Sabtu, 06 Desember 2014

MAJELIS TPGR PEMDA DIMANDULKAN


 SALING MENGHANCURKAN DIBIARKAN PRESIDEN




Keuangan negara atau keuangan daerah harus dikelola dengan penuh tanggung jawab . Berdasarkan Undang undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bupati / walikota selaku kepala daerah menerima pelimpahan kewenangan selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah kabupaten / kota yang dipimpinnya. Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan Undang undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo Nomor 32 Tahun 2004 dengan segala perubahannya . Dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia, perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah diatur di dalam Undang undang Nomor 33 Tahun 2004. Dengan berbagai undang undang tersebut di atas , Daerah sebagai daerah otonom diberikan kewenangan memungut pendapatan daerah berdasarkan Undang undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah . Secara teknis, pengelolaan keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri ( Permendagri ) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah . Sedangkan untuk pengaturan pengelolaan barang milik daerah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah .

KEUANGAN DAERAH

Di dalam sistem pemerintahan daerah ( kabupaten / kota ) hak budget ada pada lembaga legislasi yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) kabupaten / kota . Pengelolaan Keuangan Daerah itu ditetapkan setiap tahun dalam peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD ) kabupaten/kota antara DPRD kabupaten /kota dengan bupati / walikota . APBD memuat perkiraan maksimal PENDAPATAN DAERAH yang akan diterima di dalam satu tahun anggaran yang bersangkutan . Demikian juga memuat perkiraan maksimal BELANJA dalam satu tahun anggaran yang bersangkutan . Pemerintah Daerah menerima kucuran dana dari pemerintah pusat melalui kebijakan Dana Alokasi Umum ( DAU ) dan Dana Alokasi Khusus ( DAK ) . Dua sumber kucuran dana tersebut sudah terakomodasi di dalam peraturan daerah tentang APBD . Kecuali dari dua sumber kucuran dana itu, pemerintah pusat bisa menugaskan pemerintah daerah melaksanakan kegiatan yang dirancang/ditetapkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) melalui tugas pembantuan . Anggaran tugas pembantuan ini pada umumnya tidak dikucurkan melalui APBD . Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) adalah perangkat pelaksana / pengelola kegiatan yang dibiayai dengan APBD atau bisa juga menjadi kuasa pengguna anggaran kegiatan tugas pembantuan dari pemerintah pusat ( kementerian / lembaga non kementerian ). 

Untuk melaksanakan APBD kabupaten / kota , bupati / walikota kemudian menetapkan peraturan / keputusan bupati / walikota tentang penjabaran APBD kabupaten / kota tahun anggaran yang bersangkutan . Plafon anggaran ( PENDAPATAN dan BELANJA ) masing masing SKPD tercermin secara jelas dan rigit di dalam peraturan / keputusan kepala daerah tersebut. Mekanisme pungutan / pengelolaan administrasi keuangan / ketentuan lainnya mengenai tiap jenis pendapatan daerah yang terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah . Tanpa dasar peraturan daerah , maka kepala SKPD dilarang melakukan pungutan daerah . Kecuali pajak daerah dan retribusi daerah , pemerintah daerah juga bisa menerima dari lain-lain pendapatan asli daerah yang sah misalnya dari hasil lelangan barang daerah yang dihapus, pengembalian kerugian daerah yang ditangani oleh Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPTGR ) atau pengembalian kerugian daerah atas dasar putusan hakim . 

Berdasarkan peraturan / keputusan bupati / walikota tentang penjabaran APBD maka daftar pelaksanaan anggaran ( DPA ) Pendapatan dan DPA Belanja disusun satuan kerja perangkat daerah . DPA SKPD ini dibuat untuk tiap jenis kegiatan dengan kode rekening secara terpisah untuk tiap kegiatan . Indek Satuan harga kebutuhan barang instansi pemerintah daerah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah . Keputusan kepala daerah inilah yang harus disusun secara objektif atas dasar informasi yang lengkap dari berbagai pihak pelaku pasar / pabrikan . Agar penyusunan DPA BELANJA juga objektif maka sebelum disahkan oleh kepala SKPD dan PPKD / Kepala SKPD pengelola keuangan daerah diperlukan tahapan verifikasi yang dilakukan oleh Tim terpadu yang diangkat bupati / walikota  . Tim terpadu ini pada umumnya terdiri dari unsur Bappeda, unsur PPKD/DPPKAD , unsur bagian hukum , unsur bagian keuangan . Setelah diverifikasi oleh tim tersebut maka DPA ditanda tangani kepala SKPD dan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah ( PPKD ) . DPA BELANJA memuat belanja pegawai , belanja barang / jasa dan belanja modal . Belanja pegawai menyediakan honorarium untuk perangkat organisasi kegiatan . Belanja barang / jasa menyediakan biaya pengadaan barang pakai habis atau barang lainnya yang dibutuhkan SKPD. Sedangkan belanja modal adalah menyediakan anggaran untuk pengadaan barang yang tatacaranya harus dilakukan dengan dasar keputusan presiden Nomor 80 tahun 2003 dengan segala perubahannya . 

Sisi rawan di dalam realisasi belanja barang / jasa dan atau realisasi belanja modal adalah manipulasi yang disengaja dengan niat yang nyata untuk memperkaya pribadi pejabat pengelolanya atau bersama-sama dengan pihak penyedia barang/jasa . Manipulasi bisa terjadi dengan membuat standart indek harga satuan barang / jasa kemahalan. Manipulasi sangat mungkin dilakukan dalam proses tender proyek / pengadaan barang yang dilakukan oleh panitia pengadaan barang bersama-sama dengan kepala SKPD dan kepala daerah . Hal ini bisa dibuktikan secara mudah tatkala hasil pekerjaan atas barang yang dibutuhkan pemerintah daerah kualitasnya sangat jelek atau spesifikasinya tidak jelas . Manipulasi pengadaan barang / jasa pasti berdampak akan menimbulkan kerugian keuangan daerah / kerugian keuangan negara.

KERUGIAN NEGARA ATAU KERUGIAN DAERAH

Kerugian daerah adalah penerimaan yang akan dibayarkan kembali dan atau pembayaran/pengeluaran yang akan diterima kembali . Kerugian daerah bisa disebabkan akibat kesalahan bendahara atau pegawai negeri sipil bukan bendahara atau pihak lain ( swasta ) . Dalil ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Jo Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 . Namun yang terjadi dalam praktek adalah bahwa kerugian daerah akan mudah terjadi karena kekuasaan / kewenangan yang disalah gunakan. Pemegang kewenangan di tiap SKPD bukan bendahara, tetapi Pengguna Anggaran / Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Anggaran / Kuasa Pengguna Barang . Mengingat ranahnya yang berbeda inilah maka penindakan atas terjadinya kerugian daerah , harus dipenuhi dengan cermat menurut peraturan perundang-undangan sebelum diserahkan kepada aparat penegak hukum .
Manakala kepala SKPD mengetahui di SKPD yang dipimpinnya terjadi kerugian daerah yang diakibatkan kesalahan bendahara atau pegawai negeri sipil bukan bendahara, maka kepala SKPD melaporkan kepada kepala daerah . Tahap selanjutnya , kepala daerah segera meminta bantuan kepala badan pemeriksa keuangan ( BPK ) untuk melakukan pemeriksaan sekaligus menghitung jumlah kerugian daerah . Atas dasar rekomendasi laporan hasil pemeriksaan BPK itu maka Kepala Daerah menyelesaikan tagihan kerugian daerah kepada pelakunya . Manakala BPK menemukan adanya indikasi perbuatan pidana dalam kerugian daerah yang sudah diperiksanya , maka tanpa diminta kepala daerah, Kepala BPK wajib merekomendasikan penanganannya kepada institusi penegak hukum ( kejaksaan agung ). 

Kerugian daerah yang tidak direkomendasikan kepala BPK kepada institusi penegak hukum wajib diselesaikan Majelis TPTGR pemerintah daerah dan Bupati / walikota . Dengan demikian bukan penyelesaian melalui penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi ( PTPK ) .

Berdasarkan Undang undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 adalah sumber hukum / dasar hukum sebab merupakan salah satu jenis dan hirarkhi peraturan perundangan yang mengikat .Ketentuan yang mengatur bagaimana penanganan kerugian daerah terdapat pada Pasal 136 dan Pasal 137 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Pasal 315 dan Pasal 316 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.

Bupati / walikota wajib membentuk Majelis Penuntutan Ganti Rugi yang susunan dan prosedur kerjanya diatur dalam peraturan daerah kabupaten / kota .  Pelaku yang menimbulkan kerugian daerah dari bendahara atau pegawai negeri sipil bukan bendahara ditindak oleh bupati / kota dengan keputusan atas rekomendasi Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi kabupaten / kota . Tindakan bupati / walikota bisa berupa perintah membayar kerugian daerah dalam jangka waktu terbatas yang didahului dengan surat pernyataan mutlak dari pelaku ,atau tindakan disiplin lainnya misalnya penurunan pangkat / penundaan gaji berkala / penundaan kenaikan pangkat sesuai dengan peraturan perundangan di bidang kepegawaian .

Kerugian daerah yang ditimbulkan pihak lain selain bendahara atau selain pegawai negeri sipil bukan bendahara, bisa ditindak langsung oleh kepala SKPD yang bersangkutan , sepanjang nilai kerugian daerahnya sudah pasti hitungannya .Hitungan kerugian daerah yang sudah pasti ini bisa diperoleh dari audit pemeriksa dari Inspektorat kabupaten / kota setempat .

Di dalam peraturan perundangan di bidang keuangan negara / keuangan daerah menyebutkan bahwa tindakan disiplin dari bupati / walikota kepada bendahara atau pegawai negeri sipil bukan bendahara dilakukan atas dasar peraturan disiplin PNS yaitu peraturan pemerintah nomor 53 tahun 2010 pada prinsipnya tidak mengesampingkan aspek pidana jika memang ada indikasi kuat unsur pidananya . 

Manakala ada indikasi pidana pasti sudah direkomendasikan oleh Kepala BPK kepada Institusi penegak hukum tanpa perlu meminta persetujuan bupati / walikota sebab hal itu menjadi otoritas Kepala BPK berdasarkan Undang undang Nomor 15 Tahun 2004 Jo Undang undang Nomor 15 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPK RI Nomor 3 Tahun 2006.

Mekanisme standart penyelesaian kerugian daerah atau kerugian negara seperti yang diatur dalam peraturan perundang undangan sebagaimana diuraikan di atas harus dipatuhi semua penyelenggara negara, tidak terkecuali oleh aparat yudikatif / penegak hukum .Pegawai negeri sipil yang menjabat bendahara atau pegawai negeri sipil bukan bendahara yang dihukum disiplin dan diwajibkan mengembalikan sejumlah kerugian daerah akibat perbuatannya pada hakekatnya sudah mendapatkan hukuman sangat berat . Oleh karena itu, manakala pelanggaran disiplin yang terjadi adalah kategori berat , mereka pasti akan diberhentikan dari pegawai negeri sipil , bisa dengan atau tanpa hak pensiun . Jika diberhentikan tidak dengan hormat pasti tidak mendapatkan hak pensiun . Pegawai negeri sipil yang kategori inilah yang dimungkinkan untuk dilanjutkan dengan proses hukum pidana .

Sedangkan kerugian daerah yang pelakunya adalah pihak lain selain bendahara atau PNS bukan bendahara , penyelesaiannya dilakukan oleh Kepala Dinas ( SKPD ) yang bersangkutan. Atas tindakannya itu kepala SKPD wajib melaporkan hasilnya kepada bupati / walikota . Yang menjadi perhatian adalah apakah penerimaan pengembalian kerugian daerah dari pelakunya itu bisa langsung disetorkan ke Kas Daerah Kabupaten / kota atau harus menunggu tersedianya kode rekening sebagai sarana penyetoran .

Penerimaan pengembalian kerugian daerah tentu tidak dirancang sebelum menyusun Kebijakan Umum Anggaran ( KUA ) Penyediaan Plafon Anggaran Sementara ( PPAS ) dalam peraturan daerah tentang  RAPBD kabupaten/ kota . Kerugian daerah yang terjadi dan diketahui pimpinan SKPD biasanya sudah pada tahapan pelaksanaan kegiatan tahun anggaran yang bersangkutan . Maka dari itu tidak mungkin sebelum ada tindakan penagihan pengembalian kerugian daerah di dalam DPA PENDAPATAN SKPD sudah disediakan kode rekening penyetoran pengembalian kerugian daerah . Oleh sebab itu penerimaan pengembalian kerugian daerah itu bisa terjadi baru disetorkan ke kas daerah pada perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan atau bisa juga pada tahun anggaran berikutnya . Dengan demikian penyetoran penerimaan pengembalian kerugian daerah ke kas daerah kabupaten / kota tidak terikat dengan ketentuan peraturan yang mewajibkan penyetoran pendapatan daerah dalam jangka waktu : 1 x 24 jam sejak dipungut . 

Kalau untuk pendapatan pajak daerah atau retribusi daerah pasti bisa dilakukan penyetoran ke kas daerah dalam waktu 1 x 24 jam sejak dipungut sebab kode rekening pendapatan untuk itu sudah disediakan sejak menyusun KUA PPAS / RAK dalam RAPBD kabupaten / kota . Mungkin ada pengecualian manakala lokasi unit kerja pemungutnya jauh terpencil dengan lokasi bank yang ditunjuk sebagai kas daerah . Jika terjadi hal demikian maka diperlukan kebijakan khusus dari bupati / walikota .

Secara administrasi, penanganan kerugian daerah akan melalui tahapan sebagai berikut :
1)        Identifikasi perbuatan yang menyebabkan terjadinya kerugian daerah
2)        Identifikasi pelaku yang menyebabkan terjadinya kerugian daerah
3)        Laporan kepala SKPD kepada Bupati
4)        Permintaan Bupati kepada BPK RI untuk melakukan audit terkait terjadinya kerugian daerah
5)        Penyampaian LHP atas terjadinya kerugian daerah dari Kepala BPK RI kepada Bupati
6)        Tindak lanjut oleh bupati terhadap rekomendasi di dalam LHP BPK RI
7)        Bupati menugaskan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Jo Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Jo Peraturan Daerah kabupaten tentang Majelis TPGR
8)        Majelis TPGR menyampaikan rekomendasi kepada Bupati
9)        Bupati menetapkan keputusan (final) tentang tindakan kepada pelaku dan batas waktu pembayaran pengembalian kerugian daerah
10)    Jika dalam batas waktu pengembalian kerugian daerah tidak diselesaikan pelaku, dapat diserahkan kepada Kajari untuk penuntutan keperdataan
11)    Jika tuntutan keperdataan tidak diindahkan oleh pelaku, maka Kajari bisa menindak secara pidana .

Setelah reformasi pemerintahan dan hukum berlangsung disertai dengan penetapan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, maka kewenangan Majelis TPGR di lingkungan Pemerintah Daerah kabupaten menjadi “hilang begitu saja “ akibat arogansi keterlibatan masyarakat yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi . Keterlibatan masyarakat lebih kental warnanya dengan kedengkian atau permusuhan, misalnya akibat piliah legislatif, pilihan kepala desa, pilihan perangkat desa, pilihan kepala daerah , akibat samping promosi jabatan pejabat struktural dan lain sebagainya .

Masyarakat yang merasa diberi kesempatan untuk “balas dendam” melalui law enforcement yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, akan menggelinding semakin membesar dan prahara itu akan menggilas terus di lingkungan birokrat pemerintah daerah dan pemerintah desa. Bahkan, jika RT dan RW dan Tim Penggerak PKK yang menerima bantuan sosial  dari APBD diusut tuntas, dapat dipastikan tidak ada yang akan lolos dari perbuatan korupsi . Mungkin kondisi ini yang dikehendaki oleh pemerintah pusat . Penjara akan dipenuhi oleh koruptor-koruptor klas teri . Atau bisa juga akan dipenuhi oleh orang-orang yang sengaja dikorbankan oleh kedengkian dan permusuhan .

Apakah rakyat mengetahui kondisi seperti ini ?
Rakyat yang hanya mengikuti pemberitaan lewat televisi menjadi terpana ketika pengadilan memvonis 4 tahun terhadap terdakwa yang terbukti merugikan keuangan negara milyaran rupiah. Namun rakyat tidak pernah mendengar pemberitaan tentang pengadilan tipikor di semarang, dimana kebanyakan terdakwanya adalah korban kedengkian atau permusuhan . Mereka dipaksa dalam dakwaan “turut serta” , artinya tidak langsung bersentuhan dengan timbulnya kerugian negara / kerugian keuangan daerah, namun harus menjalani persidangan dagelan korupsi. Sidangnya memang benar-benar dagelan, tetapi hukumannya sungguhan . Mereka menderita dan dihukum dengan tidak paham kesalahannya. Keluarga mereka ikut menderita karena kedengkian dan permusuhan .

Semoga Allah SWT menghentikan mereka yang berbuat kedengkian dan permusuhan . Campur tangan langsung Allah SWT sudah saatnya diwujudkan .

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com

Semarang,     Desember 2014






Tidak ada komentar:

Posting Komentar