DRAMA PERADILAN KORUPSI DI JAWA TENGAH
Lembaga
peradilan ( tipikor ) yang semula terpusat di Jakarta, kemudian dibentuk di
Daerah yaitu di Kota Semarang, Kota Bandung dan Kota Surabaya . Peradilan
Tipikor di Jakarta dengan mitra kerjanya Jaksa Penuntut Umum Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak pernah menangani perkara “korupsi” yang sebenarnya
lebih kepada persoalan hukum administrasi atau hukum tata usaha Negara atau
hukum pidana umum . Dengan kata lain , proses persidangan kasus korupsi di
Pengadilan Tipikor Jakarta hampir semuanya perkara korupsi yang pelakunya
menyalahgunakan kewenangan dalam jabatan Negara / jabatan negeri , dijadikan
tersangka sudah ada dua alat bukti yang kuat dan sah, dalam persidangan
terbukti menguntungkan dirinya sendiri / orang lain / korporasi dalam jumlah
uang yang sangat besar , telah merugikan keuangan Negara / perekonomian negara.
Masyarakat Indonesia ikut terhanyut dan menjadi “marah” terhadap pelaku korupsi
karena dipicu adanya pemberitaan yang cukup gencar dari media elektronik maupun
media cetak , maupun adanya acara perdebatan bebas di sebuah stasiun Televisi
tentang kebobrokan mental koruptor yang sudah divonis Majelis Hakim Tipikor
atau sedang menjalani proses hukum . Lembaga Masyarakat seperti ICW atau KP2KKN
di Jawa Tengah “yang menurut pengakuannya menjadi lembaga masyarakat independen
“ yang selalu menjalankan kontrol penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia semakin terlihat dengan jelas dan tidak ada hijjab lagi bahwa
mereka sebenarnya menjadi agen-nya sebuah visi misionaris asing sehingga tidak
mengindahkan lagi jalan hidup yang berdasarkan ke-Tuhanan Yang Mahaesa.
Pemberantasan korupsi setuju untuk ditingkatkan kualitasnya,namun bukan
menekankan pendekatan kuantitas yang hanya ditujukan untuk mewujudkan
pencitraan sebuah rezim penguasa dalam rangka memenuhi visi misionaris asing .
Dalam beberapa tulisan yang sudah di up-load di bulan September 2014 melalui tipikorngamuk.blogspot.com
, kelompok bangsa yang sekdar dijadikan target harus masuk bui / penjara atas
nama pemberantasan korupsi yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan dan lembaga
pengadilan tipikor di daerah Jawa Tengah , sudah menyuarakan protes dengan
menguak fakta persidangan sebagai wujud perlawanan “nurani insan beragama
karena harus bertanggung jawab kepada Allah SWT – Tuhannya setelah dibangkitkan
dari kematiannya ” terhadap praktek
tidak bermoral dari aparat penegak hukum . Bahkan tidak pernah takut walaupun
sudah dijadikan tumbal “kesuksesan “ kinerja abal-abal dari lembaga Negara yang
mengurus/bertanggung jawab dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi . Kami
sudah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden RI , Pimpinan DPR RI , Kapolri
, Jaksa Agung RI , Mahkamah Agung RI , Mahkamah Konstitusi , Komisi Yudisial ,
Komisi Hak Azasi Nasional , Menteri Hukum dan HAM RI , Pimpinan Komisi III DPR
RI , dan lain-lain agar mengambil langkah tegas dan pasti terkait dengan
penyimpangan pemberantasan korupsi di Jawa Tengah , yaitu semakin marak
adanya jual beli tuntutan JPU atau
putusan Majelis Hakim dengan terdakwa yang “benar-benar korupsi “ , ada juga
kriminalisasi terhadap seseorang yang memiliki integritas pada jabatan publik kemudian
dkorbankan atas dasar nafsu politik, ada juga seseorang dari masyarakat biasa yaitu
dari organisasi masyarakat setempat dikriminalisasi dugaan penyimpangan bantuan
hibah atau bantuan sosial APBD Pemprop atau APBD Pemkab / Pemkota , atau
penyidik sebenarnya tidak paham substansi perkara yang diusut sebenarnya dalam
ranah tindakan tata usaha Negara atau tindakan administrasi Negara dari sebuah
institusi pemerintahan atau ranah perdata dari sebuah perikatan institusi
pemerintahan dengan perseroan terbatas atau comanditer .
Sebagai
lembaga pemerintahan , baik itu kepolisian / kejaksaan / peradilan pasti-lah
memperoleh alokasi anggaran dari APBN untuk penegakan hukum terhadap kinerja penindakan
pelaku kejahatan di wilayah kerjanya kemudian mempertanggungjawabkan
pelaksanaannya kepada Pemerintah atasannya . Marilah dicoba untuk
menghitung apakah batas waktu menangani
proses hukum yang disediakan di dalam hukum acara pidana untuk sebuah perkara
korupsi dari penyelidikan , penyidikan ,
penuntutan / pemeriksaan dalam persidangan cukup memadai atau tidak ? . Dalam
sebuah penanganan perkara korupsi , hamper selalu dibentuk tim jaksa penyidik
dan tim jaksa penuntut umum . Tim Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) rata-rata
berjumlah 4 ( empat ) atau 5 ( lima ) orang
yang terdiri dari Kasi Pidsus, Kasi Intelejen, Jaksa Fungsional ( ada
yang 2 atau 3 orang ). Yang hadir dalam persidangan , ketika pembacaan surat dakwaan,
paling banyak 2 ( dua ) orang , kemudian dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi
pada umumnya hanya 1 ( satu ) orang . Apakah Institusi Kejaksaan Negeri berani
diaudit secara terbuka mengenai pelaksanaan anggaran perjalanan dinas
jaksa-jaksa nya dalam sebuah proses hukum menyidangkan terdakwa di Pengadilan
Negeri Tipikor Semarang? Apakah hak terdakwa mendapatkan biaya konsumsi
dicukupi dan atau para saksi juga mendapatkan biaya transportasi / konsumsi
ketika dihadirkan dalam persidangan yang jauh dari tempat tinggalnya ? Terdakwa dan saksi-saksi hamper tidak tahu
dan tidak diberitahu oleh Kajari mengenai ada tidaknya hak tersebut dan berapa
indeksnya . Seandainya ada yang dikasih
makan oleh JPU, cukup dilayani makan dan minum dari kantin di Pengadilan Negeri
Tipikor Semarang . Kami menjadi bertanya-tanya ketika hak itu tidak dipenuhi
bahkan mendidik kami menjadi curiga jangan-jangan memang ada anggarannya,
tetapi tidak diberikan dan dananya disetorkan kembali ke kas Negara . Bisa juga
ada anggapan terjelek dari seorang figure JPU terhadap terdakwa korupsi yang
didasari pemikiran “ koruptor sudah bobrok ngapain diurusi , toh bisa makan
sendiri dengan hasil korupsinya “ . Atau memang Negara RI ini sudah melarat
barangkali , kemudian memerintahkan penghematan di segala bidang kepada Kajari
/ Kajati sehingga walaupun membentuk Tim
JPU yang jumlahnya 5 ( lima ) orang , namun yang ditugaskan untuk mengikuti
persidangan hanya 1 ( satu ) dan 2 ( dua ) orang saja. Apa benar ya….kabar yang menyebutkan bahwa
sebuah perkara pidana korupsi disdiakan anggaran dari APBN Rp. 200 juta – Rp.
300 juta ???. Namun sebuah sumber yang patut dipercaya dan tidak mau disebut
namanya dari Lembaga Pemasyarakatan Semarang mengatakan bahwa setiap menjemput
terdakwa di LP untuk pelaksanaan sidang, staf / JPU yang menjemput selalu
meminta pengesahan SPPD ( surat perintah perjalanan dinas ) untuk kepentingan
lebih dari 3 ( tiga ) orang . Beranikah aparat penegak hukum lainnya mengusut
atau BPK RI mengaudit validitas penggunaan anggaran penanganan perkara di
jajaran Kepolisian atau jajaran Kejaksaan untuk menguak kemungkinan adanya
penyimpangan ???. Masyarakat luas sudah menduga kemungkinan adanya penyimpangan
penggunaan anggaran tersebut, tetapi apakah berani LSM setingkat ICW atau
KP2KKN Jawa Tengah melakukan investigasi ?????. Rasanya tidak mungkin-lah ya
….. aparat penegak hukum kok berani melanggar hukum di dalam Instansinya
sendiri ? . Kalaupun terjadi ….. wah sungguh luar biasa bobroknya Negara RI ini
ya ???. Kalau anggarannya sangat minim
dan tidak cukup untuk memfotokopy berkas perkara ( yang direkayasa itu ) , bisa
jadi kondisi ini menjadi pendorong para jaksa penyidik / JPU bertransaksi dengan terdakwa dalam jual
beli tuntutan / putusan Majelis Hakim . Komisi Yudisial bisa aktif mengevaluasi
sebuah perkara dari Kabupaten P dengan terdakwa Snry . Terdakwa dijadikan TSK
dalam 2 ( dua ) tahun , dan dalam pengakuannya dengan kami di ATM oleh penyidik
setiap satu bulan diperas Rp. 25 juta selama 2 ( dua ) tahun . Dikalkulasi Rp.
300 juta ya. Dalam proses persidangan , sebelum tuntutan dibacakan JPU , ada
pemerasan lagi 2 ( dua ) avanza baru harus disetor. Komprominya antara wakil
terdakwa dengan JPU di Solo . Wakil terdakwa dianjurkan agar ketika ke Solo
tidak membawa mobil Inova-nya terdakwa, khawatir dikuntit KPK . Terdakwa
akhirnya dituntut JPU dengan 1 tahun dan 4 bulan penjara, denda Rp. 100 juta
atau diganti kurungan 1 bulan . Terdakwa bercerita dengan kami, sebenarnya
sudah meminta agar subsidernya dibuat 3 ( tiga ) bulan untuk Rp. 100 juta itu.
Ada lagi terdakwa dari Kabupaten dari wilayah karesidenan Pekalongan yang saat ini sudah mengalami 2 ( dua ) kali
penundaan sidang pembacaan tuntutan JPU . Penundaan tidak beralasan sebab
semuanya tidak ada yang berhalangan. Namun diluar sidang terdakwa menjadi
terperanjat ketika JPU mengatakan kepada terdakwa , “ pak sidangnya kami tunda
lagi ya, bapak-bapak harus paham lah, harus ada pengorbanan ya, bapak-bapak
atau wakil dari bapak-bapak segera menghadap Kajari , sehingga bisa diatur
tuntutannya “.
Ada
contoh lain, terpidana kasus bantuan budidaya ikan lele di Kabupaten Byl
bernama Drsn , hanya berperan sebagai ketua kelompok, dibawah bimbingan pejabat
Kab Byl saat mengatasi masalah yang dimuasyawarahkan secara terbuka , tidak
korupsi , karena dilaporkan LSM , dijadikan TSK selama 5 ( lima ) tahun ,
selama jangka waktu itu dan memperoleh status tahanan kota dari penyidik dia di
ATM penyidik sampai menyedot dana Rp. 250 juta . Toh tetap disidangkan di
Semarang, namun hanya dihukum 1 tahun dan 8 bulan ditambah denda Rp. 50.000.000. Tulisan ini tidak mungkin akan kami isi dengan
semua contoh kasus yang dikriminalisasi , sehingga cukup beberapa kasus yang
terbaru agar Presiden RI , KPK, Kapolri, Jaksa Agung RI, Mahkamah Agung RI ,
ICW dan KP2KKN memperhatikan krimnalisasi kasus teri yang sebenarnya bukan
perkara pidana korupsi . Masyarakat luas juga harus belajar netral dalam
menilai sebuah eforia pemberantasan korupsi yang di Jawa Tengah dipraktekkan
sudah menyimpang / melenceng tidak berarah yang jelas.
Barangkali
sangat banyak perkara “kriminalisasi” korupsi yang diserahkan ke Pengadilan
Negeri Tipikor Semarang menumpuk, yang tidak sebanding dengan jumlah Panitera /
Panitera Pengganti dan hakim-nya. Sebuah persidangan yang dijadwalkan pukul
09,00 menjadi molor pukul 14.00 baru dimulai karena paniteranya masih melayani
persidangan di PN Semarang dalam kasus diluar korupsi, demikian juga hakimnya
masih terkantuk-kantuk pulas mengikuti persidangan kasus korupsi yang lain .
Itulah sebuah gambaran sekilas proses persidangan di PN Tipikor Semarang yang
selalu tersendat, bisa berlangsung sampai pukul 22.00 malam . Dalam memimpin
sidang, hamper selalu ada tontonan hakim-hakimnya tidur di kursi kecuali Ketua
Majelis . Kata Hakim, …..ngantuk atau tidur saat mimpin sidang tidak apa-apa ,
sebab hakim-hakim di PN Tipikor Semarang semua cerdas bermain transaksi dan
cerdas bermain laptop, tidak peduli fakta di persidangan hamper tidak mendukung
dakwaan JPU, yang penting adalah :
1)
Majelis Hakim , Panitera dan JPU sudah sepakat
bahwa siapapun yang diajukan sebagai terdakwa di persidangan PN Tipikor
Semarang harus dihukum demi menuruti rasa keadilan masyarakat yang sudah
terlanjur diciptakan dalam kamuflase kehidupan semu
2)
Tidak perlu lagi memperhatikan fakta sidang,
sebab putusan Majelis Hakim adalah
fotokopy surat dakwaan / surat tuntutan JPU ,
3)
tidurpun ketika mimpin sidang tidak melanggar
kode etik dan tetap masih memperoleh bagian transaksi jual beli perkara , tidak
perlu takut berdosa atau tidak , sebab kehidupan JPU, Panitera dan Hakim dalam
masyarakat , menurut mereka harus mewah dan wah .
4)
Sudah dikembangkan opini mengenai jalan hidup
mereka, yaitu tidak perlu jujur jika hanya sendirian sebab pasti akan hancur,
masalah mati dan balasan Allah SWT bagi penegak hukum yang kafir, yang dzalim
dan yang munafiq dianggapnya slogan kebohongan, maka mendakwa dan memutuskan
dengan cara mereka itu karena mereka adalah wakil Tuhan .
5)
Aku….kata mereka : adalah Tuhan , maka aku tidak
salah kalau menuhankan uang, aku tidak salah kalau menuhankan avanza, aku tidak
salah kalau menuhankan rumah / kekayaan duniawi sesuai kekuasaanku . Aku…..kata
mereka : punya keluarga yang tidak kecukupan jika hanya menuhankan status
PNS-ku apalagi kemauan hidupku untuk
berfoya-foya melebihi syetan, maka akupun harus menuhankan raja syetan dalam
menindas orang yang aku buat seolah – olah benar-benar korupsi , sehingga aku
mendapat pujian syetan-syetan kecil .
Kami adalah
kelompok insan yang selalu menyebut tuhan-ku ALLAH SWT , tidak menolak
taqdir-Nya tetapi tetap harus dengan sabar memperjuangkan kebenaran / keadilan
sesuai prosedur dan cara lain yang diridlai-Nya , menyampaikannya secara
terbuka seperti dalam tulisan ini , tetapi juga sudah berkirim surat kepada
Bapak Presiden RI dan Lembaga-lembaga Negara yang berwenang / berwajib . Kami
tetap berdo’a agar Bapak Presiden dan pimpinan Lembaga Negera yang menerima
surat kami tidak meremehkan, tidak menganggap sepele karena diajukan NAPI
KORUPSI . Presiden dijabat oleh hamba Allah, demikian juga pimpinan Lembaga
Negara yang berwenang juga dijabat hamba Allah, semoga tidak menyimpang dari
ketetapan Allah SWT dalam menegakkan kebenaran dan hukum , sebab menyakiti
Allah dan Rosul-Nya akan diazab / dilaknat di dunia dan di akherat dengan azab
yang menghinakan .
Masyarakat luas
hendaknya juga tidak terbawa nafsu syahwat yang melayani syetan, dengan adanya
komentar dari Ttn Msdk pimpinan ICW yang meminta agar Pemerintah / Negara tidak
memberikan remisi kepada koruptor . Allah SWT maha pengampun, dan tujuan Allah
menghukum hamba-Nya adalah dalam rangka memberikan peluang bertobat . Dan jika
tobat sudah dilakukan, kemudian memperbaiki diri dan tobatnya diterima Allah,
jaminannya adalah disediakan balasan
SURGA yang penuh kebahagiaan tanpa batas dan tanpa hitungan . Sedangkan
JPU , Panitera dan Hakim yang zalim, yang kafir dan yang munafiq pasti balasan
azab yang menghinakan adalah dijebloskan ke dalam neraka jahanam, neraka jahim,
neraka sangir mereka kekal di dalamnya tanpa batas.
Masyarakat yang
tidak selektif dalam menilai kinerja aparat
penegak hukum, kemudian turut meyaqini bahwa koruptor harus dihancurkan
martabatnya, dihancurkan kehidupannya, dimiskinkan, dan tidak perlu diberi
remisi, apalagi tanpa paham bahwa terpidana “korupsi” di Jawa Tengah –
Indonesia sebagian besar adalah rekayasa kriminalisasi , pasti-lah menjadi
golongan mereka yang akan memperoleh azab yang menghinakan di dunia dan di
akhirat . Na’udzubillahi min dzalik .
Mari dilihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana praktek nyata persidangan tipikor di PN Tipikor Semarang. Dagelan dan dramatisasi , kadang sangat fair kadang hakimnya arogan, terdakwa sudah dipojokkan JPU dan Majelis Hakim, dan putusannya sudah ada sejak awal sidang dibuka dan terbuka untuk umum . Majelis Hakim yang kelelahan, kemudian tidur di kursi persidangan yang mereka pimpin sudah menjadi hal yang lazim dan ditonton pengunjung sidang . Panitera atau PP juga tidur pulas. Putusan Majelis Hakim sudah disiapkan oleh JPU. LHO ....KOK JPU yang menyiapkan Putusan Majelis Hakim ???? .
Wah jangan heran dulu dong ??? Persidangan di PN Tipikor Semarang tidak sehebat di Pengadilan Tipikor Jakarta . Selalu diekspose melalui televisi .
TIDUR .... PULAS ...... KEMUDIAN TERPERANJAT.....BANGUN TIDUR CARI BUNDEL SURAT DAKWAAN ..... NUTUP SIDANG ..... DENGAN SEMPOYONGAN KELUAR RUANG SIDANG .
Hore.....hore.....aku masih menjadi Hakim ......! Hore.....hore.....aku mendapat upeti ...... Asyiiiiik .
Mari dilihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana praktek nyata persidangan tipikor di PN Tipikor Semarang. Dagelan dan dramatisasi , kadang sangat fair kadang hakimnya arogan, terdakwa sudah dipojokkan JPU dan Majelis Hakim, dan putusannya sudah ada sejak awal sidang dibuka dan terbuka untuk umum . Majelis Hakim yang kelelahan, kemudian tidur di kursi persidangan yang mereka pimpin sudah menjadi hal yang lazim dan ditonton pengunjung sidang . Panitera atau PP juga tidur pulas. Putusan Majelis Hakim sudah disiapkan oleh JPU. LHO ....KOK JPU yang menyiapkan Putusan Majelis Hakim ???? .
Wah jangan heran dulu dong ??? Persidangan di PN Tipikor Semarang tidak sehebat di Pengadilan Tipikor Jakarta . Selalu diekspose melalui televisi .
TIDUR .... PULAS ...... KEMUDIAN TERPERANJAT.....BANGUN TIDUR CARI BUNDEL SURAT DAKWAAN ..... NUTUP SIDANG ..... DENGAN SEMPOYONGAN KELUAR RUANG SIDANG .
Hore.....hore.....aku masih menjadi Hakim ......! Hore.....hore.....aku mendapat upeti ...... Asyiiiiik .
Semarang ,
22-9-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar