MERENUNGKAN NEGARA HUKUM
Negara Republik Indonesia harus dikelola dengan baik dan benar . Negara
Republik Indonesia adalah rahmat Allah SWT bagi masyarakat dan bangsa Indonesia
. Dengan rahmat Allah SWT itu bangsa Indonesia akan memiliki daya dan kemampuan
yang cukup untuk mengembangkan cara berpikir dalam kebersamaan menuju
masyarakat yang adil makmur dalam naungan ridla Allah SWT .
Berpikir yang lurus adalah dalam rangka menempatkan siapapun sesuai posisi
dan perannya sehingga seluruh komponen bangsa akan saling menyumbangkan kebajikan,
saling menasihati dalam kebenaran, saling menolong dalam ketaqwaan, saling
menjauhi kemungkaran, saling memaafkan dalam kekurangan , sehingga suasana
kebathinan dalam kehidupan bersama semakin kokoh .
Dalam ketatanegaraan diperlukan peraturan perundangan yang memilahkan tiap
kewenangan antar lembaga tinggi negara dengan maksud bukan untuk saling
menghancurkan satu sama lain. Tetapi mensinergiskan peran antar lembaga tinggi
negara itu dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang dipatrikan di dalam konstitusi
Undang Undang Dasar 1945 .
Tatanan pemerintahan sudah dipraktekkan dalam beberapa dekade, yaitu semasa
orde lama, semasa orde baru dan semasa reformasi .
Semasa orde lama sampai titik kulminasi agregasi politik multi partai ,
menyebabkan kepincangan tatanan pemerintahan di tingkat pusat sampai tingkat
daerah sehingga tujuan nasional , utamanya memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa tidak maksimal . Sampai dengan dipenghujung akhir
orde lama dan di awal tatanan orde baru Institusi pendidikan di tingkat
Kabupaten yang melayani pendidikan menengah pada umumnya , untuk sekolah negeri
, tingkat SMA hanya di ibukota kabupaten, sedangkan untuk tingkat SMP hanya di
ibukota kecamatan . Anak bangsa yang mampu melanjutkan ke jenjang sekolah lebih
tinggi dari sekolah rakyat ke sekolah menengah pertama dan selanjutnya ke
sekolah menengah atas, harus lulus ujian nasional / ujian negara dan mampu
menyediakan biaya hidup secara mandiri . Semua kebutuhan sarana belajar
misalnya buku-buku mata pelajaran sudah disediakan oleh lembaga pendidikan yang
bersangkutan . Perguruan tinggi negeri memberikan peluang anak bangsa yang
berotak cerdas melalui berbagai program penerimaan mahasiswa baru , pernah
dicoba dengan sistem SKALU , kemudian program perintis .
Di bidang pembangunan perekonomian dan infrastruktur lebih banyak dilakukan
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi dengan menetapkan kawasan kawasan
pengembangan di tiap wilayah Propinsi . Dengan demikian, arah dan tujuan
pembangunan daerah tetap sinergis dengan arah dan tujuan pembangunan nasional .
Pelaksanaan pembangunan itu sendiri ada yang diswakelola oleh Dinas / Instansi
sepanjang memiliki cukup sarana dan alat serta keahlian , sedangkan pelibatan
pihak ketiga dalam penyediaan barang / jasa masih terbatas . Peraturan
perundang-undangan yang tidak tumpang tindih, kemudian prinsip dan substansinya
mudah diaplikasikan dalam rangka melaksanakan azas azas pemerintahan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 Jo Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah , maka penyebaran dan pemerataan pelaksanaan pembangunan
dapat dirasakan hasilnya oleh bangsa Indonesia .
Harga kebutuhan bahan pokok ( sembako - sembilan bahan pokok ) diatur
sedemikian sehingga dapat distabilkan di seluruh wilayah negara Indonesia.
Rakyat tidak membutuhkan kebijakan pembagian beras miskin. Rakyat petani cukup
disubsidi pembelian pupuk an organik ( sarana produksi pertanian ) . Harga jual
panen hasil pertanian terjangkau oleh berbagai kalangan . Harga kebutuhan
skunder juga tidak terlalu mahal dan masih terjangkau oleh masyarakat .
Kedamaian hidup dengan pendekatan sosial religius benar-benar dapat diwujudkan
oleh presiden Soeharto selama orde baru . Perilaku menyimpang dari kalangan
aparatur negara dibina secara persuasif , tidak dengan represif . Menghukum
aparat akan dilakukan dengan keras manakala sudah tidak bisa lagi dibina
ahlaqnya, tidak bisa dikembangkan kariernya dan perilakunya yang kurang
kondusif diindikasikan dapat merusak lebih luas internal instansinya .
Maka dari itu institusi penegak hukum pun tidak dibuat-buat tambahan
seperti di era reformasi dengan memperbanyak lembaga-lembaga ad hoc .
Kewenangan legislasi tidak lagi menjadi pasti karena produk legislasinya
bisa dipatahkan, atau dibubarkan melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi . Itu
sama artinya bahwa negara hukum di Republik Indonesia sudah tidak lagi pasti
negara hukum yang tegak , tetapi goyang goyang seperti tertempa angin spoi spoi
yang kalau ada kedengkian yang luar biasa bisa saja membuat hukum yang tidak
lazim .
Hukum yang tidak lazim sudah ada, yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
yang merupakan pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 . Lembaga legislasi
DPR RI dan Presiden RI yang bersama-sama menetapkan Undang-undang itu
barangkalai tidak ada yang mengingatkan bahwa prinsip-prinsip pemberantasan
tindak pidana korupsi yang diatasi dengan Undang-undang itu dalam jangka
panjang akan menghancurkan tatanan aparatur negara yang diisi kalangan birokrat
dari pusat sampai daerah Kabupaten / Kota dan Desa/Kelurahan .
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi menjebak pola berpikir
logis, menjebak nurani yang berketuhanan yang maha esa, membuka peluang
masuknya aspek non law inforcement dalam beracara misalnya titipan secara
politis. Dan nyatanya memang benar adanya banyak kalangan elit politik yang
dijaring gillnet ( semacam jaring penangkap ikan dilaut ) dengan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 dengan wajah ketakutan tetap berteriak : “ silahkan
diproses hukum asal objektif, jangan dipolitisasi “. Pembaca masih ingat ketika
negara ( KPK ) mengejar sampai ke luar negeri dalam rangka mengadili
Nazaruddin, kemudian menyeret banyak pihak sampai di kolong kementerian Pemuda
Olah Raga (Andi Malarangeng dihukum) , kemudian merambah di Partai Demokrat ( Anas Urbaningrum Ketua Umum juga dihukum ) .
Bola Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sudah menggelinding , tergantung KPK
akan mengarahkan ke mana. Penyusun undang-undang itu bisa dikatakan terkena
batu sandungan yang dibuatnya sendiri .
Bagaimana praktek penegakan hukum dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
di daerah?
Jaring ( gilnet-nya) dibuat sekecil mungkin karena tidak ada ikan kakap
yang besar seperti yang dibidik KPK . Polisi dan Jaksa cukup menjaring koruptor
klas ikan teri atau koruptor abal-abal dalam rangka meramaikan hiruk pikuknya
negara hukum yang baru gandrung mengadili rakyat kecil . Rakyat kecil sekarang
baru menghadapi permainan elit partai yang saling rebutan kursi pimpinan
partai, juga menghadapi ulah pikiran kotor polisi dan jaksa itu sendiri .
Petani yang hidupnya di desa setiap hari bergelut dengan pekerjaan di sawah
/ ladang atau memelihara ternak ( sapi atau kerbau ) , mereka tidak paham bahwa
ketika menerima bantuan sosial dari kementerian pertanian berupa gaduhan ternak
sapi bisa diperkarakan dengan tuduhan korupsi. Kata polisi / jaksa , hai pak
tani.... kamu telah melampaui kewenangan karena telah menjual sapinya
pemerintah tidak ijin menteri . Hai pak tani,.... kamu telah melakukan
perbuatan melawan hukum untuk menguntungkan dirimu sendiri dan anggota kelompok
tani temanmu . Negara telah kamu rugikan senilai jumlah sapi yang kamu jual .
Dalam kasus yang sudah disidangkan, kerugian negara yang dimaksud : ada
yang cuma Rp. 1.030.000 , kemudian petaninya dihukum 1 tahun dan 6 bulan ,
denda Rp. 50.000.000 dan mengembalikan kerugian negara Rp. 1.030.000 ( kasus di
kabupaten Banyumas ) . VONIS HUKUMAN PENJARA sangat berat jika dibandingkan dengan
hukuman penjara yang dijatuhkan kepada para koruptor yang kejahatannya luar
biasa di pengadilan tipikor Jakarta. Apakah masih layak negara Indonesia tetap
menyandang sebagai NEGARA HUKUM ?
Dalam kasus sejenis dari kabupaten Tegal , kata polisi / jaksa petani
pelakunya telah merugikan negara Rp. 77.000.000 . Petaninya kemudian dihukum 5
tahun , denda Rp. 100.000.000 dan ditambah mengembalikan kerugian negara Rp.
77.000.000 . Para ahli hukum dipersilahkan ikut merenungkan nasib terpidana
dalam kasus ini. TIDAK PANTAS dihukum 5 tahun, sebab Andi Malarangeng yang
menerima gratifikasi Rp. 2 milyar Cuma divonis 4 tahun .
Dalam kasus bansos APBD Propinsi Jawa Tengah untuk pembangunan tempat
ibadah. Bantuannya Rp. 7.000.000 . Ketahuan dipotong anggota DPRD Propinsi Jawa
Tengah Rp. 3.500.000. Jadi yang diterima pengurus tempat ibadah cuma 50% , Rp.
3.500.000 . Seluruh pengurus tempat ibadah kemudian dihukum 1 tahun , di denda
Rp. 50.000.000 dan mengembalikan kerugian negara Rp. 7.000.000 . Padahal
masjid-nya tetap dibangun sampai selesai oleh takmir masjid yang dihukum
tersebut . ( Kasus di Kab Karanganyar ) . Yang memotong dana APBD tidak
ditindak . Para takmir masjid / mushola yang tidak paham kesalahannya dihukum
berat . Tidak ada mata batin hakim yang hidup dalam melihat kasus yang
dibuat-buat jaksa/polisi . HUKUM APA ?
Pada kasus yang lebih aneh, pejabat eselon II Pemkab Grobogan mewakili Pemda
menerima sumbangan bangunan toko yang dibangun swadaya pedagang . Tindakan
tersebut ada dasar hukumnya yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2010, Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
17 Tahun 2007, Peraturan Daerah Kab Grobogan Nomor 8 Tahun 2008, Peraturan
Daerah Kab Grobogan Nomor 20 Tahun 2002, Peraturan Bupati Grobogan Nomor 35
Tahun 2008. Pejabatnya dituduh telah melampaui kewenangan, melakukan perbuatan
melawan hukum, tindakannya diperkirakan di waktu yang akan datang bisa
berpotensi merugikan Pemerintah Daerah Kab Grobogan , dalam pertimbangan
putusan Majelis Hakim disebutkan bahwa : tindakan terdakwa yang melampaui
kewenangan dan melawan hukum itu tidak merugikan negara, tidak menguntungkan
dirinya sendiri atau orang lain atau korporasinya. Namun tetap dihukum 3
tahun ( di tingkat banding ) , denda Rp. 50.000.000 dan TIDAK MENGEMBALIKAN
KERUGIAN NEGARA . Kabarnya upaya kasasinya ditolak oleh majelis hakim agung
yang terdiri MS LUME, LEOPOLD LUHUT HUTAGALUNG DAN ARTIDJO ALKOTSAR. HUKUM
APA ?
Contoh-contoh kasus “korupsi” yang diadili di Jawa Tengah tersebut
menggugah minat para terdakwa atau terpidana untuk merenungkan : apakah masih
layak negara Indonesia memproklamirkan sebagai negara hukum ?
Dalam pengelolaan keuangan negara / keuangan daerah yang terkait dengan
terjadinya kerugian akibat kesalahan administrasi yang dilakukan bendahara ,
atau PNS bukan bendahara , atau pihak lain sudah ada aturan hukum internalnya ,
yaitu melalui Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) .
Mekanisme TPGR dianggap pihak lain tidak menyelesaikan persoalan kerugian
daerah atau kerugian negara . ANGGAPAN ini tentu dikembangkan oleh pribadi
pribadi penegak hukum yang mendapatkan plafon APBN cukup besar untuk setiap
satu perkara korupsi .
HUKUM sudah tidak dipatuhi oleh para aparat pemerintahan dan aparat penegak
hukum itu sendiri . Yang perlu dilakukan cepat adalah pemberdayaan ( capacity
building ) semua pihak untuk melakukan kesepakatan kembali secara nasional ,
apakah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tetap menjadi komandan pemberantasan
korupsi tanpa perubahan apapun. Masyarakat mestinya paham dalam tulisan ini ,
bahwa seseorang tidak merugikan negara , justru menguntungkan negara /
Pemerintah Daerah, atau rakyat kecil menjadi terdakwa karena rekayasa kasus ,
DIHUKUM YANG TIDAK PERLU . TIDAK ADA KEJAHATAN LUAR BIASA.
Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com
Semarang , 2 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar