Senin, 15 Desember 2014

JEBAKAN AGAR MELAKUKAN KORUPSI

FAKTANYA TIDAK SEMUA KEJAHATAN LUAR BIASA 


Keuangan negara Republik Indonesia harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat , semua pasti setuju . Penghamburan keuangan negara untuk "menciptakan" berbagai pelayanan kepada rakyat melalui lembaga-lembaga negara ad hoc yang seharusnya bisa diselesaikan urusannya itu di dalam lembaga negara kementerian, pasti banyak yang tidak setuju . Pemisahan kewenangan kekuasaan negara secara rigid yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif dimana satu sama lain saling menghancurkan , juga banyak yang kurang sependapat, maka dikenal pembagian kekuasaan secara selaras , serasi dan seimbang .

Pejabat penyelenggara negara yang memiliki kewenangan yang luar biasa luasnya di dalam kelembagaan yang dipimpinnya, pasti menyelenggarakan urusan yang besar dengan biaya keuangan negara yang besar pula , terhadap pernyataan demikian ini pasti banyak yang sependapat . 

Korupsi keuangan negara yang luar biasa , pasti dilakukan pula oleh pejabat penyelenggara negara yang mengelola urusan yang besar  , tampak secara jelas dan tegas niat jahatnya untuk memperkaya dirinya sendiri dan korporasinya, sengaja melakukan perbuatan melawan hukum , sengaja melampaui kewenangan yang diberikan negara kepadanya, dan sudah terjadi secara materiil adanya kerugian keuangan negara di lembaga yang dipimpinnya berdasarkan laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan ( BPK ) . Terhadap statemen demikian ini pasti diamini oleh masyarakat dari kalangan ahli hukum sampai yang tidak memiliki pendidikan yang cukup sekalipun .

Pelayanan kepada publik oleh jajaran pemerintahan , baik di tingkat kementerian sampai di tingkat satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintahan daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten / kota, sudah biasa / sudah lazim bisa berlangsung tidak cukup hanya mengandalkan hukum formal yang menjadi dasar hukum keberadaan institusi dan atau pedoman kerjanya di dalam standart pelayanan minimal / standart pelayanan prima, sehingga untuk menghadapi ketika ada kekosongan hukum pasti akan dilakukan langkah / tindakan yang dinamakan kebijakan pejabat yang bersangkutan . Tanpa melakukan tindakan kebijakan, institusi pemerintahan tidak akan bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal . Kebijakan yang dipersoalkan adalah manakala kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, tendensius untuk kepentingan golongan tertentu saja, menghambat berlangsungnya pelayanan umum , dan bahkan berpotensi atau dapat menimbulkan kerugian negara / kerugian pemerintah daerah . Permasalahan yang ditimbulkan akibat kebijakan yang tidak tepat, sejak dahulu sampai sekarang penyelesaiannya dilakukan melalui koreksi , evaluasi dan rekomendasi dari atasan pejabat yang melakukan tindakan kebijakan tersebut, bukan dipidanakan . Pandangan hukum demikian ini, sekarang dinafikkan oleh institusi yudikatif , baik itu dari kalangan kepolisian, atau kejaksaan atau peradilan . Sudah tidak rasional lagi sebab jika penafikkan itu dibiarkan tanpa pengendalian secara nasional justru akan merusak ketatanegaraan dan tata pemerintahan, akan menghancurkan perjuangan mewujudkan good governance, dan negara ini akan mudah dipakai sebagai alat untuk balas dendam atas dasar kekecewaan, atas dasar kebencian, atas dasar permusuhan, dan atheis . 

Apakah pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 untuk semua kasus yang diduga korupsi di semua lini lembaga pemerintahan sudah dievaluasi oleh Presiden ? 
Rakyat butuh sekali informasi mengenai hasil evaluasi atas pelaksanaan pemberantasan korupsi berdasarkan Undang Undang nomor 31 Tahun 1999 tersebut . Rakyat pasti akan ikut mengapresiasi kinerja aparat penegak hukum jika semua pelaku korupsi yang ditindak adalah mereka yang tergolong benar-benar telah merugikan keuangan negara dengan perbuatan yang luar biasa dalam jumlah yang luar biasa , bukan mereka yang dijaring atas dasar laporan dari rakyat / laporan masyarakat karena kebencian, atau karena permusuhan atau akibat balas dendam dengan indikasi pelapornya membayar sejumlah uang kepada aparat penegak hukum .

Kasus-kasus yang dijaring oleh aparat penegak hukum hampir semuanya atas dasar laporan dari pengurus lembaga swadaya masyarakat (LSM ) yang tanpa didukung dengan alat bukti / bukti awal yang kuat. LSM sekedar menulis secarik surat dikirimkan kepada institusi kejaksaan atau kepolisian kemudian di blow up dengan pemberitaan di media cetak yang bernuansa fitnah  sudah cukup menjadi pendorong nafsu arogansi mengkriminalisasi seorang petani atau seorang pengurus tempat ibadah atau seorang pengurus paguyuban kesenian dan semacamnya menjadi tersangka / terdakwa dalam dugaan tindak pidana korupsi . Tersangka dalam kasus seperti ini hampir semuanya terjebak dalam paket bantuan sosial APBD dari Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota , dan ada pula bantuan dari APBN . Jika dilidik dengan seksama dan cermat, apa adanya, objektif, tidak menerima titipan secara politis atau karena janji mendapatkan imbalan hadiah dari pihak yang berkepentingan, masyarakat umum akan mendukung penegak hukum jika pelaku utamanya / aktor intelektualnya yang ditindak menurut hukum tipikor . Tidak rahasia lagi bagi masyarakat umum bahwa aktor intelektualnya kebanyakan anggota parpol yang sudah menjadi anggota badan legislatif atau makelar proyek ( tangan panjangnya anggota dewan , atau kepala daerah ) . Petani yang dijadikan tersangka / terdakwa itu sebenarnya sangat tidak rasional , sebab dalam persidangan tipikor pun dihadapinya sendiri tanpa penasihat hukum ( sekalipun dari negara ) , mereka dalam tekanan JPU dan kehadirannya sekedar memenuhi pro forma persidangan agar Majelis hakim bisa menghukum mereka. Aktor intelektualnya tetap aman, tetap selamat dari jeratan hukum, penyidiknya sungkan / tidak berani / atau punya alasan lain, publik tidak paham .

Kalau tersangka / terdakwa-nya seorang petani / rakyat rendahan di pedesaan , pertanyaannya adalah apakah mereka patut menjadi pelaku korupsi yang dikategorikan kejahatan luar biasa ? Tidak .
Mereka dikorbankan oleh perilaku balas dendam dengan latar belakang politik semasa orde lama, karena permusuhan antar pengurus dalam sebuah kelompok tani, karena kebencian akibat pemilihan kepala desa, karena kedengkian akibat ujian penyaringan pengisian kekosongan jabatan perangkat desa, karena pertengkaran internal kerabat sendiri. Semuanya ini terjadi karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sangat lemah, disusun tidak oleh ahli hukum yang berahlaq, tidak pernah diuji publik secara komprehensif saat konsep diajukan ke DPR RI , karena pemerintahannya korup dan tidak mengenal hukum yang ditetapkan Allah SWT .

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 seharusnya tidak perlu memberi peluang kepada masyarakat menjadi komandan penegakan hukum korupsi dengan mudah menyusun laporan fitnah yang kemudian menjadi satu-satunya alat aparat penegak hukum untuk berulah, dibandingkan dengan prosedur standart sebagaimana memfungsikan peran Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2005 Jo Peraturan Kepala BPK RI Nomor 3 Tahun 2006 .

Kejahatan luar biasa yang diterapkan di dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dikaji ulang , sebab apakah benar korupsi ada kaitannya dengan indikator kejahatan luar biasa seperti di bawah ini :
1) Perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan hancurnya hak azasi manusia 
2) Perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan hancurnya lingkungan hidup 
3) Perbuatan melawan hukum yang berkenaan dengan trafficking 
4) Perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistemik dan terstruktur 

Jika dikomparasi dalam konteks realita antara perbuatan terdakwa sdr Andi Malarangeng dalam dugaan korupsi pembangunan Hambalang dengan petani desa yang menerima bantuan sosial dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kwitansi yang ditandatanganinya karena dipotong oleh anggota dewan atau pejabat pemerintah daerah yang menyalurkan bantuan itu, mana yang luar biasa ?

Hukum tertulis tidak akan bisa membedakan mana yang benar benar melakukan kejahatan luar biasa dengan yang tidak luar biasa, sebab vonis hukumannya ada yang jauh lebih berat untuk petani dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sdr Andi Malarangeng . Padahal bantuan sosial itu hanya Rp. 7.000.000 ( tujuh juta rupiah ) , dipotong Rp. 3.500.000 ( tiga juta lima ratus ribu rupiah ) . Jika bukan melihat jumlah bantuan sebagai ukuran luar biasa, maka mental yang sengaja mencuri keuangan negara itulah yang dapat diidentifikasi sebagai kejahatan luar biasa. Itu pun jika perbuatannya dilakukan setiap tahun berulang terus menerus .

Karena di dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak memilah dan tidak memberikan unsur unsur kejahatan luar biasa untuk perbuatan korupsi, maka sangat jelas bahwa hukum di negara kita ini menjadi tidak bisa tegak dan tidak bisa adil penerapannya. Suatu peraturan perundangan / hukum yang tidak mengikuti azas unifikasi dalam konteks materiil harus ditolak . 

Dengan demikian, KORUPSI sama saja dengan MENCURI . Penindakannya tidak perlu dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 , tetapi dengan KUHP .
Negara tidak perlu bersusah payah berlindung di balik tekanan pihak tertentu manakala membiarkan aparat hukumnya menindak PENCURI dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 .
Hasilnya spektakuler , terdakwa yang divonis Majelis Hakim Tipikor dengan hukuman penjara, denda dan membayar uang pengganti bukan ditujukan untuk menegakkan hukum, tetapi menistakan dan menghancurkan martabatnya, tidak dirinya sendiri, tetapi seluruh kerabatnya dan sahabatnya juga menanggung resiko .

Semoga para pemimpin negeri ini cepat menyadari kekeliruannya saat menyusun dan menetapkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 kemudian melakukan revisi atau mencabutnya , diganti dengan yang selaras dengan hukum Allah SWT . Siapapun yang tidak mengindahkan kebenaran dalam hukum Allah pasti masuk golongan kafir, munafik, zalim dan hidupnya di dunia tidak mendapatkan berkah karena tidak menghasilkan manfaat untuk memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia .

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com 
Semarang ,  17 Desember 2014




Tidak ada komentar:

Posting Komentar