Senin, 29 September 2014

KRIMINALISASI DAN ETIKA PENEGAKAN HUKUM

KRIMINALISASI HANYA DI INDONESIA

Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten / Kota dengan pendekatan kinerja harus dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah . Berdasarkan peraturan perundangan itu kemudian ditindak lanjuti oleh Kepala Daerah dengan menetapkan Peraturan Daerah . 

Tim Anggaran Pemerintah Daerah ( TAPD ) yang dipimpin Sekretaris Daerah bertanggungjawab membimbing Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun usulan / rancangan KUA PPAS yang memuat rancangan kegiatan dan kebutuhan anggaran SKPD untuk dibahas bersama DPRD sebagai bahan awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah . Perkiraan minimal pendapatan daerah dan perkiraan maksimal kebutuhan belanja seluruh SKPD dalam satu tahun anggaran harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh DPRD . 

Pendapatan Daerah yang dipungut dari pajak daerah dan retribusi daerah harus diatur dalam peraturan daerah sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah . Selain pajak daerah dan retribusi daerah sebagai pendapatan asli daerah ( PAD ) , Pemerintah Kabupaten / Kota juga menerima DAU dan DAK dari Pemerintah Pusat dan penerimaan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah seperti penerimaan dari kerugian daerah , bunga deposito, rabat dan lain-lain . Dalam publikasi Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pengelolaan pendapatan asli daerah pada suatu daerah tertentu , kadang banyak temuan penyimpangan administrasi dalam pengelolaan dan pemungutan pendapatan asli daerah dari pajak daerah dan retribusi daerah . 

Penyimpangan yang sering terjadi antara lain : 

Penetapan target pendapatan tidak didasarkan perhitungan riil potensi yang nyata ada , sehingga hampir       semua SKPD tidak dapat memenuhi target yang sudah dicantumkan dalam APBD/DPA SKPD yang bersangkutan . Persoalan ini selalu berulang sepanjang tahun, tidak pernah dievaluasi penyebabnya kenapa pimpinan SKPD juga tidak melakukan reformasi administrasi . Seharusnya ada pertanggungjawaban pimpinan SKPD yang bersangkutan, mengapa memberikan peluang kepada staf jajarannya tidak menghitung potensi riil untuk kemudian menjadi dasar ditetapkan target riil sebuah pendapatan daerah itu dengan Keputusan Kepala SKPD , atau kelau belum memperoleh pendelegasian tentu harus dimohonkan keputusan Kepala Daerah . INI SEBENARNYA CELAH TERJADINYA KORUPSI SECARA SISTEMIK .

Pendapatan tidak disetorkan ke Kas Daerah sesuai ketentuan, yaitu dalam waktu 1x24 jam sejak dipungut . Keterlambatan setor sepanjang ada alasan kesulitan yang dibenarkan oleh Kepala Daerah dan kemudian tetap disetorkan sejumlah yang dipungut tentu tidak bisa digolongkan sebagai penyimpangan yang menjadi unsur tindakan korupsi . 

Kasus lainnya adalah tidak seluruhnya hasil pungutan pendapatan itu disetorkan ke Kas Daerah, tetapi ada sebagian digunakan langsung untuk kebutuhan mendesak SKPD yang bersangkutan . Penggunaan tadi ada yang dipakai untuk biaya operasional dan ada yang untuk pemeliharaan barang yang menjadi sarana sumber pendapatan daerah itu. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Bupati / Walikota wajib menyediakan biaya pemeliharaan barang yang diserahkan penggunaannya kepada SKPD dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD itu. Yang terjadi pada umumnya adalah anggaran pemeliharaan barang yang dikelola SKPD tidak setiap tahun disediakan anggaran pemeliharaan. Dalam pandangan pihak tertentu, Kepala SKPD yang tidak menyetorkan seluruh perolehan pendapatan pasti akan dijerat dengan korupsi sebab dipakai untuk keperluan lain yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan sudah melampaui kewenangannya sebab melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.   

Berdasarkan kajian singkat sebagaimana uraian di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut :
Bahwa APBD Kabupaten / Kota yang diawali dengan penetapan KUA PPAS seharusnya secara totalitas benar-benar disusun objektif dan menjamin berlangsungnya kegiatan pemerintahan daerah yang dilaksanakan SKPD sesuai dengan tupoksi SKPD yang bersangkutan. Masalah besaran anggaran tentu masih bisa ditoleransi dengan skala prioritas . 
Bahwa manakala ada SKPD menghadapi kesulitan kebutuhan anggaran rutin ( belanja tidak langsung ) harus hati-hati dan bisa melakukan penggeseran anggaran pada kelompok anggaran sejenis atas persetujuan Kepala Daerah / Sekretaris Daerah selaku Ketua TAPD . 
Bahwa penyelesaian kesalahan administrasi dalam pengelolaan keuangan daerah , khususnya di sektor pendapatan daerah yang terlambat setor dan atau sebagian dipakai secara langsung, tentu tidak dibenarkan jika hal itu kemudian dihakimi Instansi di luar Pemkab/Kota sebagai tindakan KORUPSI , sebab kewenangan internal Kepala Daerah dalam menertibkan jajarannya bisa dilakukan melalui Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) dan aspek kepegawaiannya . 
Banyak terjadi kriminalisasi terhadap pejabat Pemkab/Kota yang di dalam SKPD nya terungkap adanya penyimpangan administrasi pengelolaan barang dan atau penyimpangan administrasi pengelolaan pendapatan , sebagai akibat lain dari kedengkian antar pejabat atau rebutan promosi jabatan yang tidak memperhatikan daftar urut kepangkatan ( DUK ) kemudian muncul laporan fitnah ke aparat penegak hukum. Kebetulan di Institusi yang melakukan penegakan hukum, sangat haus laporan , haus prestasi , apalagi keadaannya sekarang kalangan mereka itu sudah banyak yang menuhankan jabatan / uang / upeti tertentu , sehingga kriminalisasi semakin meningkat . 

Diluar PAD , DAU dan DAK , Pemkab/Kota juga bisa menerima pendapatan dari Lain-lain Pendapatan Asli Daerah , misalnya dari kerugian daerah atau penerimaan hasil lelangan terbatas barang daerah . Kerugian daerah adakalanya tidak disebabkan oleh perbuatan penyimpangan / melawan hukum seorang pimpinan SKPD atau jajarannya. Kerugian daerah merupakan penerimaan kembali di SKPD tertentu dari suatu pembayaran yang sudah dilakukan dengan transaksi yang sah , yang dilatarbelakangi adanya faktor force majur atau sebab lain yang dibenarkan oleh Kepala Daerah . Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan disini sebagai berikut : 
Pemkab/Kota melakukan kerjasama pemanfaatan pasar daerah dengan swasta yang di dalam perjanjian kerjasama tersebut diatur pembagian tempat usaha dan pembagian tanggungjawab pemeliharaan bangunan. Kerjasama pemanfaatan misalnya dalam jangka waktu 30 tahun. Swasta diberi hak mengelola toko/los lengkap dengan fasilitas listrik terpasang dan diijinkan menjual kepada pedagang dalam jangka waktu 30 tahun . Pedagang menolak membayar rekening listrik kemudian menuntut Pemda yang membayar tagihan rekening listrik dengan APBD sebab instalasi listrik di tiap toko/los sudah sengaja disatukan penyambungannya ke instalasi listrik kantor Pasar milik Pemda. Setelah Pemda dievaluasi BPK kemudian direkomendasikan agar pedagang membayar rekening listrik sendiri. Namun terjadi kesulitan sebab listrik di toko/los tidak memiliki ID tersendiri dari PT PLN . Dan tagihan rekening listrik memang menjadi satu kesatuan dengan tagihan rekening listrik kantor pasar . Akhirnya dengan pedagang dapat disepakati bahwa pedagang bersedia membayar kerugian daerah atas pembayaran rekening listrik toko/los  yang ditalangi APBD melalui SKPD pengelola pasar tersebut. Penerimaan kerugian daerah demikian ini juga bisa dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum, dengan dalih yang dibuat-buat supaya tuduhannya sebagai perbuatan KORUPSI bisa diterima Majelis Hakim mereka mengatakan pungutannya tidak ada dasar hukumnya . Dengan congkak tapi kelihatan kebodohannya, aparat penegak hukum itu menyatakan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa semua pungutan daerah harus ada Perda-nya . Kenapa dia termasuk congkak dan bodoh ? sebab dia mengabaikan ketentuan bagaimana menyelesaikan pungutan kerugian daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 . Kerugian Daerah yang diakibatkan oleh Bendahara dan atau PNS bukan bendahara, yang wajib menyelesaikan adalah Kepala Daerah . Sedangkan pungutan langsung atas terjadinya kerugian daerah yang diakibatkan pihak lain dapat dilakukan oleh Kepala SKPD yang bersangkutan . 

Tulisan ini adalah bertujuan sebagai pencerahan kepada aparat penegak hukum , baik yang sudah mengkriminalisasi target tertentu dan atau yang belum melakukannya. Bagi yang sudah melakukan tentu bisa membuka peraturan perundangan, bisa kroscek ke Kepala Daerah , bisa mensinkronkan persoalan internal SKPD / Pemda dalam kasus seperti itu , serta tidak akan lagi membabi buta memenjarakan pejabat SKPD yang tidak benar-benar KORUPSI tetapi dihancurkan melalui tuduhan KORUPSI .

Stop KRIMINALISASI yang dilatarbelakangi kedengkian antar pejabat Pemda dengan menyewa Institusi Polres atau Kejaksaan. 

Stop KRIMINALISASI sebab itu akan dibalas dengan adzab yang menghinakan oleh Allah SWT . 

Ingatlah MATI .... sebab pelaku KRIMINALISASI dan pelapornya pasti akan dibangkitkan dari kematiannya untuk menerima pembalasan atas perbuatannya menyakiti mukmin laki dan perempuan yang tidak ada kesalahan sama sekali . PELAKU KRIMINALISASI pasti dijebloskan ke dalam NERAKA, mereka kekal di dalamnya . 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar