TATANAN HUKUM ADAT DESA HANCUR
Bangsa yang dimaksud
adalah bangsa Indonesia , yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari 220 juta
jiwa .
Bangsa yang
memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 , dengan latar belakang
terlalu lama hidup tertindas oleh penjajah Belanda dan Jepang . Dengan idiologi
negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 , pemerintahan negara kesatuan
Republik Indonesia ( NKRI ) memilih sistem presidensial dengan beberapa
kementerian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1948 . Tahun 1949 – 1950
NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) dengan Pancasila dan
Konstitusi RIS , namun kembali lagi menjadi NKRI tahun 1950 dengan Pancasila
dan Undang Undang Dasar Sementara ( UUDS ) tahun 1950 .
Tahun 1952 suhu
politik memuncak akibat dari ketidak stabilan pemerintah pusat yang diwarnai
multipartai politik, sehingga pimpinan angkatan bersenjata republik Indonesia
yang dipimpin Jendral Gatot Subroto memandang perlu mengingatkan Presiden RI
untuk mengambil langkah – langkah strategis mengamankan amanat proklamasi
kemerdekaan . Tahun 1952 adalah cikal bakal lahirnya dwi fungsi ABRI. Demokrasi
terpimpin tahun 1957 ternyata juga tidak menuntun bangsa Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 . Ketika Badan Konstituante
dalam sidang paripurna yang mengagendakan penetapan konstitusi tidak bisa
mengambil keputusan, maka Presiden RI mendekritkan berlakunya kembali Undang
Undang Dasar 1945 bagi bangsa dan negara Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli
1959. Pemerintahan Dalam Negeri dan pemerintahan daerah masih menggunakan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 . Pemerintahan desa di Pulau Jawa tetap
mempedomani IGO sedangkan di luar Pulau Jawa berpedoman IGOB yaitu peraturan
perundangan tinggalan penjajah Belanda .
Undang-undang Nomor
1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah mengatur (perilaku organisasi)
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah secara terpadu , artinya di suatu
Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati dibantu oleh seorang sekretaris
wilayah kabupaten dan seorang sekretaris daerah . Perangkat pemerintahan pusat
sebagai kepanjangan lembaga kementerian semuanya ada di tingkat propinsi dan
anggaran operasionalnya dari APBN . Sedangkan perangkat pemerintahan pusat yang
ada di kabupaten masih terbatas, antara lain kantor departemen pendidikan dan
kebudayaan, kantor departemen kesehatan, kantor departemen perdagangan dan
anggarannya juga dari APBN . Kabupaten dan atau Kotamadya yang mampu
menjalankan rumah tangganya oleh UU Nomor 1 Tahun 1957 diberi otonomi seluas-luasnya
menjadi daerah otonom sehingga memiliki lembaga perwakilan ( DPRD ) , sedangkan
yang tidak mampu cukup menjadi wilayah administratif tanpa DPRD .
Perjalanan sistem
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak stabil sebab para pejabat
pemerintahan di tingkat pusat / propinsi / kabupaten atau kotamadya adalah
kader multipartai politik, sehingga dapat diduga penggunaan anggaran negara /
anggaran daerah tidak lagi lurus hanya untuk melaksanakan tugas pokok dan
fungsi pemerintahan sebagaimana yang telah dituangkan dalam APBN / APBD. Tahun
1971 adalah masa dimana bangsa dan negara kita mensepakati reformasi struktur
politik , sehingga hanya ada 9 partai politik dan 1 golongan karya. Seluruh
aparatur pemerintah di lembaga pemerintahan pusat dan daerah harus
menandatangani monoloyalitas menjadi anggota golongan karya. Keluarga besar
ABRI dan Polri , termasuk aparat pemerintah desa juga menyatakan
monoloyalitasnya menjadi anggota golongan karya . Pada pemilihan umum
legislatif tahun 1971 , golongan karya meraih kemenangan. Roda pemerintahan
daerah propinsi / kabupaten dan kotamadya secara administratif masih dua nahkoda
, artinya masih dipimpin oleh sekretaris wilayah dan sekretaris daerah . Kondisi ini kemudian dievaluasi sebab tidak
efisien dan menyebabkan stagnasi pemerintah daerah dalam mengembangkan urusan
rumah tangganya . Aparatur pemerintah sudah satu sikap menjadi anggota golongan
karya diperkuat dengan dwi fungsi ABRI yang secara terang-terangan memiliki
fraksi sendiri di lembaga perwakilan ( DPR dan DPRD ). Pemerintahan orde baru
kemudian mengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah . Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 dengan judul Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah artinya azas pemerintahan yang terdiri dekonsentrasi,
desentralisasi dan medebewind ( tugas pembantuan ) diberlakukan bagi pemerintahan pusat
sekaligus untuk pemerintahan daerah ( propinsi/kabupaten/kotamadya ) . Otonomi Daerah
diberikan berdasarkan kemampuan yang nyata bagi masing-masing Daerah , namun
tanggungjawab (keuangan) pemerintah pusat tetap besar sebab kebijakan APBN
mensubsidi daerah dilakukan secara transparan berdasarkan bottom up planning .
Setiap daerah ( propinsi dan kabupaten/kotamadya ) difasilitasi lembaga
perencanaan pembangunan yaitu Badan Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan
Daerah ( Bappeda ) , sedangkan di pusat dikoordinasikan oleh Bappenas .
Pemerintah diamanati oleh Undang Undang Dasar 1945 wajib menetapkan Garis-garis
besar haluan negara ( GBHN ) yang harus
dipatuhi juga oleh Daerah . Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dari kader-kader
yang berkualitas dan telah teruji integritasnya dalam memimpin pemerintahan.
Kepala Daerah sekaligus adalah Kepala Wilayah sehingga sebutannya menjadi
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , demikian juga untuk kabupaten/kotamadya
adalah Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II . Dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 administrasi pemerintahan daerah dipimpin oleh seorang
sekretaris wilayah/daerah. Pelaksanaan anggaran untuk pembangunan ada yang dilaksanakan secara
swakelola oleh dinas teknis-nya masing-masing . Pengawasan dilaksanakan oleh Inspektorat
Propinsi atau Kabupaten/Kotamadya. Inspektorat Kabupaten / Kotamadya juga
melakukan pemeriksaan pelaksanaan pemerintahan desa .
Seluruh peraturan
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang mengatur tentang pungutan
daerah sistematika dan substansi hukumnya
diseragamkan, sehingga standart pelayanan minimal kepada masyarakat dalam hal
perijinan antar kabupaten / kotamadya tidak jauh berbeda.
Pemerintahan Desa
diberi hak memungut dari masyarakat desanya sepanjang disepakati di setiap pelaksanaan pemilihan kepala
desa. Kesepakatan itu kemudian dimusyawarahkan oleh lembaga musyawarah desa ( LMD ) menjadi Keputusan Rembug Desa . Misalnya mengenai pologoro , gotong
royong pembangunan, dan swadaya sebagai pendampingan adanya bantuan anggaran dari
pemerintah kabupaten / kotamadya.
Pologoro yang lazim
dipungut dari masyarakat desa antara lain ketika masyarakat melakukan perbuatan hukum peralihan hak tanah,
menyelenggarakan keramaian saat punya hajat, mendirikan usaha, permohonan
pengetokan kayu milik sendiri untuk bangunan rumah. Sedangkan swadaya bisa
sumbangan uang , bahan dan tenaga dari masyarakat dari seluruh wilayah desa
. Kalau untuk gotong royong biasanya berlaku untuk skala pembangunan terbatas
di salah satu dusun, bukan memungut dari seluruh masyarakat desa.
Di saat sekarang
ini, tidak sedikit Kepala Desa yang dikriminalisasi oleh penyidik dari Polres
atau Kejaksaan Negeri dengan tudingan melakukan korupsi atas pungutan ologoro atas
dasar laporan LSM / pihak yang berkepentingan menjatuhkan kepala desa . Aparat
penegak hukum yang tidak paham sejarah pologoro atau sebutan nama lainnya,
berasumsi sebagai pungutan liar sebab tidak ada dasar hukumnya, misalnya
Undang-undang atau Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Sejak proklamasi
kemerdekaan RI Desa atau sebutan lain dipimpin oleh Kepala Desa dibantu oleh
perangkat desa . Perangkat Desa terdiri dari Carik, Kamituwa , Kebayan,
Kapetengan, Bekel atau sebutan lain . Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat, ada yang memiliki
kekayaan desa berupa tanah bengkok dan ada yang tidak . Tanah bengkok itu
sebagian untuk upah Kepala Desa dan perangkat desa , sebagian lainnya untuk biaya operasional
pemerintahan desa dengan cara disewakan secara tahunan . Oleh sebab itu
pendapatan kepala desa dan perangkat desa rata-rata rendah , apalagi bagi desa
yang tidak memiliki sama sekali tanah bengkok .
Keterlibatan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pembina desa setelah proklamasi
kemerdekaan tidak jelas, bahkan memberikan tugas tambahan memungut pajak bumi
dan bangunan ( PBB ). Administrasi pemerintahan desa yang dikelola baru terbatas mengenai
kependudukan dan pertanahan . Aspek kependudukan meliputi pencatatan lahir,
mati , datang dan pindah . Sedangkan aspek pertanahan hanya menginventarisir data induk tanah desa (
kutipan letter C dan peta tanah ) . Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 ( UUPA ) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1960 belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun Camat secara eks
officio menjabat PPAT Sementara di wilayah kecamatannya. Peralihan hak atas tanah dilaksanakan masyarakat desa hampir
berhenti di tingkat Desa , dicatat dalam kutipan buku C desa oleh Carik.
Sebagai saksi peralihan hak maka kepala desa dan Carik menggunakan dasar
Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1960 , dapat memungut uang honorarium
saksi sebesar 1,5 % dari harga tanahnya , ditambah pologoro untuk desa ,
biasanya sebesar 5% - 7 % . Besaran pologoro itu sudah tertuang di dalam
keputusan rembug desa. Keputusan rembug desa tentang Pologoro itu pasti sudah
disahkan oleh Bupati / Walikota Kepala Daerah Tingkat II atas rekomendasi Camat
dan Wedana.
Pemerintahan Desa
kemudian diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 merupakan pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah . Dengan UU Nomor 5 Tahun 1979 Kepala Desa dapat
menetapkan keputusan desa bersama-sama Lembaga Musyawarah Desa ( LMD ) atau keputusan
kepala desa sebagai pelaksanaan
lebih lanjut keputusan desa. Keputusan Desa harus disahkan oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setelah diteliti dan
direkomendasi oleh Camat dan Pembantu Bupati/Walikotamadya . Di bidang Pembangunan
Desa , Kepala Desa dibantu Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa ( LKMD ) dan RW /
RT .
Pungutan Desa berupa
pologoro , gotong royong dan atau swadaya merupakan sumber pendapatan desa untuk memperkuat kekayaan desa
dipergunakan untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga desa . Hasil
pungutan pologoro, gotong royong dan swadaya masyarakat dimasukkan ke dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa ( APBDesa ) yang dituangkan dalam
keputusan desa dan harus memperoleh pengesahan dari Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II. Jadi menjadi sangat jelas bahwa dasar memungut dan dasar
menggunakan hasil pologoro, gotong royong dan swadaya masyarakat adalah
Keputusan Desa yang dilegalkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II . Mengapa aparat penegak hukum berambisi mengkriminalisasi , dengan arogan
menyatakan pologoro adalah pungutan liar dan ketika sebagian penggunaannya yang
diuraikan dalam APBDesa adalah untuk honor kepala desa / perangkat desa ,
kemudian dibidik sebagai perbuatan korupsi ? . Masyarakat desa pada umumnya
menjadi sedih tidak bisa protes kepada siapa ketika kepala desa-nya dihukum
penjara badan 2 atau 3 tahun , ditambah mengembalikan kerugian negara senilai
pologoro dan didenda Rp. 50.000.000 dengan tuduhan korupsi pologoro . Inilah potret kebiadaban hukum karena
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang buta sejarah pologoro tetapi tidak
mau berlajar dengan baik tentang pologoro.
Kepala desa dan
perangkat desa adalah ujung tombak yang banyak berkorban bagi masyarakat. Kemampuan
mereka di bidang administrasi sangat rendah , sehingga tidak sedikit kepala
desa dinilai melakukan kesalahan administrasi dalam mengelola keuangan desa, walaupun
kinerja atas biaya Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa ( APB Desa ) dapat
dibuktikan fisiknya.
Pada masa era orde
baru, penyelesaian kesalahan kepala
desa / perangkat desa tidak mengedepankan tindakan represif tetapi pembinaan. Kesalahan administrasi yang terkait dengan
pengelolaan keuangan desa / Inpres Bandes juga ditindak secara administrasi yaitu skorsing jabatan untuk
beberapa bulan dalam rangka menyelesaikan kesalahannya itu . Ketika sudah
dipenuhi kewajibannya yaitu mengembalikan keuangan desa akibat kesalahan
administrasi maka jabatannya dipulihkan kembali oleh Bupati / Walikoatamdya
Kepala Daerah Tingkat II .
Pologoro menjadi
magnit pengikat hubungan emosional antara warga desa dengan Kepala Desa dan
perangkat desanya. Jadi
tidak bisa serta merta kemudian ditafsiri sebagai gratifikasi berdasarkan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Sejak tahun 2005
semua keputusan desa dan keputusan kepala desa yang bersifat mengatur atau
membebani keuangan desa dan masyarakat , termasuk pungutan pologoro harus
disahkan Bupati / Walikota kemudian diundangkan dalam Berita Daerah oleh
Sekretaris Daerah .
Di era eforia
pemberantasan korupsi sejak tahun 2001 sampai tahun 2007 tindakan terhadap kepada Kepala Desa sudah mengabaikan
tindakan perdata tata usaha negara atau tuntutan perbendaharawanan dan ganti
rugi ( TPGR ) . Tetapi langsung dengan tindakan hukum pidana / pidana khusus ,
baik akibat dilaporkan LSM atau justru dilimpahkan oleh Bupati / Walikota
kepada Kapolres atau Kajari setempat . Kecenderungan sikap Kepala Daerah seperti ini lebih banyak
disebabkan dendam pribadi akibat tidak memberikan dukungan disaat Pilkada .
Kepala Desa yang loyal dan melakukan dukungan penuh terhadap calon yang
terpilih dalam Polkada , juga tidak selalu aman, sebab pihak lawannya pasti
akan mencari kesalahannya kemudian menjeratnya ke dalam kasus hukum . Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup korupsi yang sangat
mungkin dilakukan oleh Kepala Desa adalah “penyimpangan” penggunaan keuangan
desa selain pologoro yang berawal dari ketidak tertiban dalam mengelola
administrasi keuangannya . Dalam segala kegiatan apapun yang dibiayai oleh
pendapatan asli desa atau dana yang bersumber bantuan Pemerintah Kabupaten /
Kota ( APBD ) posisi dan peran Kepala Desa adalah penanggung jawab kegiatan .
Selaku penanggung jawab kegiatan pasti menetapkan keputusan kepala desa
membentuk panitia pelaksana kegiatan , yang anggotanya terdiri dari Sekretaris
desa dan para kepala urusan / kepala dusun dan anggota lembaga perencana dan
pelaksana pembangunan desa . Dalam proses pelaksanaan pembangunan, adalah
menjadi lazim jika ada tambah / kurang dari perencanaan semula. Namun karena
tidak dididik untuk membuat as bill drawing, maka tambah/kurang fisik bangunan
biasanya tidak dilengkapi dengan berita acara tertulis . Walaupun tidak ada
korupsi sedikitpun , namun kalau tambah / kurang fisik bangunan itu tidak
dilengkapi berita acara tertulis, tetap saja disalahkan oleh JPU atau Majelis
Hakim tipikor ketika harus diuji melalui persidangan tipikor . Kepala Desa-nya
tetap dihukum berat . Tuntutan akan menjadi ringan manakala antara JPU dan
terdakwa melakukan transaksi dengan sejumlah rupiah . Maka bagi terdakwa yang
yaqin tidak melakukan kesalahan dan tidak mencuri keuangan desa , biasanya all
out dalam menghadapi persidangan. Namun terdakwa lalai bahwa dengan dasar delik
formil dalam UU No 31 Th 1999 Jo No 20 Th 2001 yang menjadi senjata pamungkas
peyidik/JPU dan Majelis Hakim tipikor, tindakan kepala desa yang menurut
Majelis Hakim diwaktu yang akan datang “berpotensi” dapat menimbulkan kerugian keuangan desa , terdakwa tetap dihukum berat . Tidak akan
ada yang dibebaskan.
Kasus yang sekarang ngetren , yaitu pebagian beras untuk
penduduk miskin ( RASKIN). RASKIN juga sedang gencar
disalahkan dan dincar Kapolres/Kajari untuk menumpuk prestasi kinerja guna
meraih jabatan lebih tinggi . Fakta di lapangan memang membuktikan bahwa RASKIN
( atas desakan seluruh warga ) , kemudian dibagi rata kepada seluruh penduduk,
Kepala Desa kemudian mengikuti kehendak warganya . Walaupun BULOG sudah dibayar
lunas ( artinya : tidak ada kerugian negara ) Kepala Desa-nya tetap dihukum berat .
Penyidik selalu
menutup mata dan telinga jika ada masyarakat yang membela kepala desanya yang
dituduh korupsi RASKIN yang dibagi rata ( RASTA ), dengan berdalih harus
menindak lanjuti laporan masyarakat / LSM . Apakah LSM di desa-desa itu murni
terdiri dari komunitas yang berniat memperbaiki sistem dalam rangka mencegah
terjadinya korupsi ??. Mereka juga bisa menjadi agen yang sengaja diciptakan
oleh kepentingan asing dan atau oleh kelompok tertentu yang menjadikan
komoditas dengan oknum penegak hukum itu sendiri yang tujuannya meraup
keuntungan materiil dan balas dendam .
Apakah tujuan Negara
dan Pemerintah ( melalui aparat penegak hukum yang zalim ) seenaknya sendiri
memformulasi kerangka berpikir kriminalisasi bagi para Kepala Desa ? . Kalau
mau fair, RASKIN menjadi RASTA sebenarnya berlangsung di seluruh Indonesia.
Pertanyaannya : kalau memang penindakan terhadap kepala desa dalam mengelola
RASKIN dipaksa sebagai tindakan korupsi, sebaiknya Jaksa Agung membuat
Instruksi kepada seluruh Kajari untuk merangket seluruh Kepala Desa untuk
dijebloskan ke penjara . Sekalian biar jelas terbaca bagi masyarakat awam
sekalipun , bahwa diujung berakhirnya Presiden SBY , aparat penegak hukum
melayani agen asing atau kelompok bangsa untuk membalaskan dendam kesumatnya
akibat tragedi yang dialaminya di jaman orde lama. Akan semakin mudah balas
dendam itu dilayani aparat penegak hukum manakala pengelolaan bantuan desa dari
APBN sebesar Rp. 1.000.000.000 yang akan diluncurkan tahun 2015 ketika tidak
dibarengi bimbingan administrasi dan teknis dari Pemerintah Kabupaten / Kota .
Kemampuan administrasi para Kepala Desa masih terbatas seiring dengan pergantian kepala desa . Pendidikan dan pelatihan para kepala desa yang baru hasil pilkades tidak dilakukan secara berkelanjutan . Kondisi ini yang memprihatinkan . Kalangan terpidana korupsi mencurigai bahwa bantuan desa Rp. 1.000.000.000 adalah sebuah drama balas dendam tragedi politik jaman orde lama, yang diformulasi generasi keturunannya yang sudah menanamkan idiologi dengan simbul kerakyatan diseluruh infrastruktur dan suprastruktur politik .
Kalau dugaan itu benar-benar terwujud, maka Pemerintah pusat harus menyiapkan LP dalam jumlah besar, atau negara ini dipilah, ada penetapan sebuah atau beberapa pulau sebagai lokasi memenjarakan kepala desa atau siapapun yang terlibat korupsi yang berasal dari kriminalisasi . Bangsa asing yang sengaja menghancurkan bangsa Indonesia, atau kelompok balas dendam yang sekarang sudah menyebar ke dalam berbagai profesi di seluruh institusi / struktur partai politik , akan semakin menjadi bagian terbesar opportunis nggragas yang dominan di segala bidang di negara Republik Indonesia. Bangsa Indonesia akan cepat hancur lebur jika tokoh-tokoh yang masih berpikiran / berpendirian lurus tidak berani bertindak lebih cepat menyelamatkan bangsa. Pembaca yang budiman....tulisan berikutnya adalah kajian korupsi di lembaga Pemerintahan Daerah dan Pusat . Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com
Kalau dugaan itu benar-benar terwujud, maka Pemerintah pusat harus menyiapkan LP dalam jumlah besar, atau negara ini dipilah, ada penetapan sebuah atau beberapa pulau sebagai lokasi memenjarakan kepala desa atau siapapun yang terlibat korupsi yang berasal dari kriminalisasi . Bangsa asing yang sengaja menghancurkan bangsa Indonesia, atau kelompok balas dendam yang sekarang sudah menyebar ke dalam berbagai profesi di seluruh institusi / struktur partai politik , akan semakin menjadi bagian terbesar opportunis nggragas yang dominan di segala bidang di negara Republik Indonesia. Bangsa Indonesia akan cepat hancur lebur jika tokoh-tokoh yang masih berpikiran / berpendirian lurus tidak berani bertindak lebih cepat menyelamatkan bangsa. Pembaca yang budiman....tulisan berikutnya adalah kajian korupsi di lembaga Pemerintahan Daerah dan Pusat . Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com
Semarang, 27
September 2014
thang...atas infonya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus