PEMISKINAN DALAM KORUPSI
Dalam tulisan Harkat Martabat Dilecehkan
paragraf (1) tanggal 17 September 2014 , praktek pemidanaan terhadap “target”
pelaku tipikor di Jawa Tengah sudah bertentangan dengan Firman Allah SWT dalam
surah Al Maa-idah ( 5 : 38 ) sebab belum terjadi perbuatan yang nyata dan tidak
dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan telah menimbulkan kerugian keuangan
negara / daerah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Semarang
sewenang-wenang menghukum seseorang yang tidak bersalah . Hukuman bisa tiga
macam sekaligus yaitu penjara, membayar uang pengganti dan di denda . Fakta
membuktikan bahwa terhadap sebagian perkara yang direkayasa seluruh pihak yang
“pantas dijadikan target” , misalnya dalam perkara dugaan penyimpangan
pengadaan barang dengan dana APBN/APBD tersangkanya dijaring mulai dari panitia
pengadaan barang, panitia pemeriksa barang, PPKom, Pengguna Anggaran ( Kepala
SKPD ) dan pihak penyedia barang/jasa. Ketika dalam persidangan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan telah timbul kerugian keuangan negara / daerah ,
vonis Majelis Hakim hanya dihukum penjara ditambah denda terendah Rp.
50.000.000 yang apabila tidak dibayar harus diganti hukuman kurungan ( yang
bervariasi ) 1 ( satu ) bulan atau 2 ( dua ) bulan dan ada yang 3 ( tiga )
bulan . Pelaku yang menjadi target beserta kerabatnya dalam menghadapi putusan
Majelis Hakim yang tidak menetapkan kewajiban pembayaran uang pengganti merasa
dizalimi secara sistematis sebab mereka yaqin bahwa dengan putusan seperti itu
berarti pelaku benar-benar tidak korupsi tetapi tetap dihukum . Jenis putusan
Majelis Hakim yang demikian ini hampir mencapai 80 % dari seluruh perkara yang
telah disidangkan di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang .
Mengapa bisa terjadi ???
Praktek persidangan tentu saling berkaitan
kepentingan secara liniair yaitu “kepentingan” dalam rangka mewujudkan
prestisius jajaran kepolisian / kejaksaan dan jajaran kehakiman ( mulai dari
pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung ) untuk disuguhkan kepada
pelapor mitranya sekaligus membangun pencitraan institusi penegak hukum yang
bersangkutan . Oleh sebab itu penyidik
dengan sangat berani merekayasa kasus yang sebenarnya nyata-nyata bukan ranah
pidana / pidana korupsi dalam rangka merealisasikan pesanan pelapor / pihak
yang berkepentingan . Lembaga Negara yang memiliki kewenangan mengevaluasi
kinerja penyidik sudah ditunggu masyarakat dan target yang sudah dianiaya ,
menertibkan dan menindak dengan tegas siapapun yang merekayasa kasus, kemudian
melakukan pemulihan harkat dan martabat terpidana , mengajukan koreksi kepada
Presiden RI terhadap peraturan perundangan yang menjadi penyebabnya, serta menganggarkan
pembayaran kerugian materiil / imateriil bagi terpidana dalam kategori
teraniaya tersebut .
Negara tidak berhak memiskinkan warga
negaranya yang secara sah dan meyakinkan
telah terbukti melakukan korupsi yang diduga “ turut serta” dengan menjatuhkan
hukuman tambahan denda paling rendah Rp. 50.000.000,00 apalagi terhadap
terdakwa yang sebenarnya tidak terbukti melakukan korupsi . Seperti halnya
terhadap panitia pemeriksa / penerima barang , jika JPU dan Majelis Hakim
sangat paham kedudukan dan tugas pokok , fungi panitia itu sesuai Keputusan
Presiden RI Nomor 80 Tahun 2003 dan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010
hanya sekedar menerima barang menurut jenis, merk dan jumlahnya saja atas
perintah PPKom dan atau Pengguna Anggaran, tentu tidak selayaknya dihukum sebab
panitia penerima / pemeriksa barang tidak mungkin kongkalikong dengan penyedia
barang, atau dengan PPKom atau dengan Pengguna Anggaran yang bertujuan menguntungkan
dirinya sendiri atau pihak lain . Mereka tetap dijatuhi hukuman penjara dan
didenda Rp. 50.000.000,00. Inilah yang dalam uraian di depan kami sebut sebagai
pemiskinan “ yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh Majelis Hakim yang
hanya menuruti bunyi Pasal 3 UU TPK No 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 “.
Setelah dieksekusi secara zalim atas hukuman penjara , membayar uang pengganti dan
didenda, para terpidana banyak yang memilih menjalani hukuman badan sebab tidak
mampu membayar uang pengganti dan denda. Terpidana yang demikian rata-rata
adalah PNS rendahan atau rakyat kecil yang menjadi ketua kelompok masyarakat
setempat dengan tingkat ekonomi yang rendah/melarat. Bagi PNS / Kepala Desa
yang menjadi terpidana korupsi pasti dipecat / diberhentikan tidak dengan
hormat tanpa hak pensiun dari Instansinya. Pejabat pembina kepegawaian daerah (
Kepala Daerah ) kadang hanya memahami pengertian ancaman pidana hanya
berdasarkan teks pasal tertentu dari Peraturan Perundangan yang mengatur PNS
atau Peraturan Daerah yang mengatur tentang Kepala Desa. Kepala Daerah hampir
tidak pernah konsultasi dengan Jaksa Penuntut Umum / Kajari mengenai ancaman
hukuman terhadap PNS atau Kepala Desa yang dipidana karena korupsi . PNS atau
Kepala Desa dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya jika telah
dijatuhi hukuman pidana yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dengan
ancaman sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun . Fakta yang ada justru
menggambarkan adanya tindakan inskontitusional dari para Kepala Daerah
Kabupaten / Kota , sebab terpidana yang hanya diancam ( dalam tuntutan JPU )
kurang dari 5 ( lima ) tahun tetap saja dipecat dengan tidak hormat dari PNS
atau dari jabatan Kepala Desa. Sungguh luar biasa penderitaan PNS rendahan yang
kebetulan ditugaskan Kepala SKPD-nya menjalankan tugas panitia pengadaan
barang/jasa atau penitia pemeriksa/penerima barang , yang dalam persidangan
tidak terungkap menerima gratifikasi sepeserpun harus dihukum badan ditambah
denda dan dipecat status PNS-nya . Inilah kebiadaban Pejabat Negara kita dalam
eforia memberantas korupsi, melakukan pemidanaan hanya bertujuan membuat jera
dan memiskinkan PNS rendahan / Kepala Desa yang tidak korupsi.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah , apabila ada dugaan telah
timbul kerugian daerah ( Pemda ) yang disebabkan perbuatan PNS bukan bendahara,
maka Kepala Instansi yang bersangkutan melaporkan terlebih dahulu kepada Kepala
Daerah , kemudian kepala daerah meminta BPK RI melakukan pemeriksaan / audit
sesuai kewenangannya berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2004. Atas
dasar Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) BPK RI tersebut maka Kepala Daerah
menugaskan Majelis TPGR memeriksa PNS dan menyampaikan rekomendasi perintah
pembayaran pengembalian kerugian daerah dalam jangka waktu tertentu sampai
paling lambat 8 ( delapan ) tahun . Mekanisme ini sudah jarang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota sebab belum menetapkan Peraturan Daerah
sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005
dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tersebut. Sedangkan untuk penyelesaian
kerugian daerah yang diakibatkan oleh pihak lain selain bendahara dan atau PNS
bukan bendahara, dapat dilakukan langsung oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang bersangkutan .
Kerugian Daerah yang dimaksudkan dalam tulisan
ini berbeda dengan pengertian kerugian keuangan daerah yang menjadi unsur
perbuatan korupsi . Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang dimaksudkan dengan Kerugian Daerah adalah
penerimaan kembali atas transaksi yang sudah dilakukan sesuai dengan kinerja
yang sudah ditetapkan dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah ( DPA – SKPD ).
Bagi PNS yang menduduki kepanitiaan proses
pengadaan barang/jasa atau panitia pemeriksa / penerimaa barang pada prinsipnya
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum pidana / pidana korupsi ,
kecuali nyata-nyata dalam persidangan terungkap ada alat bukti yang kuat dan
sah ditambah ada saksi dibawah sumpah yang menyatakan keterlibatan mereka
merekayasa proses pelelangan atau menerima barang yang diperiksanya yang tidak
sesuai dengan perjanjian dalam kontrak antara PPKom dengan penyedia barang/jasa.
PNS sesuai kapasitas dalam Institusinya yang
melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak tertentu dan telah memenuhi capaian
kinerja yang dimaksud dalam perjanjian yang telah disepakati para pihak, tentu
akan mengikuti / mematuhi ketentuan hukum keperdataan. Apabila salah satu pihak
tidak memenuhi ketentuan dalam perjanjian, mereka akan menyelesaikannya melalui
gugatan keperdataan . Hal ini menjadi bagian ilustrasi dalam tulisan ini
sebagai informasi kepada publik bahwa akibat ketidak pahaman dari aparat penegak
hukum ada yang tetap bersemangat mengkriminalisasi kegiatan ranah perdata ,
seperti kasus CSR PT Antam yang dikerjasamakan dengan Unsud Purwokerto Jawa
Tengah atau antara PT RBSJ Rembang – Jawa Tengah dengan PT SAB Karanganyar Provinsi Jawa Tengah . Mengapa kita tetap berpendapat bahwa kerjasama CSR antara PT Antam dengan Rektor Unsud Purwokerto dikriminalisasi ? Alasan hukumnya antara lain : 1) Bahwa suatu kerjasama dua pihak pada hakekatnya mengikat para pihak , sehingga jika ada yang tidak memenuhi kewajiban / tidak menerima hak sebagaimana mestinya penyelesaiannya adalah dimusyawarahkan, jika gagal tentu melalui gugatan di pengadilan yang ditunjuk; 2) Bahwa kinerja yang dikehendaki PT Antam melalui program CSR itu sudah seluruhnya dipenuhi oleh Rektor Unsud Purwokerto , sehingga ketika ada pihak lain yang mempersoalkan tentu tidak pada tempatnya ; 3) Saksi dari PT Antam dalam persidangan sudah menegaskan bahwa dalam kerjasama CSR dengan Rektor Unsud tidak ada persoalan keuangan, tidak ada persoalan hukum, tidak ada kerugian yang diderita PT Antam ; MENGAPA KEJARI PURWOKERTO TETAP MENGKRIMINALISASI CSR menjadi kasus KORUPSI ?? Jika semua pihak mempelajari substansi kerjasama CSR ini, tentu akan berpendapat sangat prematuer ketika dipaksakan sebagai perkara korupsi .
Tidak berbeda jauh dengan perkara "korupsi" yang dituduhkan kepada Direktur SAB , sdr Imam Sudjono . Kerjasama antar Perseroan Terbatas ( PT ) berlangsung antara tahun 2008 - 2010 yang sudah diikat dengan perjanjian tertulis mengenai budi daya bibit tebu dan tanaman tebu giling seluas antara 850 Ha - 1054 Ha . Tahun pertama kewajiban PT SAB setor pendapatan dan keuntungan kepada PT RBSJ dipenuhi, demikian juga kewajiban pada tahun kedua . Kemudian pada tahun kedua ( 2009 ) ada audit dari BPK . Dalam LHP BPK disebutkan bahwa kewajiban PT SAB masih kurang sebanyak kurang lebih Rp. 10 milyar sd Rp. 11 milyar . Kesimpulan LHP BPK menyatakan bahwa PT SAB wanprestasi , dan wajib diselesaikan pada tahun 2010 . Persoalan perdata antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar ini , akhirnya dengan meminjam tangan BPKP Perwakilan Jawa Tengah, Kejati Jawa Tengah berhasil mendapatkan bukti ada kerugian negara Rp. 4,2 Milyar atas perbuatan Direktur PT SAB . Pertanyaannya adalah , mengapa terlalu berani mengelabuhi publik , disatu sisi mengabaikan LHP BPK tahun 2009 , tetapi kemudian memaksakan LHP BPKP tahun 2013 setelah sdr Imam Sudjono ditahan di LP Kedungpane ? Publik sangat paham bahwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004, auditor yang diberi wewenang memeriksa keuangan negara / daerah dan menetapkan kerugian negara / daerah adalah hanya BPK , BUKAN .... BPKP . Tetapi, bagaimanapun terdakwa sudah secara detail membela diri dalam persidangan, dengan bukti-bukti komplit bahwa ada surat keterangan dari Polda Jateng yang menyatakan bahwa kasus antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar adalah PERDATA, hakim tetap menghukum terdakwa Imam Sudjono sangat berat , lebih dari 5 tahun . Kerjasama itu terjadi tahun 2008, tetapi penyertaan modal Pemkab Rembang tahun 2006 kepada PT RBSJ Rembang dijadikan pijakan untuk mengkriminalisasi sdr Imam Sudjono. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses penetapan Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Daerah ke PT RBSJ Rembang tidak disentuh sedikitpun oleh aparat penegak hukum . Bupati Rembang dan Seluruh Pansus DPRD yang menyetujui penyertaan modal itu bebas. OPO TUMON ??.
Etika yang berlaku antar lembaga pemerintahan / lembaga negara sudah diabaikan . Kewenangan atribusi sebagai auditor sah berdasarkan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 yang melekat pada Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) , diabaikan oleh aparat penegak hukum dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) . Menjadi kewajiban auditor BPK untuk menetapkan apakah sebuah pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah dalam kategori WTP ATAU WDP ATAU DISCLAMER yang wajib dirilis dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) .
Dan menjadi kewajiban Ka BPK untuk merekomendasikan sebuah catatan " paragraf program " dalam sebuah pengelolaan keuangan negara / pemerintah daerah dalam kategori disclamer kepada aparat yang berwajib guna diselidiki lebih lanjut . Apabila tidak ada rekomendasi semacam itu, lazimnya adalah rekomendasi cukup disampaikan kepada Pimpinan Lembaga negara / Kepala Daerah untuk menindak lanjuti sesuai rekomendasi dalam batas waktu tertentu , kemudian dievaluasi BPK . Inilah etika pemeriksaan yang sejatinya harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, termasuk oleh BPKP dan aparat penegak hukum .
Direktur PT RBSJ Rembang juga luput dari tuntutan tanggung jawab hukum, walupun sebenarnya pelaku utamanya. Tetapi mengapa JPU dan Majelis Hakim menjadi sepakat menetapkan SEOLAH OLAH YANG MEMPUNYAI IDE MERAMPOK KAS DAERAH TAHUN 2006 ADALAH SDR IMAM SUDJONO ???. Kerjasama antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar yang dalam audit BPK sudah dinyatakan ada wanprestasi PT SAB Karanganyar, kemudian direkayasa oleh Penyidik Kejati dengan meminta jasa BPKP di tahun 2013 menjadi timbul kerugian keuangan daerah sebesar Rp. 4,2 milyar .
Tidak berbeda jauh dengan perkara "korupsi" yang dituduhkan kepada Direktur SAB , sdr Imam Sudjono . Kerjasama antar Perseroan Terbatas ( PT ) berlangsung antara tahun 2008 - 2010 yang sudah diikat dengan perjanjian tertulis mengenai budi daya bibit tebu dan tanaman tebu giling seluas antara 850 Ha - 1054 Ha . Tahun pertama kewajiban PT SAB setor pendapatan dan keuntungan kepada PT RBSJ dipenuhi, demikian juga kewajiban pada tahun kedua . Kemudian pada tahun kedua ( 2009 ) ada audit dari BPK . Dalam LHP BPK disebutkan bahwa kewajiban PT SAB masih kurang sebanyak kurang lebih Rp. 10 milyar sd Rp. 11 milyar . Kesimpulan LHP BPK menyatakan bahwa PT SAB wanprestasi , dan wajib diselesaikan pada tahun 2010 . Persoalan perdata antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar ini , akhirnya dengan meminjam tangan BPKP Perwakilan Jawa Tengah, Kejati Jawa Tengah berhasil mendapatkan bukti ada kerugian negara Rp. 4,2 Milyar atas perbuatan Direktur PT SAB . Pertanyaannya adalah , mengapa terlalu berani mengelabuhi publik , disatu sisi mengabaikan LHP BPK tahun 2009 , tetapi kemudian memaksakan LHP BPKP tahun 2013 setelah sdr Imam Sudjono ditahan di LP Kedungpane ? Publik sangat paham bahwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004, auditor yang diberi wewenang memeriksa keuangan negara / daerah dan menetapkan kerugian negara / daerah adalah hanya BPK , BUKAN .... BPKP . Tetapi, bagaimanapun terdakwa sudah secara detail membela diri dalam persidangan, dengan bukti-bukti komplit bahwa ada surat keterangan dari Polda Jateng yang menyatakan bahwa kasus antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar adalah PERDATA, hakim tetap menghukum terdakwa Imam Sudjono sangat berat , lebih dari 5 tahun . Kerjasama itu terjadi tahun 2008, tetapi penyertaan modal Pemkab Rembang tahun 2006 kepada PT RBSJ Rembang dijadikan pijakan untuk mengkriminalisasi sdr Imam Sudjono. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses penetapan Peraturan Daerah tentang Penyertaan Modal Daerah ke PT RBSJ Rembang tidak disentuh sedikitpun oleh aparat penegak hukum . Bupati Rembang dan Seluruh Pansus DPRD yang menyetujui penyertaan modal itu bebas. OPO TUMON ??.
Etika yang berlaku antar lembaga pemerintahan / lembaga negara sudah diabaikan . Kewenangan atribusi sebagai auditor sah berdasarkan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 yang melekat pada Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) , diabaikan oleh aparat penegak hukum dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) . Menjadi kewajiban auditor BPK untuk menetapkan apakah sebuah pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah dalam kategori WTP ATAU WDP ATAU DISCLAMER yang wajib dirilis dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) .
Dan menjadi kewajiban Ka BPK untuk merekomendasikan sebuah catatan " paragraf program " dalam sebuah pengelolaan keuangan negara / pemerintah daerah dalam kategori disclamer kepada aparat yang berwajib guna diselidiki lebih lanjut . Apabila tidak ada rekomendasi semacam itu, lazimnya adalah rekomendasi cukup disampaikan kepada Pimpinan Lembaga negara / Kepala Daerah untuk menindak lanjuti sesuai rekomendasi dalam batas waktu tertentu , kemudian dievaluasi BPK . Inilah etika pemeriksaan yang sejatinya harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, termasuk oleh BPKP dan aparat penegak hukum .
Direktur PT RBSJ Rembang juga luput dari tuntutan tanggung jawab hukum, walupun sebenarnya pelaku utamanya. Tetapi mengapa JPU dan Majelis Hakim menjadi sepakat menetapkan SEOLAH OLAH YANG MEMPUNYAI IDE MERAMPOK KAS DAERAH TAHUN 2006 ADALAH SDR IMAM SUDJONO ???. Kerjasama antara PT RBSJ Rembang dengan PT SAB Karanganyar yang dalam audit BPK sudah dinyatakan ada wanprestasi PT SAB Karanganyar, kemudian direkayasa oleh Penyidik Kejati dengan meminta jasa BPKP di tahun 2013 menjadi timbul kerugian keuangan daerah sebesar Rp. 4,2 milyar .
Semoga carut marut pelaksanaan pemberantasan
korupsi dengan biaya besar dari APBN yang dialokasikan ke Institusi Kepolisian
/ Kejaksaan dan Kehakiman yang jelas tidak menuai hasil maksimal, sebab banyak
kriminalisasi perkara yang dilaksanakan di wilayah hukum Jawa Tengah HARUS DIHENTIKAN, setidak - tidaknya DITINJAU KEMBALI KINERJA APH dan HAKIM . Banyak vonis Majelis Hakim yang tidak mampu memerintahkan kepada terdakwa untuk mengembalikan kerugian
keuangan negara / daerah karena terdakwa bukan pelakunya .
Semarang , 19 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar