Kamis, 04 Desember 2014

INDONESIA SUDAH BUKAN NEGARA HUKUM


MERENUNGKAN NEGARA HUKUM

Negara Republik Indonesia harus dikelola dengan baik dan benar . Negara Republik Indonesia adalah rahmat Allah SWT bagi masyarakat dan bangsa Indonesia . Dengan rahmat Allah SWT itu bangsa Indonesia akan memiliki daya dan kemampuan yang cukup untuk mengembangkan cara berpikir dalam kebersamaan menuju masyarakat yang adil makmur dalam naungan ridla Allah SWT .
Berpikir yang lurus adalah dalam rangka menempatkan siapapun sesuai posisi dan perannya sehingga seluruh komponen bangsa akan saling menyumbangkan kebajikan, saling menasihati dalam kebenaran, saling menolong dalam ketaqwaan, saling menjauhi kemungkaran, saling memaafkan dalam kekurangan , sehingga suasana kebathinan dalam kehidupan bersama semakin kokoh .
Dalam ketatanegaraan diperlukan peraturan perundangan yang memilahkan tiap kewenangan antar lembaga tinggi negara dengan maksud bukan untuk saling menghancurkan satu sama lain. Tetapi mensinergiskan peran antar lembaga tinggi negara itu dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang dipatrikan di dalam konstitusi Undang Undang Dasar 1945 .
Tatanan pemerintahan sudah dipraktekkan dalam beberapa dekade, yaitu semasa orde lama, semasa orde baru dan semasa reformasi .
Semasa orde lama sampai titik kulminasi agregasi politik multi partai , menyebabkan kepincangan tatanan pemerintahan di tingkat pusat sampai tingkat daerah sehingga tujuan nasional , utamanya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak maksimal . Sampai dengan dipenghujung akhir orde lama dan di awal tatanan orde baru Institusi pendidikan di tingkat Kabupaten yang melayani pendidikan menengah pada umumnya , untuk sekolah negeri , tingkat SMA hanya di ibukota kabupaten, sedangkan untuk tingkat SMP hanya di ibukota kecamatan . Anak bangsa yang mampu melanjutkan ke jenjang sekolah lebih tinggi dari sekolah rakyat ke sekolah menengah pertama dan selanjutnya ke sekolah menengah atas, harus lulus ujian nasional / ujian negara dan mampu menyediakan biaya hidup secara mandiri . Semua kebutuhan sarana belajar misalnya buku-buku mata pelajaran sudah disediakan oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan . Perguruan tinggi negeri memberikan peluang anak bangsa yang berotak cerdas melalui berbagai program penerimaan mahasiswa baru , pernah dicoba dengan sistem SKALU , kemudian program perintis .
Di bidang pembangunan perekonomian dan infrastruktur lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi dengan menetapkan kawasan kawasan pengembangan di tiap wilayah Propinsi . Dengan demikian, arah dan tujuan pembangunan daerah tetap sinergis dengan arah dan tujuan pembangunan nasional . Pelaksanaan pembangunan itu sendiri ada yang diswakelola oleh Dinas / Instansi sepanjang memiliki cukup sarana dan alat serta keahlian , sedangkan pelibatan pihak ketiga dalam penyediaan barang / jasa masih terbatas . Peraturan perundang-undangan yang tidak tumpang tindih, kemudian prinsip dan substansinya mudah diaplikasikan dalam rangka melaksanakan azas azas pemerintahan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 Jo Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah , maka penyebaran dan pemerataan pelaksanaan pembangunan dapat dirasakan hasilnya oleh bangsa Indonesia .
Harga kebutuhan bahan pokok ( sembako - sembilan bahan pokok ) diatur sedemikian sehingga dapat distabilkan di seluruh wilayah negara Indonesia. Rakyat tidak membutuhkan kebijakan pembagian beras miskin. Rakyat petani cukup disubsidi pembelian pupuk an organik ( sarana produksi pertanian ) . Harga jual panen hasil pertanian terjangkau oleh berbagai kalangan . Harga kebutuhan skunder juga tidak terlalu mahal dan masih terjangkau oleh masyarakat . Kedamaian hidup dengan pendekatan sosial religius benar-benar dapat diwujudkan oleh presiden Soeharto selama orde baru . Perilaku menyimpang dari kalangan aparatur negara dibina secara persuasif , tidak dengan represif . Menghukum aparat akan dilakukan dengan keras manakala sudah tidak bisa lagi dibina ahlaqnya, tidak bisa dikembangkan kariernya dan perilakunya yang kurang kondusif diindikasikan dapat merusak lebih luas internal instansinya .
Maka dari itu institusi penegak hukum pun tidak dibuat-buat tambahan seperti di era reformasi dengan memperbanyak lembaga-lembaga ad hoc .
Kewenangan legislasi tidak lagi menjadi pasti karena produk legislasinya bisa dipatahkan, atau dibubarkan melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi . Itu sama artinya bahwa negara hukum di Republik Indonesia sudah tidak lagi pasti negara hukum yang tegak , tetapi goyang goyang seperti tertempa angin spoi spoi yang kalau ada kedengkian yang luar biasa bisa saja membuat hukum yang tidak lazim .
Hukum yang tidak lazim sudah ada, yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 . Lembaga legislasi DPR RI dan Presiden RI yang bersama-sama menetapkan Undang-undang itu barangkalai tidak ada yang mengingatkan bahwa prinsip-prinsip pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatasi dengan Undang-undang itu dalam jangka panjang akan menghancurkan tatanan aparatur negara yang diisi kalangan birokrat dari pusat sampai daerah Kabupaten / Kota dan Desa/Kelurahan .
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi menjebak pola berpikir logis, menjebak nurani yang berketuhanan yang maha esa, membuka peluang masuknya aspek non law inforcement dalam beracara misalnya titipan secara politis. Dan nyatanya memang benar adanya banyak kalangan elit politik yang dijaring gillnet ( semacam jaring penangkap ikan dilaut ) dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan wajah ketakutan tetap berteriak : “ silahkan diproses hukum asal objektif, jangan dipolitisasi “. Pembaca masih ingat ketika negara ( KPK ) mengejar sampai ke luar negeri dalam rangka mengadili Nazaruddin, kemudian menyeret banyak pihak sampai di kolong kementerian Pemuda Olah Raga (Andi Malarangeng dihukum) , kemudian merambah di Partai Demokrat (  Anas Urbaningrum Ketua Umum juga dihukum ) . Bola Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sudah menggelinding , tergantung KPK akan mengarahkan ke mana. Penyusun undang-undang itu bisa dikatakan terkena batu sandungan yang dibuatnya sendiri .

Bagaimana praktek penegakan hukum dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 di daerah?
Jaring ( gilnet-nya) dibuat sekecil mungkin karena tidak ada ikan kakap yang besar seperti yang dibidik KPK . Polisi dan Jaksa cukup menjaring koruptor klas ikan teri atau koruptor abal-abal dalam rangka meramaikan hiruk pikuknya negara hukum yang baru gandrung mengadili rakyat kecil . Rakyat kecil sekarang baru menghadapi permainan elit partai yang saling rebutan kursi pimpinan partai, juga menghadapi ulah pikiran kotor polisi dan jaksa itu sendiri .

Petani yang hidupnya di desa setiap hari bergelut dengan pekerjaan di sawah / ladang atau memelihara ternak ( sapi atau kerbau ) , mereka tidak paham bahwa ketika menerima bantuan sosial dari kementerian pertanian berupa gaduhan ternak sapi bisa diperkarakan dengan tuduhan korupsi. Kata polisi / jaksa , hai pak tani.... kamu telah melampaui kewenangan karena telah menjual sapinya pemerintah tidak ijin menteri . Hai pak tani,.... kamu telah melakukan perbuatan melawan hukum untuk menguntungkan dirimu sendiri dan anggota kelompok tani temanmu . Negara telah kamu rugikan senilai jumlah sapi yang kamu jual .

Dalam kasus yang sudah disidangkan, kerugian negara yang dimaksud : ada yang cuma Rp. 1.030.000 , kemudian petaninya dihukum 1 tahun dan 6 bulan , denda Rp. 50.000.000 dan mengembalikan kerugian negara Rp. 1.030.000 ( kasus di kabupaten Banyumas ) . VONIS HUKUMAN PENJARA sangat berat jika dibandingkan dengan hukuman penjara yang dijatuhkan kepada para koruptor yang kejahatannya luar biasa di pengadilan tipikor Jakarta. Apakah masih layak negara Indonesia tetap menyandang sebagai NEGARA HUKUM ?

Dalam kasus sejenis dari kabupaten Tegal , kata polisi / jaksa petani pelakunya telah merugikan negara Rp. 77.000.000 . Petaninya kemudian dihukum 5 tahun , denda Rp. 100.000.000 dan ditambah mengembalikan kerugian negara Rp. 77.000.000 . Para ahli hukum dipersilahkan ikut merenungkan nasib terpidana dalam kasus ini. TIDAK PANTAS dihukum 5 tahun, sebab Andi Malarangeng yang menerima gratifikasi Rp. 2 milyar Cuma divonis 4 tahun .

Dalam kasus bansos APBD Propinsi Jawa Tengah untuk pembangunan tempat ibadah. Bantuannya Rp. 7.000.000 . Ketahuan dipotong anggota DPRD Propinsi Jawa Tengah Rp. 3.500.000. Jadi yang diterima pengurus tempat ibadah cuma 50% , Rp. 3.500.000 . Seluruh pengurus tempat ibadah kemudian dihukum 1 tahun , di denda Rp. 50.000.000 dan mengembalikan kerugian negara Rp. 7.000.000 . Padahal masjid-nya tetap dibangun sampai selesai oleh takmir masjid yang dihukum tersebut . ( Kasus di Kab Karanganyar ) . Yang memotong dana APBD tidak ditindak . Para takmir masjid / mushola yang tidak paham kesalahannya dihukum berat . Tidak ada mata batin hakim yang hidup dalam melihat kasus yang dibuat-buat jaksa/polisi . HUKUM APA ?

Pada kasus yang lebih aneh, pejabat eselon II Pemkab Grobogan mewakili Pemda menerima sumbangan bangunan toko yang dibangun swadaya pedagang . Tindakan tersebut ada dasar hukumnya yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007, Peraturan Daerah Kab Grobogan Nomor 8 Tahun 2008, Peraturan Daerah Kab Grobogan Nomor 20 Tahun 2002, Peraturan Bupati Grobogan Nomor 35 Tahun 2008. Pejabatnya dituduh telah melampaui kewenangan, melakukan perbuatan melawan hukum, tindakannya diperkirakan di waktu yang akan datang bisa berpotensi merugikan Pemerintah Daerah Kab Grobogan , dalam pertimbangan putusan Majelis Hakim disebutkan bahwa : tindakan terdakwa yang melampaui kewenangan dan melawan hukum itu tidak merugikan negara, tidak menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau korporasinya. Namun tetap dihukum 3 tahun ( di tingkat banding ) , denda Rp. 50.000.000 dan TIDAK MENGEMBALIKAN KERUGIAN NEGARA . Kabarnya upaya kasasinya ditolak oleh majelis hakim agung yang terdiri MS LUME, LEOPOLD LUHUT HUTAGALUNG DAN ARTIDJO ALKOTSAR. HUKUM APA ?

Contoh-contoh kasus “korupsi” yang diadili di Jawa Tengah tersebut menggugah minat para terdakwa atau terpidana untuk merenungkan : apakah masih layak negara Indonesia memproklamirkan sebagai negara hukum ?

Dalam pengelolaan keuangan negara / keuangan daerah yang terkait dengan terjadinya kerugian akibat kesalahan administrasi yang dilakukan bendahara , atau PNS bukan bendahara , atau pihak lain sudah ada aturan hukum internalnya , yaitu melalui Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) .

Mekanisme TPGR dianggap pihak lain tidak menyelesaikan persoalan kerugian daerah atau kerugian negara . ANGGAPAN ini tentu dikembangkan oleh pribadi pribadi penegak hukum yang mendapatkan plafon APBN cukup besar untuk setiap satu perkara korupsi .

HUKUM sudah tidak dipatuhi oleh para aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum itu sendiri . Yang perlu dilakukan cepat adalah pemberdayaan ( capacity building ) semua pihak untuk melakukan kesepakatan kembali secara nasional , apakah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tetap menjadi komandan pemberantasan korupsi tanpa perubahan apapun. Masyarakat mestinya paham dalam tulisan ini , bahwa seseorang tidak merugikan negara , justru menguntungkan negara / Pemerintah Daerah, atau rakyat kecil menjadi terdakwa karena rekayasa kasus , DIHUKUM YANG TIDAK PERLU . TIDAK ADA KEJAHATAN LUAR BIASA.

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com

Semarang ,  2 Desember 2014  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar