Jumat, 12 Desember 2014

KEBIJAKAN DIGILAS UU KORUPSI

MALAPETAKA DIBALIK KEBIJAKAN BUPATI GROBOGAN


Wahai bangsa Indonesia yang berbahagia,

Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota menjadi daerah otonom sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , berkewajiban menggali sumber pendapatan asli daerah sendiri ( PAD ) . Pendapatan asli daerah sendiri itu pada umumnya berkaitan dengan penggunaan barang daerah untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah ( SKPD ) yang mendapatkan tugas memungut pendapatan daerah .

Barang daerah ada yang tidak bergerak ada yang bergerak. Barang daerah yang tidak bergerak antara lain bangunan pasar daerah yang khusus disediakan pemerintah daerah untuk sarana perdagangan di daerah setempat . Di era orde baru , optimalisasi pemanfaatan barang daerah , seperti pengembangan pasar daerah dilakukan antara Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dengan sistem BOT . Tanah dan bangunan pasar daerah yang sudah ada dijadikan modal dalam kerjasama pemanfaatan ( BOT ) pengembangan pasar daerah yang seluruh biayanya disediakan oleh pihak swasta . Pihak swasta mendapatkan hak tertentu atas tanah dan bangunan baru pasar daerah dalam jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis yang telah memperoleh persetujuan Menteri Dalam Negeri . Pemerintah Kabupaten Grobogan juga melaksanakan kerjasama pemanfaatan dengan PT Karsa Bayu Bangun Perkasa ( KBBP ) Jakarta pada tahun 1994 untuk pengembangan pasar (induk ) di Kota Purwodadi . Jangka waktu yang disepakati akan berakhir pada April 2020 .

Sangat disayangkan, di dalam BOT pasar induk kota Purwodadi ini secara materiil timbul kerugian yang dialami Pemerintah Kabupaten Grobogan sangat besar , sebab bagian tempat usaha yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Grobogan hanya mengelola lahan parkir dan MCK . Sebuah bagian tempat usaha yang tidak sebanding dengan penyertaan modal yang disediakan Pemerintah Kabupaten Grobogan, berupa nilai tanah pasar 8.500 M2 dan bangunan toko dan los pasar (lama) yang dibongkar. 

Bagian tempat usaha yang sangat kecil itu hilang sejak tahun 1995 karena direbut paksa dengan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh paguyuban pedagang pasar umum Purwodadi ( PMPPU ) yang bekerjasama tidak sah dengan Tim Pengawas Renovasi Pasar Umum Purwodadi yang dibentuk Bupati Grobogan saat itu. Tim tersebut dipimpin oleh Sekretaris Daerah dengan beberapa anggota yang terdiri dari Ketua Bappeda, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Asisten Pemerintahan, Asisten Pembangunan dan Perekonomian, Kepala Dinas Pendapatan Daerah,  Kepala Bagian Hukum, Kepala Bagian Keuangan dan lain-lain . 

Informasi yang diterima tipikorngamuk.blogspot.com menyebutkan bahwa penguasaan tanpa hak yang sah bagian tempat usaha ( lahan parkir dan MCK ) oleh PMPPU itu masih berlangsung sampai sekarang . Artinya, bahwa kerugian keuangan Pemerintah Kabupaten Grobogan berlanjut terus menerus tanpa ada pejabat yang berani menghentikan . Bupati Grobogan yang sekarang bersembunyi dalam bayangan ketakutannya sendiri tanpa menyadari bahwa membiarkan pun sama saja menciptakan kerugian daerah semakin besar. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Grobogan patut dimintai tanggung jawab hukum dan akuntansi atas berlangsungnya kerugian daerah yang berlanjut ini.

Mengapa semua diam ?
DPRD Kabupaten Grobogan diam. Bupati Grobogan diam. Rakyat Kabupaten Grobogan diam. Tentu Direktur PT KBBP Jakarta sangat senang , sebab sudah berhasil menjual semua toko dan los yang menjadi bagiannya berdasarkan perjanjian BOT Pasar Umum Purwodadi ini. 
Aparat penegak hukum wajib melakukan investigasi nyata dan sungguh sungguh agar persoalan BOT Pasar Umum Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah yang menyebabkan kerugian daerah Kabupaten Grobogan terkuak terang benderang . Persoalan serius yang bisa dilidik / disidik antara lain : tidak sebandingnya bagian tempat usaha yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Grobogan ( hanya lahan parkir dan MCK ) , diubahnya HGB atas nama PT KBBP Jakarta untuk tanah 8.500 M2 sedangkan bangunan diatasnya ( toko dan los ) diberi sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atasnama pedagang yang membelinya dari PT KBBP Jakarta, hilangnya bagian tempat usaha ( lahan parkir dan MCK ) yang kemudian dikuasai PMPPU Purwodadi , diperjualbelikannya toko atau los yang sudah dimilkiki pedagang dengan bebas dimana harganya mencapai ratusan juta rupiah , selama 25 tahun pedagang yang sudah memiliki sertipikat hak milkik atas satusan rumah susun toko atau los tidak pernah mau membayar retribusi pasar atas dasar peraturan daerah Kab Grobogan nomor 20 tahun 2002.    

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ada ketentuan yang menegaskan bahwa Kepala Daerah ( Bupati ) dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertugas mengelola pasar umum Purwodadi berkewajiban melakukan tindakan pemulihan terjadinya kerugian keuangan Pemerintah Daerah yang dimaksudkan . Kalau hal ini tidak dilakukan sama saja artinya Kepala Daerah dan Kepala SKPD yang bersangkutan membiarkan berlangsungnya kerugian Pemerintah Daerah . Tindakan pembiaran itu sama saja telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar sumpah jabatan. 

Perjanjian BOT atas pasar umum Purwodadi tahun 1994 / 1995 yang mendapatkan persetujuan DPRD, kemudian memperoleh rekomendasi Gubernur Jawa Tengah sebagai dasar pengesahan dari Menteri Dalam Negeri , kemudian berakibat timbulnya kerugian keuangan Pemerintah Kabupaten Grobogan, harus diusut tuntas.Kerugian Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan akan berlanjut sampai dengan tahun 2020 ( April ). Sebelum direnovasi tahun 1994/1995, pendapatan retribusi pasar dari pasar umum Purwodadi adalah Rp. 735.000.000,00 pertahun. Kalau hasil itu selama 25 tahun berarti ada kerugian sebanyak : 25 x Rp. 735 juta = 18.375.000.000  ( delapan belas milyar tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah ) . Pihak ketiga yaitu PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta sangat diuntungkan oleh Bupati Grobogan, sebab membangun dengan modal kerja sekitar Rp. 6.000.000.000 ( enam milyar rupiah ) sudah menjual seluruh toko dan los yang menjadi haknya ketika diberi Hak Guna Bangunan ( HGB ) dalam perjanjian BOT kepada pedagang . Pedagang yang membeli toko atau los dari PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta memperoleh Hak Milik atas Satuan Rumah Susun di Pasar umum Purwodadi .

PT KBBP Jakarta menikmati keuntungan yang luar biasa besarnya, sebab sejak menerima bagian tempat usaha berupa seluruh toko dan los kemudian dijual tunai kepada para pedagang tidak lagi melakukan pemeliharaan bangunan . Para pedagang yang membeli toko atau los yang diberi hak milik atas satuan rumah susun itu tentu akan bersikap sesuai haknya ketika pada bulan April 2020 dipaksa Pemerintah Daerah untuk menyerahkan toko atau losnya. Mengapa pedagang tidak diberi hak guna bangunan atas toko atau los yang dibelinya sebagai pemecahan Hak Guna Bangunan yang dimiliki PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta. 

Dapat diprediksi bahwa pada bulan April 2020 Pemerintah Kabupaten Grobogan akan menghadapi persoalan sangat serius yaitu tidak gampang menarik kembali bangunan toko dan los yang sudah menjadi HAK MILIK rumah susun atas nama pedagang masing-masing untuk dikembalikan menjadi aset Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan . Apakah perkiraan persoalan yang hampir dapat dipastikan akan terjadi ini sudah dikaji oleh pejabat - pejabat SKPD dan Kepala Daerah bersama DPRD Kabupaten Grobogan ????.

APAKAH ADA PERSOALAN LAINNYA DALAM PENGELOLAAN PASAR DAERAH ?

Kabupaten Grobogan terdiri dari 19 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Purwodadi, Toroh, Geyer, Grobogan, Brati, Klambu, Karangrayung, Penawangan, Tegowanu, Gubug, Godong, Tanggungharjo, Kedungjati, Tawangharjo, Wirosari, Kradenan, Gabus, Pulokulon dan Ngaringan. 

Bangunan pasar daerah yang berada di kecamatan Purwodadi antara lain Pasar umum Purwodadi, pasar umum Nglejok, pasar umum Glendoh, pasar umum Danyang dan pasar hewan Kalongan . Di Kecamatan Godong terdapat pasar umum Godong dan pasar hewan di Ketitang  . Di kecamatan Wirosari ada pasar umum dan pasar hewan Kunden . Di kecamatan lainnya masing-masing ada satu lokasi pasar umum milik pemerintah daerah . Pasar Daerah berkembang sangat cepat tidak saja dibiayai pembangunannya dengan dana APBD Kabupaten Grobogan , tetapi yang berperanan sangat besar adalah pedagang di pasar yang bersangkutan setelah diberi peluang dapat membangun toko atau kios atau los secara swadaya .

Kondisi demikian dapat berlangsung setelah Pemerintah Daerah mengeluarkan kebijakan di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan Nomor 11 Tahun 1998 tentang Retribusi Pasar yang kemudian diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 20 Tahun 2002. Dalam perubahan peraturan daerah ini ada satu hal yang sangat mendasar dan penting yaitu adanya kebijakan Pemerintah Kabupaten Grobogan yang memberikan peluang kepada pedagang yang sudah berjualan di tanah pasar daerah untuk turut serta membangun toko / kios / los secara swadaya, artinya membangun dengan biaya sendiri tanpa mendapatkan bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )  Kabupaten Grobogan . 

Yang unik adalah bahwa bangunan toko atau kios atau los swadaya itu harus diserahkan kepada Bupati Grobogan untuk menjadi aset Pemerintah Daerah seketika setelah selesai dibangun. Sedangkan pedagang yang membangun secara swadaya hanya diberi kesempatan pertama untuk bisa menempati atau memakai toko atau kios atau los tersebut sebagai tempat berjualan yang tidak gratis artinya tetap berkewajiban membayar retribusi tempat dasaran setiap hari . 

Pedagang yang bersangkutan diberi kompensasi atas kesediaannya menyerahkan bangunan toko atau kios atau los swadaya itu, dengan pembebasan tidak membayar retribusi tempat dasaran selama 1 ( satu ) tahun pada tahun pertama menempati / memakai toko atau kios atau los yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah tersebut. Pembangunan toko atau kios atau los swadaya oleh pedagang itu hanya didasarkan kepada Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 20 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ijin Membuat dan Membongkar Bangunan Dalam Wilayah Kabupaten Grobogan . Dengan demikian tidak sama dengan sistem BOT sebagaimana yang dilakukan melalui kerjasama pemanfaatan antara Pemerintah Kabupaten Grobogan dengan PT Karsa Bayu Bangun Perkasa Jakarta untuk renovasi bangunan pasar induk Purwodadi tahun 1994 / 1995.

Kebijakan Pemerintah Daerah yang sah dan kuat berdasarkan peraturan daerah Nomor 20 tahun 2002 tetap berlangsung sampai tahun 2012 dimana peraturan daerah itu tetap menjadi dasar hukum sesuai dengan ketentuan di dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk membangun toko atau kios atau los secara swadaya itu diperlukan perijinan dari Kepala SKPD yang mengelola pasar dan ijin mendirikan bangunan ( IMB ) dari bupati grobogan yang diatur peraturan daerah kabupaten daerah tingkat II Grobogan nomor 5 tahun 1994 tentang Ijin Membuat dan Membongkar bangunan dalam wilayah Kabupaten Grobogan . Mekanisme demikian ini berlangsung sejak urusan Pasar Daerah menjadi tanggung jawab Kepala Dinas Pendapatan Daerah ( DIPENDA ) Kabupaten Grobogan . 

KESIMPULAN :


Dua peraturan daerah Kabupaten Grobogan yang ada yaitu Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ijin Membuat dan Membongkar Bangunan dalam wilayah kabupaten Grobogan serta Nomor 20 Tahun 2002 tentang Retribusi Pasar adalah sumber hukum dan dasar hukum yang kuat yang bersifat khusus , berlakunya sebelum ada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, dan oleh sebab itu maka wajib dipedomani oleh pimpinan SKPD yang diberi tanggung jawab mengelola pasar daerah sepanjang aset pasar daerah itu sudah diserahkan penggunaannya kepada Kepala SKPD dalam rangka penyelenggaraan tupoksi SKPD yang dipimpinnya. Selama peraturan daerah itu belum dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan maka tetap menjadi dasar hukum yang sah menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan harus dipatuhi semua pihak . 

Bangunan pasar umum Godong yang lama konstruksinya terdiri dari beberapa toko pada deretan depan yang menghadap ke jalan raya Semarang - Purwodadi , kemudian di dalamnya terdiri dari beberapa banjar los - los . Setiap banjar los dibagi beberapa petak dengan ukuran 1,5m x 1m untuk berjualan pedagang kecil. Los - los ini sebagian besar dibangun secara swadaya oleh pedagang yang menempatinya . Disisi dalam bangunan toko, biasanya dibangun toko templek oleh pedagang secara swadaya . Pada tahun 2004 - 2005 ada bangunan toko swadaya yang dilakukan oleh 27 orang pedagang terletak di tanah pasar bagian selatan . Pelaksana pembangunannya dipercayakan kepada Pemilik UD Sumber Wono ( sdr H Sudarno ) dari Kecamatan Dempet Kabupaten Demak . Perijinannya juga cukup dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah yang sudah memperoleh pendelegasian kewenangan dari Bupati Grobogan selaku pengguna pasar umum Godong.


Tahun 2005 pasar umum Godong terbakar habis akibat arus pendek listrik dari salah satu toko . Aset pemerintah daerah ini menjadi puing puing berantakan dengan kerugian yang sangat besar , baik di pihak Pemerintah Daerah maupun di pihak pedagang .Modal kerja para pedagang habis . Dalam mengatasi kondisi darurat ini akhirnya pemerintah kabupaten Grobogan membangun pasar darurat yang bisa dimanfaatkan para pedagang korban kebakaran untuk berjualan sesuai kemampuannya .

Dengan bantuan dari APBN sebesar Rp. 17,5 Milyar dan dana APBD Kabupaten Grobogan kurang lebih Rp. 7 Milyar pasar umum Godong dibangun kembali pada tahun 2005 - 2006. Ketika akan dibangun kembali inilah Bupati Grobogan menetapkan kebijakan yang bermaksud menolong pedagang korban kebakaran tahun 2005 dibidang kelistrikan di seluruh toko atau los yang akan dipakai/disewa pedagang disambungkan langsung ke kantor pasar Godong . Pertimbangannya saat itu antara lain : 1) biaya penyambungan baru ke Perusahaan Listrik milik Negara ( PLN )  melalui Biro Tehnik Listrik ( BTL ) untuk daya 450 VA sangat mahal, membutuhkan biaya Rp. 2.000.000 ( dua juta ) ; 2) Pedagang pada umumnya menyatakan belum mampu membiayai sendiri jika harus mengajukan sambungan listrik ke PLN untuk toko yang akan disewa / dipakai ; 3) pedagang modalnya habis dan masih memiliki kewajiban membayar kredit bank . Akibat kebijakan inilah maka pembayaran tagihan rekening listrik pasar umum Godong tidak bisa dipilah , berapa tanggung jawab Pemerintah Daerah dan berapa tanggung jawab pedagang yang tokonya mendapat fasilitas listrik . Maka dari itu Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Grobogan kemudian memasang alat pengukur pemakaian daya listrik di tiap toko yang berlistrik ( KWH Meter ) . Dari sini dapat diketahui secara pasti jumlah daya listrik yang dipakai pedagang pemakai toko yang bersangkutan karena terekam di KWH Meter itu . Para pedagang kayaknya sejak awal sudah bersepakat dengan Bupati Grobogan dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah bahwa mereka harus mengembalikan dana APBD yang dipakai untuk membayar tagihan rekening listrik pasar umum Godong . Perhitungannya dengan mengalikan jumlah daya listrik yang tercatat di KWH Meter dengan tarif dasar listrik ( TDL ) yang berlaku saat itu . Kalau pedagang tidak mau membayar pasti akan terjadi kerugian daerah . Sistem demikian ini tentu sangat merepotkan bendahara pengeluaran yang bertugas pada Dinas Pendapatan Daerah , sebab jika terjadi kurang bayar dari pedagang pasar umum Godong, dia adalah menjadi penyebab timbulnya kerugian daerah .

Daya listrik yang terpasang di kantor pasar umum Godong untuk mensuplay instalasi kantor atau MCK dan seluruh toko menjadi sangat besar yaitu 115.000 VA . Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Grobogan yang mengelola pasar wajib menyediakan belanja listrik dari APBD yang kemudian dicantumkan dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran ( DPA ) .Daya terpasang sebesar itu sebenarnya berlebihan dan tidak efektif sebab biaya beban tetap-nya sangat besar dan itu menjadi tanggung jawab Dinas Pendapatan Daerah ( Pemerintah Daerah ) . Pedagang yang ikut menikmati listrik di toko / los nya tidak ikut terbebani biaya beban tetap .

Pedagang mulai diijinkan Bupati Grobogan / Kepala Dinas Pendapatan Daerah menempati / memakai / menyewa toko pada bulan Januari 2008 setelah membayar biaya pesan tempat 25% x biaya konstruksi pasar Godong dan angsuran pertama biaya konstruksi. Sesuai ketetapan dari Bupati Grobogan , mereka akan menerima keputusan pejabat yang berwenang tentang ijin pemakaian / ijin penempatan toko atau los setelah lunas 100% membayar biaya konstruksi . Jangka waktu angsuran biaya konstruksi itu disepakati 15 tahun , dihitung sejak tahun 2008 . Dengan demikian keputusan ijin resmi untuk pedagang yang menempati toko / los sampai saat ini belum ada . Kesulitan akan timbul tidak saja karena penempatan pedagang atas toko atau los tidak jelas dan tidak sah, tetapi manakala diwaktu mendatang ada perubahan peraturan daerah kabupaten Grobogan nomor 20 tahun 2002 tentu akan berdampak pada perubahan kebijakan dan tata kelola administrasinya .

Bagaimana Dinas Pendapatan Daerah kabupaten Grobogan menangani penerimaan kerugian daerah akibat belanja listrik pasar umum Godong ?

Pembayaran pengembalian kerugian daerah akibat APBD yang dipakai membayar rekening listrik toko dan los pasar umum Godong dimulai bulan Januari 2008 . Pemungutannya dilakukan oleh petugas yang ditugaskan Kepala Dinas Pendapatan Daerah ( DIPENDA ) Kab Grobogan, yaitu sdr Sudjadi dkk . Pembayaran pengembalian kerugian APBD ini diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah .

Pengembalian kerugian daerah ini tidak sama dengan pungutan pendapatan daerah dari jenis pajak daerah atau retribusi daerah yang memerlukan peraturan daerah sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah . Pengembalian kerugian daerah tidak membutuhkan peraturan daerah secara khusus sebagaimana yang diberlakukan untuk penerimaan dari pajak daerah atau penerimaan dari retribusi daerah . 

Jika Pemerintah Daerah sudah memiliki Majelis Tuntutan Perbendaharan dan Ganti Rugi dengan dasar Peraturan Daerah yang mengatur SOP Majelis TPGR , maka tuntutan pengembalian kerugian daerah harus melalui majelis TPGR . Ketentuan ini berlaku jika kesalahan yang mengakibatkan timbulnya kerugian daerah adalah karena kesalahan bendahara atau PNS bukan bendahara . 

Peran Majelis Tuntutan Perbendaharawanan dan Ganti Rugi ( TPTGR ) 

Majelis TPTGR akan melakukan tugas dan kewajibannya jika mendapatkan perintah dari Bupati Grobogan ketika ada rekomendasi tertulis dari Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) yang mengaudit terjadinya kerugian daerah akibat kesalahan seorang bendahara atau PNS bukan bendahara .

Untuk kasus listrik pasar Godong , terjadinya kerugian daerah bukan disebabkan kesalahan bendahara pengeluaran Dinas Pendapatan Daerah , sebab timbulnya kerugian daerah itu karena akibat adanya KEBIJAKAN BUPATI GROBOGAN yang bermaksud menolong pedagang korban kebakaran tahun 2005 khusus pemberian fasilitas kelistrikan di seluruh toko dan los .

Oleh sebab itu penyelesaiannya adalah melalui kesepakatan antara Kepala Dinas pengelola pasar dengan pedagang yang bersangkutan , kemudian jumlah pengembaliannya dari pedagang adalah hasil perhitungan dengan mengalikan angka daya listrik yang dipakai / tercatat di KWH Meter dengan TDL  , diserahkan melalui Kepala UPTD Pasar Umum Godong setiap bulan .

Dalam hal penerimaan pengembalian kerugian daerah ini diperlukan nomor kode rekening pendapatan tersendiri sebab tidak bisa disetorkan melalui nomor kode rekening retribusi pemakaian toko atau pemakaian los atau retribusi lainnya yang sudah ada .

Maka dari itu , setelah Kepala UPTD Pasar Umum Godong menerima dari pedagang, berkewajiban menyetorkannya kepada Bendahara Penerimaan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Grobogan. Untuk penerimaan retribusi pemakaian toko atau los dan pembayaran angsuran konstruksi, disetorkan langsung oleh bendahara penerimaan pembantu UPTD Pasar Umum Godong ke kas daerah yaitu di BPD Cabang Purwodadi sebagai pemegang Kas Daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan .

Mekanisme demikian ini kemudian dilanjutkan oleh Kepala Dinas Perindagtamben Kabupaten Grobogan setelah mulai tahun 2009 urusan pengelolaan pasar daerah menjadi tugas dinas tersebut sebab Dinas Pendapatan Daerah dilikwidasi . Ketika ditangani Kepala Dinas Pendapatan Daerah yaitu di tahun 2008 bisa berlangsung lancar karena penyetorannya menggunakan rekening pendapatan pasar secara global . Menjadi bermasalah ketika penanganannya ditugaskan kepada Dinas Perindagtamben karena pendapatan pasar dirinci per item , sehingga untuk penyetoran pengembalian kerugian daerah juga membutuhkan kode rekening tersendiri . Bupati Grobogan tidak menyediakan kode rekening yang dimaksudkan , sebab harus memperoleh persetujuan Menteri Dalam Negeri , atau setidak-tidaknya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Kepala BPKP Perwakilan Jawa Tengah sebagai user sistem informasi manajemen keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan .

Berlarut - larut hal itu tidak cepat tertangani dengan baik , sehingga menimbulkan kesulitan bagi Kepala Dinas Perindagtamben Kabupaten Grobogan sebab penerimaan kerugian daerah dari pedagang pasar umum Godong yang sudah dihimpun sejak Maret 2009 tidak bisa disetorkan ke kas daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan .

Disinilah yang tidak rasional, mengapa kemudian Kepala Dinas Perindagtamben Kab Grobogan DIKRIMINALISASI oleh Kejaksaan Negeri Purwodadi dengan dakwaan / tuntutan memungut rekening listrik yang tidak sah / tidak ada dasar hukumnya yang berakhir dalam pengadilan tipikor Semarang yang sesat  , dia dipenjarakan 3 tahun dan di denda Rp. 50.000.000 subsider 2 bulan kurungan .

Bupati Grobogan membiarkan dia dianiaya dan dipenjarakan secara tidak sah oleh Kejaksaan Negeri Purwodadi yang mengatasnamakan pemberantasan korupsi . Dalam persidangan pengadilan tipikor semarang ternyata dia tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 2 Undang undang Nomor 31 Tahun 1999. Majelis Hakim sependapat dengan dalil terdakwa ( mantan Kepala Disperindagtamben Kab Grobogan ) yang pada pokoknya bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk mencegah timbulnya kerugian daerah dengan memungut pengembalian kerugian daerah sesuai ketentuan Pasal 136 dan Pasal 137 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 , sehingga tindakan terdakwa adalah benar dan sah .

Majelis Hakim juga sependapat bahwa tidak ada pemakaian keuangan daerah untuk kepentingan pribadi terdakwa.

Dari fakta persidangan yang menempatkan terdakwa pada posisi tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak merugikan negara / keuangan daerah, maka JPU kemudian menuntutnya dengan pasal gratifikasi . Namun yang aneh adalah , kemudian Majelis Hakim memvonis dengan Pasal 3 Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 . Padahal khalayak ramai sangat paham bahwa unsur Pasal 3 harus dipenuhi adanya kerugian negara / kerugian daerah .

JPU tidak puas dengan vonis 2 tahun atas dasar Pasal 3 itu, kemudian banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah . Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim pengadilan tinggi sangat tegas menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan / dituntut JPU . Namun dalam amar putusannya, dimana dasar memori banding yang digunakan bukan memori banding JPU Kejaksaan Negeri Purwodadi, melainkan menggunakan memori banding JPU Kejaksaan Negeri Sragen , Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tipikor Jawa Tengah menghukum terdakwa 3 tahun dan denda Rp. 50.000.000 subsider 2 bulan . ANEH , JANGGAL , DAN SEBUAH KESALAHAN NYATA TELAH DILAKUKAN MAJELIS PENGADILAN TINGGI JAWA TENGAH YANG NEKAT TETAP MENGHUKUM DAN BAHKAN MENAMBAH HUKUMAN MENJADI 3 TAHUN KEPADA TERDAKWA DENGAN MENGABAIKAN RASA KEADILAN .

MENGAPA ?
Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Jawa Tengah yang di dalam PERTIMBANGAN-nya menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan TIDAK TERBUKTI telah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan , seharusnya dibebaskan atau setidak-tidaknya dilepaskan dari tuntutan hukum , justru diperberat hukumannya dari semula 2 tahun dan denda Rp. 50.000.000 menjadi 3 tahun dan denda Rp. 50.000.000. Yang sangat jelas cacat hukum dapat diperiksa pada amar putusannya, dimana dasar memperberat hukuman itu bukan atas dasar menerima memori banding jaksa penuntut umum dari kejaksaan negeri purwodadi, melainkan berdasarkan memori banding jaksa penuntut umum dari kejaksaan negeri SRAGEN . 

Putusan majelis hakim pengadilan tinggi tipikor jawa tengah yang cacat hukum dan MENURUT AZAS HUKUM seharusnya batal demi hukum ini , kemudian diajukan kasasi oleh terdakwa ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta . Namun KETIDAK ADILAN tetap dipertontonkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung RI yang terdiri dari Artidjo Alkustar selaku Hakim Ketua ditambah Lume dan Leopod Hutagalung sebagai hakim anggota , dengan putusan tanggal 16 Nopember 2014 bahwa permohonan kasasi terdakwa DITOLAK .Hakim Agung di Mahkamah Agung mestinya sangat arif dan sangat ahli di bidangnya walaupun hakim ad hoc sekalipun. Kearifan Hakim Agung akan memiliki integritas yang sangat tinggi manakala berani membatalkan putusan Majelis Hakim di pengadilan tingkat bawahnya yang cacat hukum , apalagi antar muatan yang ditulis dalam PERTIMBANGAN dengan AMAR PUTUSAN BERTOLAK BELAKANG . Apakah sudah tidak dipakai sebagai dasar ketentuan Pasal 191 KUHAP ???. 

Putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung atas nama terdakwa Drs H Moh Tohirin bin Marmo Moh Amin tersebut dapat diklasifikasikan sebagai sebuah putusan drama komedi majelis hakim agung di mahkamah agung sebab sangat jorok, tidak bernilai sama sekali, mencederai kaidah hukum positif di Negeri yang katanya berdasarkan hukum, dan tidak menjamin adanya KEPASTIAN HUKUM . 

Percuma saja negeri ini menyusun hukum positif dengan jelas , kalau pelaksanaannya hanya didasarkan selera subjektif dari aparat penegak hukum yang terdiri dari polisi, Jaksa dan Hakim-hakim . Sebaiknya negeri ini diselenggarakan pemerintahannya dengan selera pejabatnya saja. Kalau suatu ketika kepingin yang pedas ya tinggal menambah ancaman hukuman yang sangat berat . Kalau suatu ketika kepingin pencitraan, ya tambah manis-manis sedikit. Masyarakatnya tinggal pasang badan, pada era apa mereka berhadapan dengan sebuah rezim . Apakah rezim yang suka pedas atau rezim yang suka manis-manis. 

Berbahagia-lah bangsa Indonesia, yang sepanjang zaman tidak pernah memperoleh keadilan dan tidak mendapatkan kepastian hukum .

Semarang , 12 Desember 2014


1 komentar:

  1. wooow beginilah keadilan Indonesia?mirip kasus Pak Dahlan Iskan.semoga bapak dikuatkan imannya.

    BalasHapus