Minggu, 28 Desember 2014

DAGELAN TIPIKOR DI JAWA TENGAH


PERSIDANGAN DAGELAN 

I.                    Posisi marginal terdakwa 
Seseorang yang dianggap cakap menurut hukum adalah ketika sudah mencapai umur tertentu ( dewasa hukum ) , akalnya sehat dan perbuatan yang dilakukannya dapat dipertanggung jawabkan kepadanya .Pembuktiannya sangat sederhana, misalnya seseorang itu kelompok penggaduh ternak dari Kementerian Pertanian, Hakim hanya akan mencocokkan nama, status dalam kelompok penggaduh ternak itu, dalam persidangan bisa tanya jawab dengan baik, bisa menjelaskan persoalan yang disidangkan, paham terhadap surat dakwaan dari jaksa penuntut umum, maka sudah cukup bagi hakim tadi menetapkan bahwa seseorang yang dimaksud dalam pasal tuntutan terbukti .

Seseorang dapat diduga melakukan perbuatan melawan hukum jika unsur perbuatannya melanggar norma hukum ( peraturan perundang-undangan) . Jika terdakwa adalah penggaduh ternak , pikiran hakim hanya terbelenggu bahwa penggaduh / terdakwa seharusnya mengembangkan ternak dengan baik, tidak mau tahu apakah cara mengembangkannya timbul kesulitan dan tidak peduli apakah kesulitan itu sebenarnya sangat berat menyelesaikannya karena di luar kemampuan penggaduh ternak, tidak akan dikuak hakim secara objektif. Padahal kesulitan itu tidak pernah disiapkan penangannya dan dicatat dalam pedoman sistem gaduhan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian . Kalau sampai penggaduh / terdakwa menjual ternak sebagian untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya, tetap saja itu merupakan perbuatan melawan hukum . Dengan pikiran sangat dangkal dari hakim seperti itu, tentu akan sangat mudah sekali membuktikan adanya kerugian keuangan negara . Ternak yang dijual biasanya dihitung sebagai kerugian keuangan negara . Penggaduh tidak memperoleh apapun selama penggaduhan yang belum berhasil tidak lagi menjadi pertimbangan hakim yang meringankan terdakwa . Mereka orang pedesaan yang awam terhadap peraturan perundang-undangan . Mereka menerima bantuan ternak gaduhan itu pun sebenarnya tidak merupakan minat mereka sejak awal , sebab hampir semua yang memperoleh bantuan sosial ternak gaduhan adalah kelompok buatan atau rekayasa dari para anggota partai politik tertentu yang duduk di DPR RI . 
Perbuatan melawan hukum dalam konteks perbuatan tindak pidana korupsi sangat dikaitkan dengan status pelaku yaitu pejabat negara dan pejabat penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan melakukan pengaturan atau menyusun kebijakan atau menerbitkan perijinan , yang perbuatannya bertujuan secara meyakinkan untuk menguntungkan dirinya sendiri / orang lain / korporasi yang berpotensi dapat menimbulkan kerugian keuangan negara / keuangan daerah serta menghancurkan perekonomian negara . Pertanyaannya adalah , bagaimana kerugian yang diderita penggaduh dimana dalam jangka waktu satu sampai dua tahun memelihara ternak tanpa hasil dan itu berdampak pada kehancuran ekonomi rumah tangganya ? Negara dan pemerintah pusat tidak pernah peduli dan tidak pernah melakukan monitoring dan evaluasi program dan kegiatan bantuan sosial ternak gaduhan ini . 

Dalam kelakar sederhana, Undang-undang nomor 31 tahun 1999 melarang seseorang menguntungkan dirinya sendiri atau menguntungkan orang lain dari keuangan negara / keuangan pemerintah daerah . Undang - undang ini juga melarang seseorang memberikan hadiah atau seseorang menerima hadiah dari pihak lain jika berhubungan dengan kegiatan yang didanani dengan APBN / APBD . Kesimpulannya, negara dan pemerintah memang sengaja membuat rakyatnya melarat semua . Maka dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, jika ada tetangganya kaya, sering dicurigai nyupang dengan bantuan tuyul . Barangkali , tidak perlu ada gaduhan ternak, tetapi gaduhan tuyul saja sebagai bentuk dagelan bangsa yang primitif. 

Seseorang pejabat negara / pejabat penyelenggara pemerintahan negara atau pihak lain yang terkait dengan perbuatan mereka yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang melampaui kewenangan yang melekat pada jabatannya dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri / orang lain / korporasi serta telah merugikan keuangan negara / keuangan daerah memerlukan bukti yang kuat dan beberapa saksi , untuk bisa menetapkan seseorang itu sebagai tersangka oleh penyidik . 

Jaksa / polisi selaku penyidik berani menetapkan seseorang menjadi tersangka tentu sudah didahului tindakan penyelidikan yang komprehensif dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang dilanggar calon tersangka, mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan dugaan perkara yang diselidiki, meminta keterangan berbagai pihak sebagai saksi dan meminta keterangan ahli dan jika perlu menyita barang bukti . Proses hukum yang demikian rumit harus dilalui penyidik sampai pada tahapan untuk menetapkan tersangka. 
 
Namun demikian, apakah dalam prakteknya seperti itu ? 

Sepertinya tidak, sebab di banyak kasus, ternyata penetapan seseorang menjadi tersangka ada yang tidak pernah diperiksa namun tiba tiba menjadi tersangka, atau nyata-nyata penyidik tidak / belum memiliki dua alat bukti sudah berani menetapkan tersangka yang dibarengi dengan pemberitaan di media cetak. Ini yang sekarang dipraktekkan para penyidik, apakah itu di kepolisian atau di kejaksaan . Sumber di tipikorngamuk.blogspot.com belum tahu apakah tindakan gegabah dalam penetapan tersangka juga dilalkukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) .

Penetapan seseorang menjadi tersangka dilakukan oleh Pimpinan institusi penegak hukum dengan surat keputusan Kajari atau Kapolres / Kapolresta atau pejabat di institusi atasannya dimana perkara itu ditangani. Seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ketika dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka seharusnya diberi salinan keputusan penetapannya sebagai tersangka pada saat menghadap untuk diperiksa penyidik, atau bisa juga surat keputusan penetapan tersangka itu dilampirkan pada surat panggilan PRO JUSTICIA yang dikirimkan oleh Kepala Kejaksaan / Kapolres kepada tersangka / keluarga tersangka. Sumber tipikorngamuk.blogspot.com menemukan fakta bahwa mereka dipanggil sebagai tersangka tidak pernah mendapat / diberi keputusan Kajari / Kapolres yang menetapkan ia sebagai tersangka . 

Mengapa terkesan takut memberikan surat keputusan penetapan tersangka  ? 

Tindakan pro justicia di awal penyidikan adalah TINDAKAN PAKSA aparat penegak hukum kepada seseorang . Bukti lain sebagai tindakan paksa adalah bahwa sudah menjadi kebiasaan penyidik atau atasannya disetiap menetapkan seseorang sebagai tersangka selalu dipublikasikan melalui pemberitaan di  media cetak . Para penyidik dan atasannya melakukan hal demikian ini sebenarnya tidak mewujudkan kapasitasnya sebagai penegak hukum yang profesional sebab tidak lagi ingat terhadap azas "praduga tidak bersalah" . Atau bisa juga bahwa disaat reformasi kali ini aparat penegak hukum menempatkan dirinya sebagai pihak yang kebal hukum sehingga mukanya bebal hukum . Dengan cara-cara preman yang dipraktekkan aparat penegak hukum seperti itu maka tersangka dan keluarga besarnya sudah dihukum secara sosial dengan dahsyat . Sikap polisi dan jaksa yang sengaja menyebarkan aib seseorang tersangka yang belum tentu bersalah melalui media cetak merupakan perbuatan yang sebenarnya dilarang Allah swt .Dalam ketetapan Allah swt ( di Al Qur'an ) siapapun yang dengan sengaja membeberkan aib seseorang demi tercapainya tujuan pribadinya atau memenuhi kinerja tugas jabatannya, di saat yang lain pasti Allah swt akan membongkar aib mereka itu seluas - luasnya ketika mereka masih hidup di dunia . 

Melawan penetapan tersangka melalui Pra peradilan atau gugatan tata usaha negara 
Dalam konteks hukum pidana versus hukum tatausaha negara , seharusnya ada keberanian seorang Kajari / Kapolres / Kapolresta memberikan salinan keputusan penetapan tersangka itu kepada tersangka yang bersangkutan. Mereka harus paham bahwa Pemerintah sudah menetapkan kebijakan perlunya keterbukaan informasi bagi dokumen pemerintahan / negara yang klasifikasinya tidak rahasia / terbatas dan semua aparat negara harus mewujudkan good governance di tiap institusi tempat kerjanya . Pejabat negara / pejabat penyelenggara pemerintahan atau pejabat penegak hukum perlu memberikan suri teladan dan berani dikoreksi / dituntut melalui pra peradilan sesuai prosedur KUHAP atau digugat melalui peradilan tata usaha negara terhadap keputusan yang dibuatnya. 

Proses hukum yang dijalani seseorang tidak semata-mata hanya melalui proses pra-peradilan jika berminat untuk melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum yang dinilainya sewenang-wenang dalam menetapkan dirinya sebagai tersangka atas dugaan perkara pidana / pidana khusus yang tidak didahului dengan dua alat bukti yang kuat dan sah. Warga masyarakat perlu dilindungi .

Presiden wajib melakukan koreksi terhadap ketimpangan proses hukum yang hanya dapat dilawan melalui upaya hukum pra peradilan , tetapi perlu juga difasilitasi dengan peluang bagi tersangka atau keluarganya untuk melakukan perlawanan hukum melalui gugatan tata usaha negara terhadap keputusan Kajari / Keputusan Kapolres / keputusan kapolresta / kapolwil / kajati tentang penetapan tersangka. 

Menurut peraturan perundang undangan bahwa semua pejabat negara yang berwenang menetapkan keputusan adalah pejabat tatausaha negara .

Di Jawa Tengah belum pernah sekali-pun adanya perlawanan tersangka kepada tindakan penyidik atau atasannya dalam hal penetapan tersangka . Mereka kebanyakan hanya pasrah begitu saja . Mereka sudah cukup banyak mendapatkan informasi dari para tersangka yang telah diajukan ke persidangan, membela diri sekuat apapun dengan kesatria tidak ada manfaatnya . Sebab ternyata persidangan pengadilan tipikor di pengadilan negeri semarang Jawa Tengah hanya sebuah dagelan yang disuguhkan JPU dan Majelis Hakim . Fakta ini diperoleh dari wawancara dengan seluruh tersangka / terdakwa tipikor yang diadili di pengadilan tipikor Semarang Propinsi Jawa Tengah - Indonesia . Mereka semuanya menyatakan belum pernah melihat atau membaca atau diberi penyidik salinan keputusan Kajari / Kapolres / Kapolresta yang menetapkan dirinya sebagai tersangka yang menggunakan dasar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 .

Allah swt akan membuat rekayasa yang lebih hebat dibandingkan rekayasa JPU dan Mejalis Hakim jika berkehendak untuk menghancurkan kebathilan dan keangkara murkaan manusia .
JPU dan Hakim juga manusia, yang dalam fitrahnya ketempatan sifat kikir ketika diberi kenikmatan dari Allah swt , sebaliknya akan selalu berkeluh kesah manakala ditimpa balak / azab dalam kehidupannya . Akal manusia yang memainkan ketetapan hukum menyimpang dari ketetapan hukum Allah swt pasti menjadi bagian tabungan lamanya mereka masuk neraka setelah dibangkitkan dari kematiannya . Apakah mereka masih memiliki keimanan dalam hal yang seperti itu ? Sudah dapat dipastikan bahwa dengan sikap yang cenderung kuat ke arah perbuatan negatif , keimanan mereka terhadap ketetapan Allah swt sangat tipis , atau bahkan tidak ada sama sekali .

Dagelan persidangan tipikor di Jawa Tengah bisa saja semakin merebak menjadi traksasi hukum yang bisa mendatangkan penuhnya kantong JPU dan Hakim .

Seseorang yang ditimpa cobaan melalui penetapan dirinya menjadi tersangka / terdakwa akan semakin menderita manakala tidak dikuati dengan ketabahan dan kesabaran menerima taqdir dari Allah swt . Dia akan merasa menjadi orang yang hina dihadapan masyarakat sekeliling rumah tangganya atau koneksitasnya . Ini adalah manusiawi . Maka dari itu , bagi mereka para terdakwa yang hanya mengejar duniawi, apalagi dugaan perbuatannya korupsi memang benar, pasti-lah akan mudah tergelincir terhadap penawaran bersekongkol dengan JPU dan Majelis Hakim yang menyidangkannya, melakukan transaksi hukuman dengan memberi imbalan uang . Ini ternyata semakin merebak . Menyuap atau diperas ya ? Hanya mereka ( JPU, Hakim dan terdakwa ) yang tahu , kemudian Malaikat Allah pasti mencatatnya dalam kitab pertanggung jawaban di akhirat . Mereka menzalimi dirinya mereka sendiri . Mereka pasti akan menderita sangat pedih atas balasan dari Allah tuhannya di hari akhir. Neraka, mereka akan kekal di dalamnya .

Benar atau salah pasti dijatuhi hukuman .

Sakit dan susah yang muncul dalam diri setiap terdakwa yang dituntut dalam dagelan persidangan tipikor di pengadilan negeri semarang Jawa Tengah - Indonesia, sebab pasti dihukum dengan penjara dan denda, dan ditambah membayar uang pengganti manakala terbukti memperkaya diri sendiri / orang lainb / korporasi dari keuangan negara / keuangan daerah . Majelis Hakim selalu bekerja sama dengan JPU . Putusan Majelis Hakim adalah copy paste surat tuntutan JPU . Majelis Hakim selalu berani menyatakan “ keterangan terdakwa kami abaikan / kami kesampingkan “ atau " keterangan ahli kami kesampingkan " . Majelis Hakim merasa serba tahu semua perkara yang diadilinya .

Sebaliknya, keterangan saksi dari JPU yang berbeda dalam persidangan dengan keterangan di BAP saksi, walaupun menguntungkan terdakwa juga tidak pernah menjadi keberpihakan kepada terdakwa, artinya panitera dan Majelis Hakim sangat suka mengabaikan fakta persidangan , sebagai alasan pembenar untuk harus menghukum terdakwa sesuai pesanan JPU atau pihak-pihak yang berkepentingan melalui ketua pengadilan tipikor semarang .

Waspada bersikap terhadap aparat penegak hukum 
Celaka-lah siapapun yang sudah terlanjur :
a.        Dijadikan pihak lawan politiknya kemudian disetorkan kepada penyidik baik itu kejaksaan atau kepolisian
b.       Berpendapat dalam dirinya sendiri bahwa ia tidak melakukan perbuatan korupsi yang diduga pelapor / penyidik dan berani menghadapinya secara kesatria
c.        Mengandalkan kejujuran dan kepatuhan terhadap proses hukum tanpa mau membayar uang atas permintaan penegak hukum yang bersangkutan
d.       Dalam setiap perbuatannya selalu takut kepada Allah SWT dan semata-mata berharap memperoleh ridla Allah SWT
e.        Membiayai cukup besar ongkos jasa penasihat hukum dan atau ahli sebagai upaya menegakkan hukum dan keadilan
PERCUMA SIKAP DAN UPAYANYA ITU SEBAB PASTI DIHUKUM OLEH MAJELIS HAKIM WALAUPUN PADA POSISI YANG TIDAK BERSALAH .

Pengadilan tipikor semarang Jawa Tengah - Indonesia sudah rusak, aparat penegak hukum yang menjalankan tugas dan amanat penegakan hukum dan keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa sudah bermental preman, luntur kecerdasan batinnya, bergembira ria menyakiti terdakwa beserta keluarga besarnya , menjalankan persidangan sekedar pro formalitas / dramatisasi , justru suka mencari tambahan penghasilan dari terdakwa, kongkalikong dengan penasihat hukum dan Jaksa penuntut umum atau pihak lain yang berkepentingan, dan prestasi menghukumkan orang / setiap orang itu dalam rangka mengejar karier selaku pegawai negeri sipil ( PNS ) .

Akibat dari pengkondisian peradilan seperti itu, maka dalam perjalanan sejarah proses hukum di pengadilan tipikor semarang sampai sekarang ini semakin menyuburkan perbuatan korupsi yang dilakukan secara terang-terangan oleh PNS aparat penegak hukum yang dibantu oleh penasiha-penasihat hukum dan pihak lain yang berkepentingan menyengsarakan orang. Mereka itulah yang melakukan korupsi besar-besaran dalam era pemberantasan tindak pidana korupsi dalam dua arah, disatu sisi anggaran dari negara yang sangat besar dipakai untuk praktek dramatisasi peradilan dan disisi lain mereka memeras terdakwa.

Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )  ..... apakah masih bisa masuk ke lingkungan busuk ini ? Kalau tidak dilakukan penindakan oleh KPK atau tidak diperbaiki oleh Mahkamah Agung , atau tidak dipedulikan lagi oleh Presiden dan DPR RI , cara yang paling tepat dan pasti manjur adalah HUKUM JALANAN . Sekali-kali dipertontonkan kepala jaksa / polisi / hakim yang terpotong dipamerkan di lapangan terbuka untuk umum agar masyarakat luas bertanya, mengapa perinstiwa ngeri itu harus terjadi ?

Ketentuan hukum yang tidak menjamin kepastian hukum 
Perlu diperingatkan melalui blogger “korupsi dan permainan hukum” :
1.            Presiden dan DPR RI segera menata kembali peraturan perundangan yang berlaku di lembaga pemerintahan , utamanya di lembaga eksekutif yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa kebutuhan instansi pemerintah, peraturan perundangan penyelenggaraan badan layanan umum , disinkronkan dengan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan keuangan negara / pengelolaan keuangan pemerintah daerah dan pengelolaan barang milik negara / barang milik pemerintah daerah .
Kalau masih seperti yang ada sekarang ini, hampir seluruh pegawai negeri sipil yang dilibatkan pimpinan satuan kerja sebagai pejabat pengelola keuangan satuan kerja atau petugas dalam kepanitiaan ( pengadaan barang/jasa , atau pemeriksaan barang , atau penerimaan barang , atau bendaharawan barang ) kalau diproses hukum dengan dugaan korupsi PASTI DIHUKUM OLEH MAJELIS HAKIM dengan pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang undang Nomor 20 Tahun 2001.

2.            Pelibatan peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi , misalnya yang terjadi sekarang ini selalu menjadi PELAPOR DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI dengan sasaran proyek / kegiatan yang didanai APBN ( anggaran Pemerintah Pusat ) atau APBD ( anggaran pemerintah daerah propinsi  / kabupaten / kota ) , sudah cenderung tendensius sebagai ajang balas dendam katurunan orang orang yang di jaman orde lama / orde baru dipenjarakan dengan tuduhan komunis, atau balas dendam akibat kekalahan dalam pilihan anggota legislatif / kepala desa / perangkat desa , atau sekedar fitnahan belaka karena permusuhan . Celakanya, kondisi buruk akibat diakomodasikannya peran serta masyarakat di dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini justru disuburkan secara salah oleh polisi dan atau jaksa dengan membuka pintu lebar - lebar untuk kolaborasi jahat, walaupun laporan pengaduannya tidak disertai alat bukti awal sedikitpun tetap dikemas menjadi dugaan perkara tindak pidana korupsi. Bahkan ada kecurigaan di kalangan masyarakat luas bahwa surat-surat laporan pengaduan ( surat budeg / surat kaleng ) sudah biasa dibuat sendiri oleh polisi / jaksa manakala kesepian tidak ada sasaran bidik yang jelas atau butuh dukungan logistik untuk mendongkrak karier PNS nya meraih jabatan struktural .Dengan demikian sudah sangat komplit bahwa kehancuran bangsa indonesia melalui kebijakan nasional pemberantasan korupsi, sudah dicederai dengan dua hal negatif, yaitu pertama , oleh undang undang Nomor 31 tahun 1999 Jo undang undang nomor 20 tahun 2001 yang tidak sejalan dengan ketetapan Allah SWT , yaitu belum ada perbuatan yang riil telah merugikan keuangan negara sangat mudah mengkriminalisasi seseorang yang menjadi TO ( target operasi kinerja ) , dan yang kedua diakibatkan dekadensi moral / mental pejabat pemerintah / pejabat negara yang benar-benar riil merampok uang negara untuk memperkaya dirinya sendiri dan pejabat penegak hukum yang juga memanfaatkan kekuasaannya untuk menghukum seseorang mencari kekayaan haram dengan cara mejual belikan tuntutan / vonis hukuman dengan terlapor / tersangka / terdakwa yang pantas diperas uangnya .

3.       Hakim bukan manusia super yang bisa mengaku serba tahu seluruh substansi perkara yang diajukan JPU untuk disidangkan secara terbuka dan terbuka untuk umum . Di pengadilan negeri tipikor semarang, satu majelis hakim setiap hari menyidangkan 5 - 7 perkara . Jelas sangat berat dan tidak sempat memperlajari pokok perkara yang disidangkan mereka. Majelis hakim sangat licik hanya dengan memperhatikan tuntutan JPU dan kemudian meminta flash disk kepada JPU yang memuat surat dakwaan dan surat tuntutan untuk kemudian menugaskan kepada panitera / panitera pengganti mengcopy paste isinya untuk dituangkan dalam pertimbangan putusan . Seluruh putusan majelis hakim sepertinya menggunakan rumus, hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa minila 2/3 ( dua pertiga ) tuntutan JPU . Kalau kurang dari 2/3 , JPU pasti banding / kasasi . Kebiasaan seperti tontonan negatif yang dipamerkan panitera / panitera pengganti dan Msjelis Hakim adalah tidur pulas di ruang sidang yang dilihat banyak pengunjung . Mereka tidak malu . Sebab yang membuat mereka kelelahan adalah para JPU dari 35 kabupaten / kota se jawa tengah yang berlomba mengejar target yang dibebankan Presiden / Jaksa Agung / Kapolri / Kajati / Kapolda / Kajari / Kapolres sejumlah perkara korupsi dalam setiap bulannya. Presiden tidak pernah mengevaluasi kinerja yang ditugaskan kepada pembantu-pembantunya di bidang penegakan hukum . Maka peran tiga lembaga yang dibentuk sebagai TIMTASTIPIKOR dengan keputusan presiden nomor 11 tahun 2004 , yaitu BPKP , Kapolri dan Jaksa Agung tidak pernah berkoordinasi atau berkonsultasi dengan KPK / BPK RI / PPATK , menjadikan arah pemberantasan korupsi membelok dipakai untuk memperkaya para pejabat penegak hukum itu sendiri . Masyarakat umum bertanya melalui pengelola blogger korupsi dan permainan hukum ini, apakah keputusan presiden nomor 11 tahun 2004 yang diperbaharui setiap 2 tahun oleh presiden itu konstitusional atau justru inkonstitusional ??????. Apakah hasil perhitungan kerugian keuangan negara / keuangan daerah yang dilakukan auditor BPKP yang tidak dikoordinasikan dengan BPK RI seperti yang diperintahkan dalam diktum KEEMPAT keputusan presiden itu menjadi alat bukti yang sah atau tidak sah dalam persidangan tipikor ?????.  Majelis Hakim dan JPU justru tidak paham apa itu timtastipikor bentukan presiden . Hal ini akan nyata terbukti manakala terdakwa atau penasihat hukum terdakwa menolak hasil perhitungan BPKP tentang kerugian keuangan negara yang tidak dikonsultasikan ke BPK RI , majelis hakim dan JPU malahan bengong , tetapi kemudian berkomentar , silahkan ditolak, tetapi apa yang diungkapkan BPKP sebagai alat bukti sudah menjadi yurisprudensi . Kemudian majelis hakim memerintahkan kepada panietara untuk tetap mencatat keterangan saksi dari BPKP sebagai bukti yang kuat untuk membenarkan dakwaan / tuntutan JPU .
Memimpin persidangan hakim bukan berposisi sebagai pejabat yang memiliki kekuasaan harus memposisikan diri mereka lebih tinggi dari terdakwa . Keterbatasan ilmu dan pemahaman hakim terhadap substansi berbagai perkara tentu akan diluruskan / dilengkapi / diperjelas oleh saksi-saksi ( de charge atau a de charge ) dan ahli . Maka akan benar-benar menjadi manusia super serba tahu manakala hakim mengesampingkan keterangan ahli yang oleh hukum diakui bisa menjadi alat bukti yang kuat . Kebiasaan hakim bertanya kepada terdakwa : “ apakah saudara merasa bersalah ? “  atau “ apakah saudara tyerdakwa menyesali perbuatannya “ , menggambarkan kebodohan hakim dan pertanda buruk persidangan. Kalau kebiasaan itu selalu dipraktekkan , lebih baik tidak ada acara persidangan, artinya polisi / jaksa menangkap seseorang yang dilaporkan kemudian langsung dipenjarakan atas kekuasaannya . Ini adalah bagian pendapat para terakwa / terpidana yang sudah menjalani persidangan di pengadilan tipikor semarang .

Tidak rasional, mengadili sendiri justru memperberat hukuman 
Hakim di tingkat banding , melalui acara mengadili sendiri ( tanpa memeriksa ulang terdakwa dan saksi / ahli ) , yang hanya membaca berkas perkara yang sudah sejak awal dimanipulasi JPU dan Majelis Hakim tingkat pertama, menjadi tidak rasional manakala memperberat hukuman bagi terdakwa.

Sama seperti halnya di tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang beracara “ mengadili sendiri “ , juga tidak rasional kalau kemudian ikut - ikut memperberat hukuman terdakwa .

Logikanya, dalam mengadili sendiri terhadap permohonan banding atau kasasi dari terdakwa sebaiknya dimaksudkan untuk memenuhi / menjawab sebuah pertanyaan yang sangat fundamental : mengapa terdakwa mengajukan banding atau kasasi ?

Jawabannya pasti : tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya . Dia merasa dizalimi hakim dan JPU . Mengapa majelis hakim pengadilan tinggi tipikor atau mahkamah agung tidak peka . Banyak kok perkara yang dituduhkan sebagai tipikor sebenarnya bukan tipikor murni . Banyak yang merupakan hasil manipulasi dari perbuatan pejabat administrasi negara / perbuatan pejabat tata usaha negara kemudian dikriminalisasi penyidik .

Bagi jaksa / polisi / hakim yang beragama islam, disarankan untuk semakin takut keliru ketika menangani sebuah dugaan perkara tindak pidana / tindak pidana korupsi . Hukum di negara indonesia masih mengedepankan azas PRADUGA TIDAK BERSALAH . Dengan azas hukum ini sebaiknya negara tidak perlu terbebani ongkos makan dan ongkos lain-lain yang diperuntukkan bagi sebuah tindakan penahanan seseorang yang baru berstatus tersangka . Negara tidak perlu khawatir atau takut , jika tidak ditahan kemudian melarikan diri, atau membujuk / mempengaruhi saksi-saksi yang dibutuhkan penyidik, atau menghilangkan barang bukti, atau mengulang perbuatannya. Kekhawatiran / ketukan demikian ini tidak beralasan manakala sudah banyak bukti / fakta di jawa tengah bahwa tersangka dan atau terdakwa yang dipenjarakan jaksa penuntut umum , sebagian besar bukan pelaku korupsi sebagai makna korupsi di dalam Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 . Silahkan diteliti , wahai pemimpin - pemimpin negara .

Hati - hati ....... balasan dan siksa dari Allah SWT terhadap hakim dan jaksa atau polisi yang menyimpang dari hukum ketetapan Allah SSWT. Waspadalah terhadap hukum karma ...... dan perhatikan kehidupan lahiriyah para jaksa, polisi dan hakim yang menyimpang akibat kekafirannya / kezalimannya terhadap ayat ayat Allah SWT . Laknat sudah mereka terima di dunia . Itu akan berlanjut siksaan di neraka setelah dibangkitkan dari kematiannya .

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com

Semarang, 29 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar