacara / prosedur masyarakat atau pedagang yang bermaksud memberikan sumbangan kepada Pemerintah Kabupaten / Kotamadya Daerah Tingkat II , misalnya dengan membangun toko/kios/los secara swadaya / mandiri dengan dananya sendiri . Memberikan sumbangan bangunan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 juga tidak dilarang . Sumbangan bangunan berupa toko/kios/los di tanah pasar daerah yang diatur dalam peraturan daerah tersebut secara tegas menjadi milik daerah , dan pedagang yang menyumbang diberikan kesempatan sebagai “pemakai” dengan hak sewa untuk usaha dagang . Jadi , perbuatan kedua belah pihak itu sah , sehingga tidak layak dikriminalisasi oleh penegak hukum manakala ada pelapor yang mengkritisi sumbangan itu dengan dalih belum ada ijin dari Bupati/Walikota , yang menurut aparat penegak hukum sebagai penanggung jawab pengelolaan asset daerah. Celakanya, perbuatan pedagang memberikan sumbangan yang sah itu dikriminalisasi dengan penafsiran aparat penegak hukum secara sepihak sebagai perbuatan kepala SKPD dalam  kerjasama pemanfaatan asset yang belum ada ijin dari Bupati/Walikota, sehingga dijerat dengan Pasal 3 UU No 31 Th 1999 Jo No 20 Tahun 2001 sebagai perbuatan yang telah melampaui kewenangan. Kemudian juga dijerat dengan pasal gratifikasi , seolah – olah Kepala SKPD memaksa pedagang untuk menyumbang , atau pasal penerimaan hadiah dengan janji yaitu adanya keputusan Kepala SKPD yang memberikan ijin “pemakaian” bangunan yang sudah disumbangkan / menjadi asset daerah itu kepada pedagang yang bersangkutan . Padahal diterbitkannya keputusan Kepala SKPD tentang pemberian ijin pemakaian bangunan toko/kios/los swadaya itu dimaksudkan sekaligus berfungsi sebagai keputusan penetapan retribusi daerah ( SKRD ) yang diharuskan oleh peraturan daerah tentang retribusi pasar tadi. Logika sederhanya menjadi bertanya tanya ketika Bupati / Walikota atau Kepala SKPD  yang menggunakan asset daerah untuk tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya, kemudian disalahkan dengan tuduhan korupsi atau menerima gratifikasi atau menerima hadiah disebabkan telah menerbitkan keputusan penetapan retribusi daerah bagi pedagang yang membangun toko/kios/los swadaya . Faktanya, toko/kios/los yang dibangun secara swadaya oleh pedagang tadi, IMB-nya sejak awal sudah didaftarkan atasnama Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan .
Tindakan Negara dalam penegakan hukum yang diwakili Kepolisian / kejaksaan dan institusi pengadilan korupsi dengan model kriminalisasi terhadap tindakan Pejabat Pemerintah Kabupaten / Kota yang sudah benar dengan mempedomani Peraturan Daerah yang mengatur pengelolaan barang daerah ( dengan contoh tersebut di atas ), tidak pernah mendapatkan koreksi dari siapapun sebab semua pihak baru eforia memuaskan nafsunya dalam pemahaman memenuhi rasa keadilan masyarakat, walaupun harus membunuh seseorang Pejabat Pemkab/Kota dengan keluarganya tanpa kesalahan . Inilah potret pemberantasan korupsi di Daerah , diluar yang ditangani KPK dan pengadilan korupsi di Jakarta .
Jika sekarang ada ide yang menghendaki perlunya pembubaran pengadilan korupsi di daerah karena sudah melenceng dari tujuan awalnya dibentuk, dan ditambah adanya ratapan korban kriminalisasi korupsi yang menyuarakan tuntutannya kepada Presiden RI , Pimpinan DPR RI , Mahkamah Agung RI , Mahkamah Konstitusi RI , Jaksa Agung RI , Kapolri dll , menjadi lebih baik jika segera diwujudkan . Namun tentu harus dipertimbangkan mengenai nasib para korban kriminalisasi yang sudah terlanjur dianiaya aparat penegak hukum yang zalim dan munafiq dan dijebloskan ke dalam penjara di Lembaga Pemsyarakatan klas I Kedungpane Semarang, untuk diberikan grasi massal oleh Bapak Presiden RI dan diberikan uang ganti kerugian materiil dan immateriil dari keuangan negara .   Sebagaimana yang sudah diuraikan di dalam surat terbuka kami kepada Bapak Presiden atau Pimpinan DPR RI dan lain-lain , sebagian dari jumlah nara pidana korban kriminalisasi yang dipenjarakan di Lapas klas I Semarang sudah kami sebutkan yaitu: Drs H Moh Tohirin , Prof Eddy Yuwono, PhD , Budi Rustomo,PhD, Imam Sudjono, Safrudin , Suherlan, Sugiyanta , Sutomo , Haryanto, Margono Hadi. Kami semua siap untuk diperiksa ulang oleh pejabat yang berwenang apabila hal itu dilakukan dalam rangka tindak lanjut surat terbuka kami tersebut yang juga sudah kami unggah ke : tipikorngamuk.blogspot.com .  Negara dan Pemerintah Pusat ( Bapak Presiden RI ) wajib mempertanggungjawabkan atas perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum di daerah . Negara wajib memulihkan nama baik, harkat dan martabat terpidana kriminalisasi korupsi , dan menyediakan anggaran Negara guna membayar kerugian materiil dan immateriil terpidana kriminalisasi itu . Negara ke depan juga wajib menjamin agar aparat penegak hukum yang tersebar di daerah tidak mengulang perbuatan kriminalisasi , dan tidak melakukan transaksi perkara dengan sasaran yang ditargetkan. Negara kedepan juga harus menjamin, tidak ada lagi pengadilan yang Majelis Hakim-nya diberi wewenang “ mengadili sendiri “ tanpa dihadirkannya terdakwa dan atau para saksi, agar bisa menciptakan peradilan terbuka untuk umum dengan fair dan objektif. Contoh terjadinya putusan Majelis Hakim PT Tipikor Semarang terhadap kasus dugaan korupsi dengan terdakwa Drs H Moh Tohirin bin Marmo Moh Amin. Dalam putusan Nomor 20 / Pid.Sus/2014 / PT Tipikor Smg antara “ MENIMBANG “ dan “ AMAR PUTUSAN “ saling bertentangan dan cacat hukum . Menimbangnya menyatakan “ terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan korupsi “  sehingga MEMORI banding JPU dari Kejaksaan Negeri Purwodadi dikesampingkan. Dengan pertimbangan seperti ini, berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP , mestinya terdakwa harus dibebaskan .  Namun anehnya , Majelis Hakim dengan berpedoman MEMORI BANDING JPU dari Kejaksaan Negeri SRAGEN , justru mengadili dan memperberat hukuman yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri Tipikor Semarang, dari semula 2 tahun dengan denda Rp. 50.000.000 ditambah dan diubah menjadi 3 tahun dan didenda Rp. 50.000.000. Sewaktu persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang dengan Majelis Hakim yang terdiri JOHN BUTAR BUTAR, ROBERT PASARIBU dan AGUS SUPRIYADI , jalannya persidangan bagus, fair dan objektif, dimana semua dakwaan JPU tidak dapat dibuktikan seluruhnya melalui sejumlah saksi-saksi dan tidak pernah ada alat bukti yang ditunjukkan JPU dalam persidangan , namun akibat Majelis hakimnya dan panitera pengganti suka tidur pulas ketika sidang berlangsung, maka putusannya cukup dengan meng-copy paste flashdisk dari JPU yang berisi surat dakwaan dan surat tuntutan . Fakta yang diungkapkan saksi-saksi dalam persidangan yang menguntungkan terdakwa DIABAIKAN Majelis Hakim . Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Semarang hanya sekedar melayani maksud JPU yang mengkriminalisasi terdakwa , ketakutan bukan main jika membebaskan terdakwa sebab pasti ditindak oleh Komisi Yudisial ( KY ) . Namun mereka tidak menyadari bahwa substansi putusannya yang mengabaikan fakta persidangan, tentu juga melanggar kode etik Hakim sebagai penegak keadilan atas nama Tuhan Yang Mahaesa. Mereka layak untuk dilaporkan kepada KY kemudian diperiksa yang objektif dan jika benar terbukti melanggar kode etik tentu pantas dipecat tidak dengan hormat dari jabatan hakim/PNS-nya . Negara ini butuh Hakim yang nurani ke-Tuhanan-nya kuat, tidak gampang tergiur atau bahkan mentransaksikan putusan .  
Kesimpulannya , saat ini Pemerintah Pusat dan Negara dengan diwakili aparat penegak hukum yang zalim , sudah menciptakan system penghancuran pemerintahannya sendiri dengan membiarkan penyimpangan yang dilakukan aparat penegak hukum yang moralitasnya rendah dan mengabaikan ahlaq dan menjadi antek misionaris asing yang secara liniair pokok kegiatannya adalah menghancurkan bangsa  dan aqidah Islam yang dikemas melalui demokratisasi, kesetaraan jender, penegakan hak azasi manusia , reformasi hukum / pemberantasan korupsi , dimana semua itu dikawal secara sistemik oleh lembaga swadaya masyarakat seperti ICW atau MAKI atau KP2KKN dan lain-lain .
Dengan Pancasila, kita mengenal Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah permusyawaratan / perwakilan , kemudian di dalam UUD 1945 juga ditegaskan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat . Namun dengan desakan demokratisasi dari asing, kita melakukan pemilihan langsung, yang sudah tidak lazim di Negara-negara selain Indonesia.
Allah SWT menegaskan bahwa wanita menjadi utama jika ibadahnya dilakukan di rumah sekaligus menjadi pembimbing bagi anak-anaknya. Namun bangsa kita menjadi lebih berani melawan ketetapan Allah SWT dengan alasan kesetaraan jender . Maraknya tindakan asusila, kenakalan anak dan remaja seperti tawuran , meningkatnya pengkonsumsi nafza / heroin / narkoba / sabu sabu harus dievaluasi penyebabnya, menurut kami tidak lain karena kalangan wanita sudah hamper 70% melakukan aktivitas di luar rumah antara 7 jam sampai 12 jam .
Aparat keamanan masyarakat atau aparat keamanan Negara lebih takut dikatakan melanggar HAM oleh LSM ketika suatu massa harus melakukan tindakan tegas terhadap perusuh / pemberontak Negara . Kemudian membiarkannya dan korban berjatuhan cukup besar serta menimbulkan kerugian yang sangat besar .
Pemberantasan korupsi terhadap perkara yang sebenarnya bukan pidana korupsi, dilakukan dengan sengaja melakukan kriminalisasi , sasarannya dapat diidentifikasi , pada umumnya kalangan intelektual / kalangan aparat pemerintahan yang tidak disukai rekan sekerjanya, nuansa titipan pihak yang punya kepentingan yang berlatar belakang politik atau usaha / ekonomi dan tokoh – tokoh Islam . Silahkan diteliti , sebab tulisan ini juga tidak bermaksud membuat persoalan sara.
Sampai kapan bangsa kita akan terjebak oleh visi misionaris asing yang sudah terlanjur mengagendakan penghancuran Indonesia melalui demokratisasi , kesetaraan jender , Isue HAM , reformasi hukum ????. Menjelang sidang paripurna DPR RI yang mengagendakan pengesahan UU Pilkada , kita sudah terjebak perdebatan yang tidak mengingat kembali PANCASILA sebagai dasar idiologi Negara . Pesan kekhawatiran Kepala Negara agar kita tidak melakukan perang baratayuda sesama bangsa membuktikan ketidak arifan figur panutan.
Dengan memohon ridla Allah SWT kita perlu menyatukan sikap yaitu tidak perlu menuruti visi misionaris asing yang arahnya sudah sangat jelas, dalam beberapa perjalanan kehidupan bangsa kita sejak reformasi digulirkan tahun 1998, kebobrokan sudah terjadi disemua aspek kehidupan masyarakat . Masyarakat bangga dengan UUD 1945 dan PANCASILA , yaitu UUD 1945 yang tidak diamandemen oleh visi misionaris asing . Semoga Allah SWT menganugerahkan hidayahNya kepada Kepala Negara dan MPR untuk kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen .

Semarang , 23 September 2014 .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar