Jumat, 19 September 2014

RATAPAN PEGAWAI RENDAHAN KORBAN KEZALIMAN


PEMISKINAN DALAM KORUPSI


Dalam tulisan Harkat Martabat Dilecehkan paragraf (1) tanggal 17 September 2014 , praktek pemidanaan terhadap “target” pelaku tipikor di Jawa Tengah sudah bertentangan dengan Firman Allah SWT dalam surah Al Maa-idah ( 5 : 38 ) sebab belum terjadi perbuatan yang nyata dan tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan telah menimbulkan kerugian keuangan negara / daerah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Semarang sewenang-wenang menghukum seseorang yang tidak bersalah . Hukuman bisa tiga macam sekaligus yaitu penjara, membayar uang pengganti dan di denda . Fakta membuktikan bahwa terhadap sebagian perkara yang direkayasa seluruh pihak yang “pantas dijadikan target” , misalnya dalam perkara dugaan penyimpangan pengadaan barang dengan dana APBN/APBD tersangkanya dijaring mulai dari panitia pengadaan barang, panitia pemeriksa barang, PPKom, Pengguna Anggaran ( Kepala SKPD ) dan pihak penyedia barang/jasa. Ketika dalam persidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah timbul kerugian keuangan negara / daerah , vonis Majelis Hakim hanya dihukum penjara ditambah denda terendah Rp. 50.000.000 yang apabila tidak dibayar harus diganti hukuman kurungan ( yang bervariasi ) 1 ( satu ) bulan atau 2 ( dua ) bulan dan ada yang 3 ( tiga ) bulan . Pelaku yang menjadi target beserta kerabatnya dalam menghadapi putusan Majelis Hakim yang tidak menetapkan kewajiban pembayaran uang pengganti merasa dizalimi secara sistematis sebab mereka yaqin bahwa dengan putusan seperti itu berarti pelaku benar-benar tidak korupsi tetapi tetap dihukum . Jenis putusan Majelis Hakim yang demikian ini hampir mencapai 80 % dari seluruh perkara yang telah disidangkan di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang .
Mengapa bisa terjadi ???
Praktek persidangan tentu saling berkaitan kepentingan secara liniair yaitu “kepentingan” dalam rangka mewujudkan prestisius jajaran kepolisian / kejaksaan dan jajaran kehakiman ( mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung ) untuk disuguhkan kepada pelapor mitranya sekaligus membangun pencitraan institusi penegak hukum yang bersangkutan .  Oleh sebab itu penyidik dengan sangat berani merekayasa kasus yang sebenarnya nyata-nyata bukan ranah pidana / pidana korupsi dalam rangka merealisasikan pesanan pelapor / pihak yang berkepentingan . Lembaga Negara yang memiliki kewenangan mengevaluasi kinerja penyidik sudah ditunggu masyarakat dan target yang sudah dianiaya , menertibkan dan menindak dengan tegas siapapun yang merekayasa kasus, kemudian melakukan pemulihan harkat dan martabat terpidana , mengajukan koreksi kepada Presiden RI terhadap peraturan perundangan yang menjadi penyebabnya, serta menganggarkan pembayaran kerugian materiil / imateriil bagi terpidana dalam kategori teraniaya tersebut .
Negara tidak berhak memiskinkan warga negaranya yang secara sah dan  meyakinkan telah terbukti melakukan korupsi yang diduga “ turut serta” dengan menjatuhkan hukuman tambahan denda paling rendah Rp. 50.000.000,00 apalagi terhadap terdakwa yang sebenarnya tidak terbukti melakukan korupsi . Seperti halnya terhadap panitia pemeriksa / penerima barang , jika JPU dan Majelis Hakim sangat paham kedudukan dan tugas pokok , fungi panitia itu sesuai Keputusan Presiden RI Nomor 80 Tahun 2003 dan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 hanya sekedar menerima barang menurut jenis, merk dan jumlahnya saja atas perintah PPKom dan atau Pengguna Anggaran, tentu tidak selayaknya dihukum sebab panitia penerima / pemeriksa barang tidak mungkin kongkalikong dengan penyedia barang, atau dengan PPKom atau dengan Pengguna Anggaran yang bertujuan menguntungkan dirinya sendiri atau pihak lain . Mereka tetap dijatuhi hukuman penjara dan didenda Rp. 50.000.000,00. Inilah yang dalam uraian di depan kami sebut sebagai pemiskinan “ yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh Majelis Hakim yang hanya menuruti bunyi Pasal 3 UU TPK No 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 “. Setelah dieksekusi secara zalim atas hukuman penjara , membayar uang pengganti dan didenda, para terpidana banyak yang memilih menjalani hukuman badan sebab tidak mampu membayar uang pengganti dan denda. Terpidana yang demikian rata-rata adalah PNS rendahan atau rakyat kecil yang menjadi ketua kelompok masyarakat setempat dengan tingkat ekonomi yang rendah/melarat. Bagi PNS / Kepala Desa yang menjadi terpidana korupsi pasti dipecat / diberhentikan tidak dengan hormat tanpa hak pensiun dari Instansinya. Pejabat pembina kepegawaian daerah ( Kepala Daerah ) kadang hanya memahami pengertian ancaman pidana hanya berdasarkan teks pasal tertentu dari Peraturan Perundangan yang mengatur PNS atau Peraturan Daerah yang mengatur tentang Kepala Desa. Kepala Daerah hampir tidak pernah konsultasi dengan Jaksa Penuntut Umum / Kajari mengenai ancaman hukuman terhadap PNS atau Kepala Desa yang dipidana karena korupsi . PNS atau Kepala Desa dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya jika telah dijatuhi hukuman pidana yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dengan ancaman sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun . Fakta yang ada justru menggambarkan adanya tindakan inskontitusional dari para Kepala Daerah Kabupaten / Kota , sebab terpidana yang hanya diancam ( dalam tuntutan JPU ) kurang dari 5 ( lima ) tahun tetap saja dipecat dengan tidak hormat dari PNS atau dari jabatan Kepala Desa. Sungguh luar biasa penderitaan PNS rendahan yang kebetulan ditugaskan Kepala SKPD-nya menjalankan tugas panitia pengadaan barang/jasa atau penitia pemeriksa/penerima barang , yang dalam persidangan tidak terungkap menerima gratifikasi sepeserpun harus dihukum badan ditambah denda dan dipecat status PNS-nya . Inilah kebiadaban Pejabat Negara kita dalam eforia memberantas korupsi, melakukan pemidanaan hanya bertujuan membuat jera dan memiskinkan PNS rendahan / Kepala Desa yang tidak korupsi.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah , apabila ada dugaan telah timbul kerugian daerah ( Pemda ) yang disebabkan perbuatan PNS bukan bendahara, maka Kepala Instansi yang bersangkutan melaporkan terlebih dahulu kepada Kepala Daerah , kemudian kepala daerah meminta BPK RI melakukan pemeriksaan / audit sesuai kewenangannya berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2004. Atas dasar Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) BPK RI tersebut maka Kepala Daerah menugaskan Majelis TPGR memeriksa PNS dan menyampaikan rekomendasi perintah pembayaran pengembalian kerugian daerah dalam jangka waktu tertentu sampai paling lambat 8 ( delapan ) tahun . Mekanisme ini sudah jarang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota sebab belum menetapkan Peraturan Daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tersebut. Sedangkan untuk penyelesaian kerugian daerah yang diakibatkan oleh pihak lain selain bendahara dan atau PNS bukan bendahara, dapat dilakukan langsung oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan .
Kerugian Daerah yang dimaksudkan dalam tulisan ini berbeda dengan pengertian kerugian keuangan daerah yang menjadi unsur perbuatan korupsi . Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang dimaksudkan dengan Kerugian Daerah adalah penerimaan kembali atas transaksi yang sudah dilakukan sesuai dengan kinerja yang sudah ditetapkan dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah ( DPA – SKPD ).
Bagi PNS yang menduduki kepanitiaan proses pengadaan barang/jasa atau panitia pemeriksa / penerimaa barang pada prinsipnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum pidana / pidana korupsi , kecuali nyata-nyata dalam persidangan terungkap ada alat bukti yang kuat dan sah ditambah ada saksi dibawah sumpah yang menyatakan keterlibatan mereka merekayasa proses pelelangan atau menerima barang yang diperiksanya yang tidak sesuai dengan perjanjian dalam kontrak antara PPKom dengan penyedia barang/jasa.
PNS sesuai kapasitas dalam Institusinya yang melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak tertentu dan telah memenuhi capaian kinerja yang dimaksud dalam perjanjian yang telah disepakati para pihak, tentu akan mengikuti / mematuhi ketentuan hukum keperdataan. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi ketentuan dalam perjanjian, mereka akan menyelesaikannya melalui gugatan keperdataan . Hal ini menjadi bagian ilustrasi dalam tulisan ini sebagai informasi kepada publik bahwa akibat ketidak pahaman dari aparat penegak hukum ada yang tetap bersemangat mengkriminalisasi kegiatan ranah perdata , seperti kasus CSR PT Antam yang dikerjasamakan dengan Unsud Purwokerto Jawa Tengah atau antara PT RBSJ Rembang – Jawa Tengah dengan PT SAB Karanganyar Provinsi Jawa Tengah . Mengapa kita tetap berpendapat bahwa kerjasama CSR antara PT Antam dengan Rektor Unsud Purwokerto dikriminalisasi ? Alasan hukumnya antara lain : 1) Bahwa suatu kerjasama dua pihak pada hakekatnya mengikat para pihak , sehingga jika ada yang tidak memenuhi kewajiban / tidak menerima hak sebagaimana mestinya penyelesaiannya adalah dimusyawarahkan, jika gagal tentu melalui gugatan di pengadilan yang ditunjuk; 2) Bahwa kinerja yang dikehendaki PT Antam melalui program CSR itu sudah seluruhnya dipenuhi oleh Rektor Unsud Purwokerto , sehingga ketika ada pihak lain yang mempersoalkan tentu tidak pada tempatnya ; 3) Saksi dari PT Antam dalam persidangan sudah menegaskan bahwa dalam kerjasama CSR dengan Rektor Unsud tidak ada persoalan keuangan, tidak ada persoalan hukum, tidak ada kerugian yang diderita PT Antam ; MENGAPA KEJARI PURWOKERTO TETAP MENGKRIMINALISASI CSR menjadi kasus KORUPSI ?? Jika semua pihak mempelajari substansi kerjasama CSR ini, tentu akan berpendapat sangat prematuer ketika dipaksakan sebagai perkara korupsi . 

Tidak berbeda jauh dengan perkara "korupsi" yang dituduhkan kepada Direktur SAB , sdr Imam Sudjono . Kerjasama antar Perseroan Terbatas ( PT ) berlangsung antara tahun 2008 - 2010 yang sudah diikat dengan perjanjian tertulis mengenai budi daya bibit tebu dan tanaman tebu giling seluas antara 850 Ha - 1054 Ha . Tahun pertama kewajiban PT SAB setor pendapatan dan keuntungan kepada PT RBSJ dipenuhi, demikian juga kewajiban pada tahun kedua . Kemudian pada tahun kedua ( 2009 ) ada audit dari BPK . Dalam LHP BPK disebutkan bahwa kewajiban PT SAB masih kurang sebanyak kurang lebih Rp. 10 milyar sd Rp. 11 milyar . Kesimpulan LHP BPK menyatakan bahwa PT SAB wanprestasi , dan wajib diselesaikan pada tahun 2010 . Persoalan perdata antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar ini , akhirnya dengan meminjam tangan BPKP Perwakilan Jawa Tengah, Kejati Jawa Tengah berhasil mendapatkan bukti ada kerugian negara Rp. 4,2 Milyar atas perbuatan Direktur PT SAB . Pertanyaannya adalah , mengapa terlalu berani mengelabuhi publik , disatu sisi mengabaikan LHP BPK tahun 2009 , tetapi kemudian memaksakan LHP BPKP tahun 2013 setelah sdr Imam Sudjono ditahan di LP Kedungpane ? Publik sangat paham bahwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004, auditor yang diberi wewenang memeriksa keuangan negara / daerah  dan menetapkan kerugian negara / daerah adalah hanya BPK , BUKAN ....  BPKP . Tetapi, bagaimanapun terdakwa sudah secara detail membela diri dalam persidangan, dengan bukti-bukti komplit bahwa ada surat keterangan dari Polda Jateng yang menyatakan bahwa kasus antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar adalah PERDATA, hakim tetap menghukum terdakwa Imam Sudjono sangat berat , lebih dari 5 tahun . Kerjasama itu terjadi tahun 2008, tetapi penyertaan modal Pemkab Rembang tahun 2006 kepada PT RBSJ Rembang dijadikan pijakan untuk mengkriminalisasi sdr Imam Sudjono. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses penetapan Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Daerah ke PT RBSJ Rembang tidak disentuh sedikitpun oleh aparat penegak hukum . Bupati Rembang dan Seluruh Pansus DPRD yang menyetujui penyertaan modal itu bebas. OPO TUMON ??. 

Etika yang berlaku antar lembaga pemerintahan / lembaga negara sudah diabaikan . Kewenangan atribusi sebagai auditor sah berdasarkan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 yang melekat pada Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) , diabaikan oleh aparat penegak hukum dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP )  . Menjadi kewajiban auditor BPK untuk menetapkan apakah sebuah pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah dalam kategori WTP ATAU WDP ATAU DISCLAMER yang wajib dirilis dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) . 

Dan menjadi kewajiban Ka BPK untuk merekomendasikan sebuah catatan " paragraf program " dalam sebuah pengelolaan keuangan negara / pemerintah daerah dalam kategori disclamer kepada aparat yang berwajib guna diselidiki lebih lanjut . Apabila tidak ada rekomendasi semacam itu, lazimnya adalah rekomendasi cukup disampaikan kepada Pimpinan Lembaga negara / Kepala Daerah untuk menindak lanjuti sesuai rekomendasi dalam batas waktu tertentu , kemudian dievaluasi BPK . Inilah etika pemeriksaan yang sejatinya harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, termasuk oleh BPKP dan aparat penegak hukum . 

Direktur PT RBSJ Rembang juga luput dari tuntutan tanggung jawab hukum, walupun sebenarnya pelaku utamanya. Tetapi mengapa JPU dan Majelis Hakim menjadi sepakat menetapkan SEOLAH OLAH YANG MEMPUNYAI IDE MERAMPOK KAS DAERAH TAHUN 2006 ADALAH SDR IMAM SUDJONO ???. Kerjasama antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar yang dalam audit BPK sudah dinyatakan ada wanprestasi PT SAB Karanganyar, kemudian direkayasa oleh Penyidik Kejati dengan meminta jasa BPKP di tahun 2013 menjadi timbul kerugian keuangan daerah sebesar Rp. 4,2 milyar .

Semoga carut marut pelaksanaan pemberantasan korupsi dengan biaya besar dari APBN yang dialokasikan ke Institusi Kepolisian / Kejaksaan dan Kehakiman yang jelas tidak menuai hasil maksimal, sebab banyak kriminalisasi perkara yang dilaksanakan di wilayah hukum Jawa Tengah HARUS DIHENTIKAN, setidak - tidaknya DITINJAU KEMBALI KINERJA APH dan HAKIM . Banyak vonis Majelis Hakim yang tidak mampu memerintahkan kepada terdakwa untuk mengembalikan kerugian keuangan negara / daerah karena terdakwa bukan pelakunya .

Semarang , 19 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar