Minggu, 28 September 2014

HAKIM MENGADILI SENDIRI - BISAKAH BERTINDAK ADIL

KEADILAN MASYARAKAT MAHAL

Masyarakat Indonesia sebagian besar tidak paham hukum ?
Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang menggelayuti pikiran setiap insan , baik dari kalangan akademisi, kalangan praktisi ataupun dari kalangan profesi .Mereka memiliki jawaban yang bervariasi , bisa membenarkan jawaban bahwa sebagian besar masyarakat tidak paham hukum ketika dalam praktek kehidupan sehari-harinya selalu ada suguhan melalui tayangan televisi atau pemberitaan melalui media cetak tentang meningkatnya pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, pencurian dengan kekerasan, korupsi , penguasaan atas tanah tanpa ijin yang berhak, pedagang kaki lima sulit mematuhi peraturan daerah , pengendara mobil / motor tanpa surat ijin mengemudi, jual beli mobil bodong, penipuan CPNS , TKI ilegal bermasalah di luar negeri , penyuapan Hakim atau Jaksa , overlapping kewenangan dalam penanganan perbuatan melawan hukum. 
Apabila diidentifikasi secara cermat , ketidak pahaman terhadap azas hukum dalam praktek penegakan hukum barangkali bukan ada di pihak masyarakat awam , melainkan justru sengaja dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan tujuan masyarakat awam bisa menjadi objek permainan hukum mereka . Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Jawa Tengah terkuak beberapa jaksa penyidik "lupa" menyertakan titipan barang bukti kerugian keuangan negara/daerah kepada Jaksa Penuntut Umum ketika menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Tipikor Semarang . Seperti halnya yang dialami terdakwa Drw dari Kejaksaan Negeri di wilayah Eks Karesidenan Pekalongan sebesar kurang lebih Rp. 22.000.000 ( dua puluh dua juta rupiah ) . Ketika persoalan ini diungkapkan terdakwa kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Semarang, dan Hakim menanyakan kepada JPU , memperoleh jawaban bahwa JPU tidak mendapatkan penyerahan dari Jaksa Penyidik kasus tersebut . Kemudian terdakwa Drw menunjukkan sebuah kwitansi bukti penerimaan uang titipan itu yang jelas disebutkan sebagai pengembalian kerugian negara / daerah , ditanda tangani Jaksa Penyidik dan di stempel resmi milik Kejari tersebut. JPU tetap saja menuntut hukuman yang tinggi kepada terdakwa Drw dan titipan pengembalian kerugian keuangan negara tidak dijadikan salah satu pertimbangan meringankan hukuman terdakwa. 
Ketika hal ini dikonfirmasikan terdakwa kepada Komisi Pemberantasan Korupsi ( Direktorat Dumas dan Direktorat Gratifikasi ) memperoleh jawaban bahwa itu bukan delik pidana khusus yang bisa dijeratkan kepada Jaksa Penyidik, tetapi pelanggaran kode etik , dan laporannya hanya kepada Komisi Kejaksaan . 
Coba dibandingkan dengan kasus terdakwa Spdin dari Kabupaten Kebumen , yang perkaranya direkayasa oleh penyidik dari Polres Kebumen. Seharusnya terdakwa Spdin tidak patut ditersangkakan korupsi sebab saat penyelidikan dia selaku Ketua Kelompok penggaduh sapi bantuan Menteri Pertanian tidak pernah menjual sapi gaduhannya. Kemudian dibujuk penyidiknya agar menjual, namun tetap tidak mau. Tapi karena takut diancam terus, akhirnya sapi dijualkan penyidiknya sendiri, kemudian uang hasil penjualan dijadikan barang bukti . Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang, JPU mendakwa terdakwa Spdin merugikan keuangan negara Rp. 103.000.000 . Namun tidak dapat dibuktikan, dan sebaliknya Majelis Hakim hanya memaksakan pendapatnya sendiri , seolah - olah ada kerugian negara Rp. 1.300.000 sehingga menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun dan 8 bulan ditambah denda Rp. 50.000.000. 
Mengapa Jaksa Penyidik yang menggelapkan uang titipan terdakwa Drw tidak dapat ditindak menurut hukum pidana khusus ??? Inilah potret yang nyata terjadi , bahwa penerapan hukum pidana khusus sudah membabi buta dengan dalih aparat penegak hukum harus berprestasi karena sudah disiapkan anggaran yang menggiurkan dari APBN , tidak penting apakah masyarakat sasaran yang ditargetkan sebagai calon yang akan dipenjarakan dengan rekayasa paham hukum apa tidak . Aparat penegak hukum selalu berlindung dibawah gelombang kehendak rakyat .Masyarakat luas dan ahli-ahli hukum belum pernah mendengar rekayasa - rekayasa kasus "korupsi" . Masyarakat luas yang awam hukum pun sudah dikondisikan bahwa korupsi adalah perbuatan keji yang merampok uang rakyat / uang negara untuk memperkaya diri pelaku, seperti yang dipertontonkan dalam persidangan tipikor di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan JPU dari KPK.
Pengadilan tipikor tingkat pertama di Daerah ( seperti di Semarang ) , dengan acara persidangan berdasarkan KUHAP masih mengadili langsung terdakwa , mendapatkan sodoran alat bukti dari JPU dan mendengarkan keterangan saksi-saksi di bawah sumpah dan atau saksi-saksi yang diajukan terdakwa . Dengan persidangan yang benar saja masih bisa nekat seenaknya sendiri MENGADILI dan MEMUTUSKAN, artinya tidak pernah berposisi netral , menempatkan dirinya paling berkuasa di ruang sidang itu sebagai wakil Tuhan kemudian atas intuisinya / instingnya mengabaikan keterangan saksi yang nyata-nyata meringankan terdakwa , mengabaikan fakta persidangan, dan akhirnya hanya menstempel untuk sebuah permohonan penghukuman terdakwa dari JPU . Putusannya melenceng dari fakta persidangan , kalau di pengadilan negeri tipikor Semarang cukup meng-copy paste surat tuntutan dan atau surat dakwaan JPU. Jadi .... tidak ada gunanya proses panjang sidang yang digelar seolah-olah sungguhan, namun endingnya cukup copy paste folder surat tuntutan / dakwaan JPU. Hanya dengan begitu tamatlah kehidupan terdakwa beserta keluarga besarnya dimata masyarakat tetapi tidak dihadapan Allah SWT . Dalam tulisan sebelumnya juga sudah diungkapkan betapa terpidana korupsi dari PN Tipikor Semarang sebenarnya adalah korban yang harus dikorbankan oleh sebuah konpirasi asing yang memaksakan reformasi hukum bersamaan dengan reformasi demokratisasi di Indonesia .
Seperti yang diderita oleh Bapak SOEMARMO mantan Walikota Semarang, pada tahapan PK beliau diridlai Allah SWT menghadapi Majelis Hakim PK yang insyaallah derajat ketaqwaannya menjadi teladan, sehingga berani memutuskan bebas murni untuk Pak Soemarmo. Namun beliau sudah dihancurkan harkat dan martabatnya di awal proses hukum yang seharusnya menganut azas praduga tak bersalah , melalui kacung-kacung penjual informasi murahan yang bobotnya fitnah , kemudian di blow up melalui media televisi dan atau media cetak, kemudian juga dipecat dari jabatan Walikota Semarang . Apa jaminan Negara terhadap mantan terpidana yang bebas murni seperti Bapak Soemarmo ini ?? . Sebaliknya apa jenis sanksi hukum yang harus dijatuhkan Pemerintah / Negara terhadap Pelapornya, Jaksa Penyidik KPK, JPU KPK, Pimpinan KPK dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta serta Majelis Hakim di Mahkamah Agung RI yang secara arogan , tidak profesional kemudian salah menghukum Bapak Soemarmo yang tidak bersalah ??. Hai ..... Bapak Presiden RI ...... apakah anda akan membisu seribu bahasa terhadap salah satu contoh kasus korupsi rekayasa seperti ini ??? . Padahal akan anda temukan kasus korupsi rekayasa di Jawa Tengah jika anda diujung akhir jabatan Presiden RI ini anda perintahkan Tim Mafia Hukum untuk menelusurinya sehingga akan menjadi bagian yang baik bagi pertanggung jawaban anda kepada Allah SWT ( istilahnya : KHUSNUL KHOTIMAH ). Permintaan korban-korban rekayasa kasus korupsi : sebaiknya mulai dari pelapor kasus, Jaksa / Polisi penyidik, atasan penyidik , JPU dan Majelis Hakimnya dipecat dari statusnya pegawai negara / pegawai negeri sipil dan tetap dihukum berat ( seumur hidup atau mati ) .
Di Pengadilan Banding Jawa Tengah juga pernah memutuskan bebas atas 2 ( dua ) orang terdakwa yang dikait-kaitkan dengan kasus rekayasa tukar guling tanah milik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang terletak di Desa Nyatnyono Kabupaten Semarang . Namun Majelis Hakim PN Tipikor Semarang salah menghukum terdakwa sdr HARYANTO , yang berdasarkan fakta dan alat bukti yang dimiliki terdakwa, dia sebenarnya sama sekali tidak terkait langsung dengan tuduhan adanya kerugian daerah terkait dengan tukar guling tersebut. Sdr Haryanto divonis penjara 4 tahun dan 6 bulan, ditambah denda Rp. 200.000.000 . Ini hukuman apa sih ???. Karena sdr Haryanto hanya seorang pegawai desa Nyatnyono , yaitu kepala urusan, dan tidak paham bagaimana membela dirinya, pasrah, tidak banding . Hukum brutal, atau Majelis Hakimnya yang tak punya nurani ke-Tuhanan sama sekali ? Dalam satu paket kasus rekayasa, 2 orang terdakwa yang bebas dari tuntutan hukum adalah pegawai / pejabat kantor Pertanahan Kab Semarang, sdr Haryanto yang hanya wong cilik tetap harus dihukum .

BAGAIMANA MAJELIS HAKIM BANDING DI JAWA TENGAH ???
Bagaimana dengan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang melayani banding JPU atau terdakwa  sebenarnya diberi opsi mengadili ulang atau MENGADILI SENDIRI . Hampir tidak pernah ada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tipikor Jawa Tengah memilih mengadili ulang dengan memeriksa kembali terdakwa dan saksi-saksi . Menurut masyarakat umum, peradilan yang fair adalah bukan sekedar meneliti berkas, kertas yang bisu , tetapi berkas tadi bicaranya melalui tulisan yang direkayasa oleh panitera dan JPU demi memenangkan misi menghukumnya .   Mengadili sendiri , artinya tidak pernah memeriksa ulang terdakwa dan saksi-saksi, apakah persidangannya masih layak diketok dengan palu oleh Majelis Hakim sebagai persidangan terbuka untuk umum ? Barangkali terbuka untuk syethon - lah kali ????.Mengapa terbuka untuk syethon ? Bisikan syethon pasti ke arah yang jelek-jelek . Majelis Hakim tingkat pertama dan tingkat banding, bahkan sampai di Mahkamah Agung hanya berpedoman tabel yang sudah dibakukan , yaitu vonis sekurang-kurangnya 2/3 tuntutan JPU . Majelis hakim banding pasti akan menambah hukuman jika Majelis Hakim tingkat pertama belum memvonis mendekati 2/3 tuntutan JPU . Yang aneh dan sekedar populis ya di Mahkamah Agung RI , ada vonis melebihi tuntutan JPU . Figur Hakim Agung yang menjadi dominant of opportunist ( gragas ) bisa jadi menyenangi kesengsaraan orang ketimbang mengingat akan kematiannya kelak akan menerima apa dari Allah SWT . Dalam surah Al Ahzab Allah SWT memperingatkan bahwa Hakim yang memutuskan menyimpang dari kebenaran yang menjadi ketentuan Allah digolongkan orang Kafir, Orang Fasiq , Orang Zalim dan kepada Hakim semacam itu pasti dibalas azab yang menghinakan di dunia dan di akhirat .
 ( bismillahirrohmanirrohim : INNALLADZINA YUKDZUNALLAHA WA RASULA LA'ANALLAHU FI DUNYA WAL AKHIRAH, WA 'ADDALAHUM 'ADZABAM MUHINA ) .
Demikian halnya , Hakim yang menyakiti orang mukmin laki-laki atau perempuan tanpa kesalahan, sungguh Hakim tadi telah melakukan kesalahan dan dosa yang nyata . ( bismillahirrohmanirrohim : WALLADZINA YUKDZUNAL MUKMININA WAL MUKMINATI BI GHAIRI MAKTASABU FAQODIHTAMALU BUHTANAN WA ISMAM MUBINA ) .
Permintaan penulis dan korban-korban rekayasa kasus korupsi : hapus acara MENGADILI SENDIRI yang diberikan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dan atau Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung, sebab itu melanggar ketetapan Allah SWT . Jika membuka peluang upaya hukum, ya seperti acara persidangan di Pengadilan Agama . Atau jika para ahli hukum mau mempertimbangkan, kedepan negara RI sebaiknya menggunakan sistem YURI . Disini akan mengurangi subjektivitas Hakim .


1 komentar:

  1. Tuhan.... jangan biarkan kedholiman yang dilakukan oleh orang-orang yang punya kuasa engkau biarkan.... berikan hukuman balik yang lebih berat karena telah membuat nestapa orang-orang yang tidak salah dan lemah itu.... Engkau pemilik hidup dan kehidupan ini....."Alaisyaullahi biahkamil hakimiin".

    BalasHapus