PEMERINTAHAN RI HANCUR
Lahirnya
Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara / Daerah , dimaksudkan sebagai pedoman Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dalam mengelola/menggunakan/memanfaatkan barang / asset dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Pemerintah / Pemerintah Daerah dalam
rangka memberikan pelayanan kepada public yang mencakup di segala aspek
kehidupan masyarakat .
Atas
dasar Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 kemudian diterbitkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang
Milik Daerah , yang harus ditindak lanjuti oleh Gubernur dan Bupati/Walikota
menetapkan Peraturan Daerah dan dijabarkan pelaksanaannya ke dalam Peraturan
Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota .
Dalam
menindak lanjuti ketentuan dalam sistematika dan tata urutan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik Daerah tersebut ada yang
cepat dan ada yang lambat. Hal itu bisa terjadi disebabkan banyak factor ,
antara lain pembentukan satuan kerja perangkat daerah ( SKPD ) sering
berubah-ubah dan hal itu menjadi penyebab ketidak siapan Pemerintah Daerah
Kabupaten / Kota menyusun Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah.
Walaupun
belum disusun/ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah, tidak berarti belum ada peraturan daerah yang dijadikan payung hukum
bagi penggunaan / pemanfaatan barang milik daerah yang diserahkan Kepala Daerah
kepada para Kepala SKPD untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi SKPD yang
bersangkutan .
Sebelum
diterbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 , Pemerintah Daerah bisa melakukan “ kerjasama
pemanfaatan “ barang milik daerah dengan pihak lain/pihak swasta dengan dasar
peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah . Kerjasama pemanfaatan barang
milik daerah dengan pihak swasta sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten / Kota misalnya “renovasi bangunan pasar daerah “ yang bertujuan
meningkatkan daya tampung pedagang, melengkapi fasilitas umum yang lebih
representative, saling memberikan keuntungan kedua pihak dan memajukan
perekonomian masyarakat / daerah .
Pengelolaan
pasar daerah itu sendiri pastinya sudah diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten / Kota setempat , yang substansinya mengatur beberapa hal misalnya
penetapan / pungutan retribusi pasar , status pedagang yang menggunakan
bangunan toko/kios/los, sumbangan pedagang kepada Pemerintah Daerah dalam
rangka pengembangan fasilitas perpasaran, kewajiban dan larangan. Peraturan
Daerah yang mengatur pasar daerah dan ditetapkan sebelum Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006 , tentu sebagai wujud pelaksanaan azas desentralisasi yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah , yang berbeda dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah . Pasar Daerah adalah urusan desentralisasi, dimana tugas
pokok dan fungsi-nya melekat sepenuhnya kepada Kepala SKPD ( Dinas Pendapatan
Daerah ) yang mendapatkan pendelegasian kewenangan dari Kepala Daerah ( Bupati
/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II ) untuk mengelola pasar daerah,
menggunakan dan mengembangkan fasilitas perpasaran di pasar daerah dalam rangka
meningkatkan pendapatan asli daerah dari retribusi pasar .
Kebijakan
pengembangan pasar daerah sebenarnya menjadi kewajiban sepenuhnya Pemerintah
Kabupaten / Kotamadya Daerah Tingkat II setempat dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan daerah . Oleh sebab pendapatan asli daerah ketika itu
relative masih terbatas / sangat kecil , maka peraturan daerah yang mengatur
retribusi pasar ada yang mengatur sekaligus mengenai tatacara / prosedur
masyarakat atau pedagang yang bermaksud memberikan sumbangan kepada Pemerintah
Kabupaten / Kotamadya Daerah Tingkat II , misalnya dengan membangun
toko/kios/los secara swadaya / mandiri dengan dananya sendiri . Memberikan
sumbangan bangunan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 juga tidak dilarang . Sumbangan bangunan berupa
toko/kios/los di tanah pasar daerah yang diatur dalam peraturan daerah tersebut
secara tegas menjadi milik daerah , dan pedagang yang menyumbang diberikan
kesempatan sebagai “pemakai” dengan hak sewa untuk usaha dagang . Jadi ,
perbuatan kedua belah pihak itu sah , sehingga tidak layak dikriminalisasi oleh
penegak hukum manakala ada pelapor yang mengkritisi sumbangan itu dengan dalih
belum ada ijin dari Bupati/Walikota , yang menurut aparat penegak hukum sebagai
penanggung jawab pengelolaan asset daerah. Celakanya, perbuatan pedagang
memberikan sumbangan yang sah itu dikriminalisasi dengan penafsiran aparat
penegak hukum secara sepihak sebagai perbuatan kepala SKPD dalam kerjasama
pemanfaatan asset yang belum ada ijin dari Bupati/Walikota, sehingga
dijerat dengan Pasal 3 UU No 31 Th 1999 Jo No 20 Tahun 2001 sebagai perbuatan
yang telah melampaui kewenangan. Kemudian juga dijerat dengan pasal gratifikasi
, seolah – olah Kepala SKPD memaksa pedagang untuk menyumbang , atau pasal
penerimaan hadiah dengan janji yaitu adanya keputusan Kepala SKPD yang
memberikan ijin “pemakaian” bangunan yang sudah disumbangkan / menjadi asset
daerah itu kepada pedagang yang bersangkutan . Padahal diterbitkannya keputusan
Kepala SKPD tentang pemberian ijin pemakaian bangunan toko/kios/los swadaya itu
dimaksudkan sekaligus berfungsi sebagai keputusan penetapan retribusi daerah (
SKRD ) yang diharuskan oleh peraturan daerah tentang retribusi pasar tadi.
Logika sederhanya menjadi bertanya tanya ketika Bupati / Walikota atau Kepala
SKPD yang menggunakan asset daerah untuk
tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya, kemudian disalahkan dengan
tuduhan korupsi atau menerima gratifikasi atau menerima hadiah disebabkan telah
menerbitkan keputusan penetapan retribusi daerah bagi pedagang yang membangun
toko/kios/los swadaya . Faktanya, toko/kios/los yang dibangun secara swadaya
oleh pedagang tadi, IMB-nya sejak awal sudah didaftarkan atasnama Pemerintah Kabupaten/Kota
yang bersangkutan .
Tindakan
Negara dalam penegakan hukum yang diwakili Kepolisian / kejaksaan dan institusi
pengadilan korupsi dengan model kriminalisasi terhadap tindakan Pejabat
Pemerintah Kabupaten / Kota yang sudah benar dengan mempedomani Peraturan
Daerah yang mengatur pengelolaan barang daerah ( dengan contoh tersebut di atas
), tidak pernah mendapatkan koreksi dari siapapun sebab semua pihak baru eforia
memuaskan nafsunya dalam pemahaman memenuhi rasa keadilan masyarakat, walaupun
harus membunuh seseorang Pejabat Pemkab/Kota dengan keluarganya tanpa kesalahan
. Inilah potret pemberantasan korupsi di Daerah , diluar yang ditangani KPK dan
pengadilan korupsi di Jakarta .
Jika
sekarang ada ide yang menghendaki perlunya pembubaran pengadilan korupsi di
daerah karena sudah melenceng dari tujuan awalnya dibentuk, dan ditambah adanya
ratapan korban kriminalisasi korupsi yang menyuarakan tuntutannya kepada
Presiden RI , Pimpinan DPR RI , Mahkamah Agung RI , Mahkamah Konstitusi RI ,
Jaksa Agung RI , Kapolri dll , menjadi lebih baik jika segera diwujudkan .
Namun tentu harus dipertimbangkan mengenai nasib para korban kriminalisasi yang
sudah terlanjur dianiaya aparat penegak hukum yang zalim dan munafiq dan
dijebloskan ke dalam penjara di Lembaga Pemsyarakatan klas I Kedungpane
Semarang, untuk diberikan grasi massal oleh Bapak Presiden RI dan diberikan
uang ganti kerugian materiil dan immateriil dari keuangan negara . Sebagaimana
yang sudah diuraikan di dalam surat terbuka kami kepada Bapak Presiden atau
Pimpinan DPR RI dan lain-lain , sebagian dari jumlah nara pidana korban kriminalisasi
yang dipenjarakan di Lapas klas I Semarang sudah kami sebutkan yaitu: Drs H Moh
Tohirin , Prof Eddy Yuwono, PhD , Budi Rustomo,PhD, Imam Sudjono, Safrudin ,
Suherlan, Sugiyanta , Sutomo , Haryanto, Margono Hadi. Kami semua siap untuk
diperiksa ulang oleh pejabat yang berwenang apabila hal itu dilakukan dalam
rangka tindak lanjut surat terbuka kami tersebut yang juga sudah kami unggah ke
: tipikorngamuk.blogspot.com . Negara dan Pemerintah Pusat ( Bapak Presiden
RI ) wajib mempertanggungjawabkan atas perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan
aparat penegak hukum di daerah . Negara wajib memulihkan nama baik, harkat dan
martabat terpidana kriminalisasi korupsi , dan menyediakan anggaran Negara guna
membayar kerugian materiil dan immateriil terpidana kriminalisasi itu . Negara
ke depan juga wajib menjamin agar aparat penegak hukum yang tersebar di daerah
tidak mengulang perbuatan kriminalisasi , dan tidak melakukan transaksi perkara
dengan sasaran yang ditargetkan. Negara kedepan juga harus menjamin, tidak ada
lagi pengadilan yang Majelis Hakim-nya diberi wewenang “ mengadili sendiri “
tanpa dihadirkannya terdakwa dan atau para saksi, agar bisa menciptakan
peradilan terbuka untuk umum dengan fair dan objektif. Contoh terjadinya
putusan Majelis Hakim PT Tipikor Semarang terhadap kasus dugaan korupsi dengan
terdakwa Drs H Moh Tohirin bin Marmo Moh Amin. Dalam putusan Nomor 20 /
Pid.Sus/2014 / PT Tipikor Smg antara “ MENIMBANG “ dan “ AMAR PUTUSAN “ saling
bertentangan dan cacat hukum . Menimbangnya menyatakan “ terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan korupsi “ sehingga MEMORI banding JPU dari Kejaksaan
Negeri Purwodadi dikesampingkan. Dengan pertimbangan seperti ini, berdasarkan
Pasal 191 ayat (1) KUHAP , mestinya terdakwa harus dibebaskan . Namun anehnya , Majelis Hakim dengan
berpedoman MEMORI BANDING JPU dari Kejaksaan Negeri SRAGEN , justru mengadili
dan memperberat hukuman yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri Tipikor
Semarang, dari semula 2 tahun dengan denda Rp. 50.000.000 ditambah dan diubah
menjadi 3 tahun dan didenda Rp. 50.000.000. Sewaktu persidangan di Pengadilan
Negeri Tipikor Semarang dengan Majelis Hakim yang terdiri JOHN BUTAR BUTAR,
ROBERT PASARIBU dan AGUS SUPRIYADI , jalannya persidangan bagus, fair dan
objektif, dimana semua dakwaan JPU tidak dapat dibuktikan seluruhnya melalui
sejumlah saksi-saksi dan tidak pernah ada alat bukti yang ditunjukkan JPU dalam
persidangan , namun akibat Majelis hakimnya dan panitera pengganti suka tidur
pulas ketika sidang berlangsung, maka putusannya cukup dengan meng-copy paste
flashdisk dari JPU yang berisi surat dakwaan dan surat tuntutan . Fakta yang diungkapkan
saksi-saksi dalam persidangan yang menguntungkan terdakwa DIABAIKAN Majelis
Hakim . Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Semarang hanya sekedar
melayani maksud JPU yang mengkriminalisasi terdakwa , ketakutan bukan main jika
membebaskan terdakwa sebab pasti ditindak oleh Komisi Yudisial ( KY ) . Namun
mereka tidak menyadari bahwa substansi putusannya yang mengabaikan fakta
persidangan, tentu juga melanggar kode etik Hakim sebagai penegak keadilan atas
nama Tuhan Yang Mahaesa. Mereka layak untuk dilaporkan kepada KY kemudian
diperiksa yang objektif dan jika benar terbukti melanggar kode etik tentu
pantas dipecat tidak dengan hormat dari jabatan hakim/PNS-nya . Negara ini
butuh Hakim yang nurani ke-Tuhanan-nya kuat, tidak gampang tergiur atau bahkan
mentransaksikan putusan .
Kesimpulannya
, saat ini Pemerintah Pusat dan Negara dengan diwakili aparat penegak hukum
yang zalim , sudah menciptakan system penghancuran pemerintahannya sendiri
dengan membiarkan penyimpangan yang dilakukan aparat penegak hukum yang
moralitasnya rendah dan mengabaikan ahlaq dan menjadi antek misionaris asing
yang secara liniair pokok kegiatannya adalah menghancurkan bangsa dan aqidah Islam yang dikemas melalui
demokratisasi, kesetaraan jender, penegakan hak azasi manusia , reformasi hukum
/ pemberantasan korupsi , dimana semua itu dikawal secara sistemik oleh lembaga
swadaya masyarakat seperti ICW atau MAKI atau KP2KKN dan lain-lain .
Dengan
Pancasila, kita mengenal Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah permusyawaratan /
perwakilan , kemudian di dalam UUD 1945 juga ditegaskan bahwa kedaulatan di
tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat . Namun dengan
desakan demokratisasi dari asing, kita melakukan pemilihan langsung, yang sudah
tidak lazim di Negara-negara selain Indonesia.
Allah
SWT menegaskan bahwa wanita menjadi utama jika ibadahnya dilakukan di rumah
sekaligus menjadi pembimbing bagi anak-anaknya. Namun bangsa kita menjadi lebih
berani melawan ketetapan Allah SWT dengan alasan kesetaraan jender . Maraknya
tindakan asusila, kenakalan anak dan remaja seperti tawuran , meningkatnya
pengkonsumsi nafza / heroin / narkoba / sabu sabu harus dievaluasi penyebabnya,
menurut kami tidak lain karena kalangan wanita sudah hamper 70% melakukan
aktivitas di luar rumah antara 7 jam sampai 12 jam .
Aparat
keamanan masyarakat atau aparat keamanan Negara lebih takut dikatakan melanggar
HAM oleh LSM ketika suatu massa harus melakukan tindakan tegas terhadap perusuh
/ pemberontak Negara . Kemudian membiarkannya dan korban berjatuhan cukup besar
serta menimbulkan kerugian yang sangat besar .
Pemberantasan
korupsi terhadap perkara yang sebenarnya bukan pidana korupsi, dilakukan dengan
sengaja melakukan kriminalisasi , sasarannya dapat diidentifikasi , pada umumnya
kalangan intelektual / kalangan aparat pemerintahan yang tidak disukai rekan
sekerjanya, nuansa titipan pihak yang punya kepentingan yang berlatar belakang
politik atau usaha / ekonomi dan tokoh – tokoh Islam . Silahkan diteliti ,
sebab tulisan ini juga tidak bermaksud membuat persoalan sara.
Sampai
kapan bangsa kita akan terjebak oleh visi misionaris asing yang sudah terlanjur
mengagendakan penghancuran Indonesia melalui demokratisasi , kesetaraan jender
, Isue HAM , reformasi hukum ????. Menjelang sidang paripurna DPR RI yang
mengagendakan pengesahan UU Pilkada , kita sudah terjebak perdebatan yang tidak
mengingat kembali PANCASILA sebagai dasar idiologi Negara . Pesan kekhawatiran
Kepala Negara agar kita tidak melakukan perang baratayuda sesama bangsa
membuktikan ketidak arifan figur panutan.
Dengan
memohon ridla Allah SWT kita perlu menyatukan sikap yaitu tidak perlu menuruti
visi misionaris asing yang arahnya sudah sangat jelas, dalam beberapa
perjalanan kehidupan bangsa kita sejak reformasi digulirkan tahun 1998,
kebobrokan sudah terjadi disemua aspek kehidupan masyarakat . Masyarakat bangga
dengan UUD 1945 dan PANCASILA , yaitu UUD 1945 yang tidak diamandemen oleh visi
misionaris asing . Semoga Allah SWT menganugerahkan hidayahNya kepada Kepala Negara
dan MPR untuk kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen .
Semarang , 23 September 2014 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar