Senin, 22 September 2014

PUNYA ILMU LADUNI - HAKIM TIDUR BISA MEMVONIS



DRAMA PERADILAN KORUPSI DI JAWA TENGAH

Lembaga peradilan ( tipikor ) yang semula terpusat di Jakarta, kemudian dibentuk di Daerah yaitu di Kota Semarang, Kota Bandung dan Kota Surabaya . Peradilan Tipikor di Jakarta dengan mitra kerjanya Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi tidak pernah menangani perkara “korupsi” yang sebenarnya lebih kepada persoalan hukum administrasi atau hukum tata usaha Negara atau hukum pidana umum . Dengan kata lain , proses persidangan kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta hampir semuanya perkara korupsi yang pelakunya menyalahgunakan kewenangan dalam jabatan Negara / jabatan negeri , dijadikan tersangka sudah ada dua alat bukti yang kuat dan sah, dalam persidangan terbukti menguntungkan dirinya sendiri / orang lain / korporasi dalam jumlah uang yang sangat besar , telah merugikan keuangan Negara / perekonomian negara. Masyarakat Indonesia ikut terhanyut dan menjadi “marah” terhadap pelaku korupsi karena dipicu adanya pemberitaan yang cukup gencar dari media elektronik maupun media cetak , maupun adanya acara perdebatan bebas di sebuah stasiun Televisi tentang kebobrokan mental koruptor yang sudah divonis Majelis Hakim Tipikor atau sedang menjalani proses hukum . Lembaga Masyarakat seperti ICW atau KP2KKN di Jawa Tengah “yang menurut pengakuannya menjadi lembaga masyarakat independen “ yang selalu menjalankan kontrol penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia semakin terlihat dengan jelas dan tidak ada hijjab lagi bahwa mereka sebenarnya menjadi agen-nya sebuah visi misionaris asing sehingga tidak mengindahkan lagi jalan hidup yang berdasarkan ke-Tuhanan Yang Mahaesa. Pemberantasan korupsi setuju untuk ditingkatkan kualitasnya,namun bukan menekankan pendekatan kuantitas yang hanya ditujukan untuk mewujudkan pencitraan sebuah rezim penguasa dalam rangka memenuhi visi misionaris asing . Dalam beberapa tulisan yang sudah di up-load di bulan September 2014 melalui tipikorngamuk.blogspot.com , kelompok bangsa yang sekdar dijadikan target harus masuk bui / penjara atas nama pemberantasan korupsi yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan dan lembaga pengadilan tipikor di daerah Jawa Tengah , sudah menyuarakan protes dengan menguak fakta persidangan sebagai wujud perlawanan “nurani insan beragama karena harus bertanggung jawab kepada Allah SWT – Tuhannya setelah dibangkitkan dari kematiannya ”  terhadap praktek tidak bermoral dari aparat penegak hukum . Bahkan tidak pernah takut walaupun sudah dijadikan tumbal “kesuksesan “ kinerja abal-abal dari lembaga Negara yang mengurus/bertanggung jawab dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi . Kami sudah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden RI , Pimpinan DPR RI , Kapolri , Jaksa Agung RI , Mahkamah Agung RI , Mahkamah Konstitusi , Komisi Yudisial , Komisi Hak Azasi Nasional , Menteri Hukum dan HAM RI , Pimpinan Komisi III DPR RI , dan lain-lain agar mengambil langkah tegas dan pasti terkait dengan penyimpangan pemberantasan korupsi di Jawa Tengah , yaitu semakin marak adanya  jual beli tuntutan JPU atau putusan Majelis Hakim dengan terdakwa yang “benar-benar korupsi “ , ada juga kriminalisasi terhadap seseorang yang memiliki integritas pada jabatan publik kemudian dkorbankan atas dasar nafsu politik, ada juga seseorang dari masyarakat biasa yaitu dari organisasi masyarakat setempat dikriminalisasi dugaan penyimpangan bantuan hibah atau bantuan sosial APBD Pemprop atau APBD Pemkab / Pemkota , atau penyidik sebenarnya tidak paham substansi perkara yang diusut sebenarnya dalam ranah tindakan tata usaha Negara atau tindakan administrasi Negara dari sebuah institusi pemerintahan atau ranah perdata dari sebuah perikatan institusi pemerintahan dengan perseroan terbatas atau comanditer .
Sebagai lembaga pemerintahan , baik itu kepolisian / kejaksaan / peradilan pasti-lah memperoleh alokasi anggaran dari APBN untuk penegakan hukum terhadap kinerja penindakan pelaku kejahatan di wilayah kerjanya kemudian mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada Pemerintah atasannya . Marilah dicoba untuk menghitung  apakah batas waktu menangani proses hukum yang disediakan di dalam hukum acara pidana untuk sebuah perkara korupsi  dari penyelidikan , penyidikan , penuntutan / pemeriksaan dalam persidangan cukup memadai atau tidak ? . Dalam sebuah penanganan perkara korupsi , hamper selalu dibentuk tim jaksa penyidik dan tim jaksa penuntut umum . Tim Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) rata-rata berjumlah 4 ( empat ) atau 5 ( lima ) orang  yang terdiri dari Kasi Pidsus, Kasi Intelejen, Jaksa Fungsional ( ada yang 2 atau 3 orang ). Yang hadir dalam persidangan , ketika pembacaan surat dakwaan, paling banyak 2 ( dua ) orang , kemudian dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi pada umumnya hanya 1 ( satu ) orang . Apakah Institusi Kejaksaan Negeri berani diaudit secara terbuka mengenai pelaksanaan anggaran perjalanan dinas jaksa-jaksa nya dalam sebuah proses hukum menyidangkan terdakwa di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang? Apakah hak terdakwa mendapatkan biaya konsumsi dicukupi dan atau para saksi juga mendapatkan biaya transportasi / konsumsi ketika dihadirkan dalam persidangan yang jauh dari tempat tinggalnya ?  Terdakwa dan saksi-saksi hamper tidak tahu dan tidak diberitahu oleh Kajari mengenai ada tidaknya hak tersebut dan berapa indeksnya .  Seandainya ada yang dikasih makan oleh JPU, cukup dilayani makan dan minum dari kantin di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang . Kami menjadi bertanya-tanya ketika hak itu tidak dipenuhi bahkan mendidik kami menjadi curiga jangan-jangan memang ada anggarannya, tetapi tidak diberikan dan dananya disetorkan kembali ke kas Negara . Bisa juga ada anggapan terjelek dari seorang figure JPU terhadap terdakwa korupsi yang didasari pemikiran “ koruptor sudah bobrok ngapain diurusi , toh bisa makan sendiri dengan hasil korupsinya “ . Atau memang Negara RI ini sudah melarat barangkali , kemudian memerintahkan penghematan di segala bidang kepada Kajari / Kajati  sehingga walaupun membentuk Tim JPU yang jumlahnya 5 ( lima ) orang , namun yang ditugaskan untuk mengikuti persidangan hanya 1 ( satu ) dan 2 ( dua ) orang saja.  Apa benar ya….kabar yang menyebutkan bahwa sebuah perkara pidana korupsi disdiakan anggaran dari APBN Rp. 200 juta – Rp. 300 juta ???. Namun sebuah sumber yang patut dipercaya dan tidak mau disebut namanya dari Lembaga Pemasyarakatan Semarang mengatakan bahwa setiap menjemput terdakwa di LP untuk pelaksanaan sidang, staf / JPU yang menjemput selalu meminta pengesahan SPPD ( surat perintah perjalanan dinas ) untuk kepentingan lebih dari 3 ( tiga ) orang . Beranikah aparat penegak hukum lainnya mengusut atau BPK RI mengaudit validitas penggunaan anggaran penanganan perkara di jajaran Kepolisian atau jajaran Kejaksaan untuk menguak kemungkinan adanya penyimpangan ???. Masyarakat luas sudah menduga kemungkinan adanya penyimpangan penggunaan anggaran tersebut, tetapi apakah berani LSM setingkat ICW atau KP2KKN Jawa Tengah melakukan investigasi ?????. Rasanya tidak mungkin-lah ya ….. aparat penegak hukum kok berani melanggar hukum di dalam Instansinya sendiri ? . Kalaupun terjadi ….. wah sungguh luar biasa bobroknya Negara RI ini ya ???.  Kalau anggarannya sangat minim dan tidak cukup untuk memfotokopy berkas perkara ( yang direkayasa itu ) , bisa jadi kondisi ini menjadi pendorong para jaksa penyidik /  JPU bertransaksi dengan terdakwa dalam jual beli tuntutan / putusan Majelis Hakim . Komisi Yudisial bisa aktif mengevaluasi sebuah perkara dari Kabupaten P dengan terdakwa Snry . Terdakwa dijadikan TSK dalam 2 ( dua ) tahun , dan dalam pengakuannya dengan kami di ATM oleh penyidik setiap satu bulan diperas Rp. 25 juta selama 2 ( dua ) tahun . Dikalkulasi Rp. 300 juta ya. Dalam proses persidangan , sebelum tuntutan dibacakan JPU , ada pemerasan lagi 2 ( dua ) avanza baru harus disetor. Komprominya antara wakil terdakwa dengan JPU di Solo . Wakil terdakwa dianjurkan agar ketika ke Solo tidak membawa mobil Inova-nya terdakwa, khawatir dikuntit KPK . Terdakwa akhirnya dituntut JPU dengan 1 tahun dan 4 bulan penjara, denda Rp. 100 juta atau diganti kurungan 1 bulan . Terdakwa bercerita dengan kami, sebenarnya sudah meminta agar subsidernya dibuat 3 ( tiga ) bulan untuk Rp. 100 juta itu. Ada lagi terdakwa dari Kabupaten dari wilayah karesidenan Pekalongan  yang saat ini sudah mengalami 2 ( dua ) kali penundaan sidang pembacaan tuntutan JPU . Penundaan tidak beralasan sebab semuanya tidak ada yang berhalangan. Namun diluar sidang terdakwa menjadi terperanjat ketika JPU mengatakan kepada terdakwa , “ pak sidangnya kami tunda lagi ya, bapak-bapak harus paham lah, harus ada pengorbanan ya, bapak-bapak atau wakil dari bapak-bapak segera menghadap Kajari , sehingga bisa diatur tuntutannya “.
Ada contoh lain, terpidana kasus bantuan budidaya ikan lele di Kabupaten Byl bernama Drsn , hanya berperan sebagai ketua kelompok, dibawah bimbingan pejabat Kab Byl saat mengatasi masalah yang dimuasyawarahkan secara terbuka , tidak korupsi , karena dilaporkan LSM , dijadikan TSK selama 5 ( lima ) tahun , selama jangka waktu itu dan memperoleh status tahanan kota dari penyidik dia di ATM penyidik sampai menyedot dana Rp. 250 juta . Toh tetap disidangkan di Semarang, namun hanya dihukum 1 tahun dan 8 bulan ditambah denda Rp. 50.000.000.  Tulisan ini tidak mungkin akan kami isi dengan semua contoh kasus yang dikriminalisasi , sehingga cukup beberapa kasus yang terbaru agar Presiden RI , KPK, Kapolri, Jaksa Agung RI, Mahkamah Agung RI , ICW dan KP2KKN memperhatikan krimnalisasi kasus teri yang sebenarnya bukan perkara pidana korupsi . Masyarakat luas juga harus belajar netral dalam menilai sebuah eforia pemberantasan korupsi yang di Jawa Tengah dipraktekkan sudah menyimpang / melenceng tidak berarah yang jelas.
Barangkali sangat banyak perkara “kriminalisasi” korupsi yang diserahkan ke Pengadilan Negeri Tipikor Semarang menumpuk, yang tidak sebanding dengan jumlah Panitera / Panitera Pengganti dan hakim-nya. Sebuah persidangan yang dijadwalkan pukul 09,00 menjadi molor pukul 14.00 baru dimulai karena paniteranya masih melayani persidangan di PN Semarang dalam kasus diluar korupsi, demikian juga hakimnya masih terkantuk-kantuk pulas mengikuti persidangan kasus korupsi yang lain . Itulah sebuah gambaran sekilas proses persidangan di PN Tipikor Semarang yang selalu tersendat, bisa berlangsung sampai pukul 22.00 malam . Dalam memimpin sidang, hamper selalu ada tontonan hakim-hakimnya tidur di kursi kecuali Ketua Majelis . Kata Hakim, …..ngantuk atau tidur saat mimpin sidang tidak apa-apa , sebab hakim-hakim di PN Tipikor Semarang semua cerdas bermain transaksi dan cerdas bermain laptop, tidak peduli fakta di persidangan hamper tidak mendukung dakwaan JPU, yang penting adalah :
1)        Majelis Hakim , Panitera dan JPU sudah sepakat bahwa siapapun yang diajukan sebagai terdakwa di persidangan PN Tipikor Semarang harus dihukum demi menuruti rasa keadilan masyarakat yang sudah terlanjur diciptakan dalam kamuflase kehidupan semu
2)        Tidak perlu lagi memperhatikan fakta sidang, sebab  putusan Majelis Hakim adalah fotokopy surat dakwaan / surat tuntutan JPU ,
3)        tidurpun ketika mimpin sidang tidak melanggar kode etik dan tetap masih memperoleh bagian transaksi jual beli perkara , tidak perlu takut berdosa atau tidak , sebab kehidupan JPU, Panitera dan Hakim dalam masyarakat , menurut mereka harus mewah dan wah . 
4)        Sudah dikembangkan opini mengenai jalan hidup mereka, yaitu tidak perlu jujur jika hanya sendirian sebab pasti akan hancur, masalah mati dan balasan Allah SWT bagi penegak hukum yang kafir, yang dzalim dan yang munafiq dianggapnya slogan kebohongan, maka mendakwa dan memutuskan dengan cara mereka itu karena mereka adalah wakil Tuhan .
5)        Aku….kata mereka : adalah Tuhan , maka aku tidak salah kalau menuhankan uang, aku tidak salah kalau menuhankan avanza, aku tidak salah kalau menuhankan rumah / kekayaan duniawi sesuai kekuasaanku . Aku…..kata mereka : punya keluarga yang tidak kecukupan jika hanya menuhankan status PNS-ku apalagi  kemauan hidupku untuk berfoya-foya melebihi syetan, maka akupun harus menuhankan raja syetan dalam menindas orang yang aku buat seolah – olah benar-benar korupsi , sehingga aku mendapat pujian syetan-syetan kecil .
Kami adalah kelompok insan yang selalu menyebut tuhan-ku ALLAH SWT , tidak menolak taqdir-Nya tetapi tetap harus dengan sabar memperjuangkan kebenaran / keadilan sesuai prosedur dan cara lain yang diridlai-Nya , menyampaikannya secara terbuka seperti dalam tulisan ini , tetapi juga sudah berkirim surat kepada Bapak Presiden RI dan Lembaga-lembaga Negara yang berwenang / berwajib . Kami tetap berdo’a agar Bapak Presiden dan pimpinan Lembaga Negera yang menerima surat kami tidak meremehkan, tidak menganggap sepele karena diajukan NAPI KORUPSI . Presiden dijabat oleh hamba Allah, demikian juga pimpinan Lembaga Negara yang berwenang juga dijabat hamba Allah, semoga tidak menyimpang dari ketetapan Allah SWT dalam menegakkan kebenaran dan hukum , sebab menyakiti Allah dan Rosul-Nya akan diazab / dilaknat di dunia dan di akherat dengan azab yang menghinakan .
Masyarakat luas hendaknya juga tidak terbawa nafsu syahwat yang melayani syetan, dengan adanya komentar dari Ttn Msdk pimpinan ICW yang meminta agar Pemerintah / Negara tidak memberikan remisi kepada koruptor . Allah SWT maha pengampun, dan tujuan Allah menghukum hamba-Nya adalah dalam rangka memberikan peluang bertobat . Dan jika tobat sudah dilakukan, kemudian memperbaiki diri dan tobatnya diterima Allah, jaminannya adalah disediakan balasan  SURGA yang penuh kebahagiaan tanpa batas dan tanpa hitungan .   Sedangkan JPU , Panitera dan Hakim yang zalim, yang kafir dan yang munafiq pasti balasan azab yang menghinakan adalah dijebloskan ke dalam neraka jahanam, neraka jahim, neraka sangir mereka kekal di dalamnya tanpa batas.
Masyarakat yang tidak selektif dalam menilai kinerja  aparat penegak hukum, kemudian turut meyaqini bahwa koruptor harus dihancurkan martabatnya, dihancurkan kehidupannya, dimiskinkan, dan tidak perlu diberi remisi, apalagi tanpa paham bahwa terpidana “korupsi” di Jawa Tengah – Indonesia sebagian besar adalah rekayasa kriminalisasi , pasti-lah menjadi golongan mereka yang akan memperoleh azab yang menghinakan di dunia dan di akhirat . Na’udzubillahi min dzalik .
Mari dilihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana praktek nyata persidangan tipikor di PN Tipikor Semarang. Dagelan dan dramatisasi , kadang sangat fair kadang hakimnya arogan, terdakwa sudah dipojokkan JPU dan Majelis Hakim, dan putusannya sudah ada sejak awal sidang dibuka dan terbuka untuk umum . Majelis Hakim yang kelelahan, kemudian tidur di kursi persidangan yang mereka pimpin sudah menjadi hal yang lazim dan ditonton pengunjung sidang . Panitera atau PP juga tidur pulas. Putusan Majelis Hakim sudah disiapkan oleh JPU. LHO ....KOK JPU yang menyiapkan Putusan Majelis Hakim ???? .
Wah jangan heran dulu dong ??? Persidangan di PN Tipikor Semarang tidak sehebat di Pengadilan Tipikor Jakarta . Selalu diekspose melalui televisi .
TIDUR .... PULAS ...... KEMUDIAN TERPERANJAT.....BANGUN TIDUR CARI BUNDEL SURAT DAKWAAN ..... NUTUP SIDANG ..... DENGAN SEMPOYONGAN KELUAR RUANG SIDANG .
Hore.....hore.....aku masih menjadi Hakim ......! Hore.....hore.....aku mendapat upeti ...... Asyiiiiik .
Semarang , 22-9-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar